Dua-Tiga Tahun Lagi
Oleh: Ritan
Cerpen Terpilih ke-6 pada #Tantangan_Lokit_6
“Siapa namanya?”
“Ade. Namanya Adelia.”
Ade, nama panggilan yang lebih cocok untuk Suci, adik tomboiku. Sama sekali bukan untuk gadis di meja paling sudut kafe itu. Kulit sawo matang dengan tubuh pendek, kurus, tapi cukup berisi. Ia nyaris seperti boneka dengan tubuh kecilnya. Dan lihat, dengan baju berenda dan rok bunga-bunga, panggilan Adel atau Lia lebih cocok untuk ia dan kefeminimannya. Oh, aku tidak pernah benar-benar memperhatikan semua itu jika bukan karena ucapan adikku—tentang seorang gadis, teman satu sekolah. Adik kelasnya yang setiap hari datang ke kafeku.
“Dia sering memperhatikan Kakak, lho!” kata Suci, yang entah sejak kapan menjelma jadi gadis kelas 2 SMA Comblang.
Bukan hanya perasaanku saja, kalau ia seakan menjodoh-jodohkan aku dengan teman satu sekolahnya. Selalu membawa-bawa gadis itu ke pembicaraan kami di meja makan, di depan televisi, di mana pun setiap ada kesempatan. Kalau boleh jujur, aku terpancing juga oleh kata-kata comblangannya itu.
Memperhatikan, ya. Menggemaskan sekali. Gadis itu sering kali kutangkap tengah diam-diam melirik ke arahku. Saat kemudian pandangannya bertumbuk dengan mataku, seketika itu ia memalingkan wajah. Lalu rona perlahan menghias pipinya. Pipi tembamnya membuat mata bulat dan hidungnya yang mancung ke dalam semakin tenggelam. Ingin sekali rasanya mencubit hidung mungil itu. Baiklah, sekarang jadi aku yang memperhatikannya.
“Hai, namamu Ade, bukan? Kamu datang lagi hari ini. Terima kasih sudah mau mengunjungi kafe kami, bahkan sampai setiap hari.” Tawa garingku pecah.
Mata bulat itu terbeliak, tampak terkejut atas kehadiranku. Sesaat membuatku terkejut pula karena reaksinya itu. Aku hanya merasa harus menyapanya. Jadi, kuhampiri ia ke mejanya langsung. Sadar-sadar aku tersenyum melihat nomor meja yang ia tempati. Tujuh. Itu angka kesukaanku, omong-omong. Lengkungan senyum terbit kemudian di bibirnya yang penuh. Bisa kulihat rona merah kembali menghias pipinya.
“I—iya …,” katanya, tanpa menatapku. Tertunduk. Malu-malu.
Aku tersenyum melihatnya. Gadis pemalu dan tidak banyak bicara. Benar kata Suci, adikku. Ade gadis yang seperti itu. Namun, Suci tidak bilang kalau temannya bisa jadi begitu manis seperti ini. Harusnya ia mengatakannya—setidaknya memperingatkan, karena Ade dan tingkah malu-malunya bisa membekukan siapa pun lelaki waras yang melihatnya. Lebih-lebih, ketika di suatu hari di mana ia menggigit bibir bawah, tampak sekali gugup. Ade tertunduk, menghela napas berulang kali dalam duduknya.
“Anu ….”
Aku masih berdiri di hadapannya, dengan apron di badan juga nampan kosong di tangan, menunggu apa pun yang hendak dikatakan gadis itu. Lalu tiba-tiba terdengar suara mendecit dari seseorang yang bangkit dari kursi dengan tergesa. Sepasang tangan terulur. Tubuh mungil itu membungkuk, menyodorkan secarik kertas. Ia pun beranjak keluar secepat kaki pendeknya bisa melangkah.
Aku terpaku, hanya bergeming sampai cukup kesadaran kuraih. Tanganku tak kosong lagi kini, bukan saja karena nampan yang kubawa, carik kertas ada di genggamanku.
“Alun-alun kota. Sabtu, pukul 16:00.”
Aku mengulum senyum. Gadis itu bahkan perlu secarik kertas untuk menyampaikan kata-kata sederhana ini.
***
“Cuma mau bilang, aku nggak keberatan punya kakak ipar yang umurnya satu tahun lebih muda, bahkan badannya jauh lebih pendek dariku.”
Sabtu sore, alun-alun kota. Sebuah pesan masuk membuat ponselku berdering. Aku hanya geleng-geleng membaca isi pesannya. Dari Suci. Aku tidak tahu kenapa ia mendadak jadi sangat cerewet hari ini. Adikku itu memang cerewet, tapi berbeda kali ini. Menyuruhku cepat-cepat mandi, memaksaku memakai baju yang dipilihnya, mengatur rambutku—berulang kali mengubah gaya—sampai cocok di matanya. Terakhir, menyemproti tubuhku dengan parfum yang banyak. Terlalu banyak sampai rasanya aku akan mabuk. Suci sampai menyeretku paksa dari kafe untuk semua ini.
“Ade sungguh tidak terduga, kan? Malu, diam, tapi pelan dan penuh kejutan, tiba-tiba ‘syuuut!’ dia yang lebih dulu menarik busur. Gadis pemalu itu siap menembak panahnya!”
Suci melanjutkan celotehan via SMS-nya.
“Aku tidak tahu bagaimana denganmu, Kakak. Tapi bagi Ade, Kakak adalah cinta pertamanya. Ups, harusnya aku tidak mengatakan itu.”
Aku membayangkan Suci menggaruk pipi, matanya terpaling untuk sesaat.
“Pokoknya, jangan sampai mematahkan anak panah Ade. Sebagai seorang gadis, memulai lebih dulu itu butuh lebih dari sekadar keberanian, tahu. Jadi—”
“Serahkan saja padaku.” Tak membaca pesannya sampai habis, aku justru membisik, mengantongi ponselku ke saku.
Lima belas menit menuju pukul empat. Aku sudah menunggu sejak beberapa menit sebelumnya. Aku tahu datang terlalu cepat, apalagi jika bukan karena Suci yang menyuruhku bergegas. Menjadi orang yang menunggu itu menyebalkan. Siapa pun akan setuju mengatakannya. Namun, lain lagi ketika orang yang dinanti datang.
Aku tak bisa menahan senyum ketika mendapati gadis itu berlari tergopoh-gopoh. Rok bunga-bunga yang dikenakannya berkibar. Aku bangkit dari dudukku, berdiri menghadap arah datangnya. Ade mempercepat lari, membuatnya makin menggemaskan.
Ade sampai di hadapanku dengan terengah-engah. Membungkuk, kedua tangannya menumpu ke masing-masing lutut, mengatur napas. Ia mengatakan sesuatu, tapi aku tidak yakin apa.
“Ma—maaf … aku terlambat. Aku langsung cepat-cepat kemari setelah mendapat pesan dari Suci kalau Kakak sudah di sini. Aku benar-benar minta maaf. Padahal aku yang mengundang, tapi malah aku sendiri terlambat datang. Maaf.”
Pertama kalinya Ade bicara sepanjang itu, cukup mengejutkan bagiku mendengarnya, apalagi hanya untuk permintaan maaf. Aku menyunggingkan senyum.
Kami duduk di bangku panjang di salah satu sudut alun-alun, saling bersebelahan—dengan saling menjaga jarak, tentu saja. Sekaleng minuman dingin di sore yang masih begitu terik seperti ini, pas sekali. Aku menghabiskannya dalam satu teguk, tinggal kalengnya saja yang kupegang. Sementara Ade masih menggenggam minumannya di pangkuan, masih penuh.
Lima menit. Sepuluh menit. Aku tidak yakin berapa waktu yang berlalu dengan sikap diam yang kami tunjukkan, entah sampai kapan pula. Aku tidak menyangka suasana akan begitu canggung seperti ini.
Helaan napas terdengar dari gadis di sampingku. Berat, seakan gundukan batu menjegal tenggorokannya. “A—anu ….”
“Ade.”
Wajah gadis itu menoleh begitu aku menyebut nama, menyela ucapannya. Menegakkan punggung, merapat ke sandaran bangku, aku balas menoleh. Pandangan kami bertemu.
“Adelia, kamu cantik, manis dan benar-benar menggemaskan. Aku menyukaimu, tentu saja.”
Mungkin aneh ketika dengan lancarnya aku mengatakan itu begitu saja. Sementara gadis di sampingku terbelalak, menahan napas demi mendengar tiap kata yang kuucapkan, mungkin juga dengan degup kencang di dada. Ah, ia yang mematung tampak sekali seperti boneka.
Menutup mata untuk sesaat, aku mengembuskan napas, bangkit dari bangku. “Tapi, kamu harus mendengar ini ….”
Ade menengadah, menatapku yang menyelipkan tangan ke saku celana. Jangkung berdiri di hadapannya.
“Aku menyukaimu sebagai seorang lelaki dewasa. Namun, jika untuk hubungan yang lebih jauh, jujur aku katakan, aku lebih menyukai gadis … ah, tidak. Maksudku perempuan yang dewasa juga.”
Aku bisa melihat kelopak matanya mengerjap-ngerjap. Patah hati, bingung. Aku tidak tahu bagaimana campur aduknya perasaan gadis itu. Setidaknya, aku melakukan apa yang menurutku benar. Untukku dan tentu saja untuknya.
“Aku harap kamu mengerti. Kamu yang sekarang masih kelas satu SMA. Mungkin dua atau tiga tahun lagi, mungkin. Karena itu ….” Aku membungkukkan badan. Kuraih hidung mungil itu, mencubit, menariknya seakan itu akan membuatnya mancung. Aku tersenyum melanjutkan, “sekolah, dan belajar saja dulu yang benar. Mengerti, Ade?”(*)
Majalengka, 07 September 2018.
Ritan, gadis kamar penyuka teh. Kelahiran Majalengka, 23 Oktober. Anak kelima dari sepuluh bersaudara.
Tantangan Lokit 6 adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakan di grup FB KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata