Topeng

Topeng

Topeng
Oleh: Wiwin Isti Wahyuni

Kuhisap rokokku. Pelan hingga habis 10 batang malam ini. Pagi sudah hendak menjemput, akan tetapi aku masih enggan beranjak dari gelap malam. Rokok ini bisa membantuku, mempercepat matiku minimal. Setelah vonis demi vonis, tuduhan demi tuduhan. Ah, semua menjadi tak begitu penting untukku. Semua diawali dari lelaki yang selalu mengaku dirinya baik itu.

Mencoba bermonolog dengan malaikat penyiksa nanti, “Jika aku mati, tanya juga padanya dosa dari sesapan bibirnya hingga aku menjadi separah ini.”

Matahari menjadi sangat bersahabat. Kupakai gamis kebesaran. Kupasang pula topeng manis, semanis senyumku pada anak-anak kecil yang memanggilku Ibu Guru.

“Assalamualaikum, selamat pagi anak-anak,” teriakku di setiap pagi.

Mengajari mereka murojaah, mengaji, bersenandung dengan sepenuh tawa. Bertepuk tangan, menari ke sana-kemari. Iya … aku seorang guru PAUD, yang sempat tergelincir hingga tak mampu memaafkan diriku sendiri.

“Bu Nastiti, semoga segera menemukan jodohnya ya.” Aku melihat tajam kepada para perempuan itu.

“Amin, doanya terus ya, ibu-ibu, semoga disegerakan.” Senyumku terasa mengerat, menjerat syaraf di sekujur. Ingin kumuntahkan semua sumpah serapah pada mereka. Namun, bukankah mereka hanya tukang evaluasi, tanpa sadar koreksi. Aku menyimpan kemarahan dalam-dalam. Sedalam cerita senja yang berakhir gulita.

“Ibu, Bapak Kepala Sekolah memanggil.”

“Iya, terima kasih.”

Langkahku memberat, memandang lelaki itu yang selalu ingin kucabik seluruh tubuhnya.

“Assalamualaikum, Bu Nastiti maaf hanya ingin memberi tahu, besok Ibu mutasi ke sekolah lain, lebih dekat dengan rumah Ibu.”

“Waalaikumsalam. Iya, Pak. Terima kasih.”

Percakapan kami selesai. Candaku memudar.

Singkat percakapan kami berbalut kepalsuan. Aku dan dia sama-sama tahu. Malam itu kami menjalang. Senja masih semburat. Ketika dengan lembutnya menyentuh daguku, menyesap bibirku, mengusap tubuhku. Memberi nama nafsu dengan cinta.

Malam ini bungkusan rokok itu kembali menemani. Berbulan setelah daguku tersentuh olehnya, gairahku terbakar. Kidung cintanya seolah menghipnotisku. Hingga istrinya memahami perasaan jalang kami.

Dia meminta maaf. Selesai semuanya. Ikhlas dan sabar membungkus amarahnya. Menghias diri menjadi korban kepalsuan rayuanku. Rayuanku? Alibi yang sempurna untuk lelaki yang mengaku setia.

Aku menghela nafas. Kusemburkan asap-asap yang memutih bercampur abu-abu gelap. Terbang, mengangkasa membunuh impianku.

“Nastiti, pelacur yang berbalut kerudung.”

“Nastiti, wanita sundal penggoda lelaki orang.”

“Nastiti, tak punya kompetensi apa-apa, selain perayu dan pencumbu.”

Kemarahanku masih berbalut senyum. Kukembalikan yang terserak pada tempatnya. Namun masih saja ‘najis’ itu melekat padaku. Tanpa aku tahu, tanpa aku mau. Bapak itu tersenyum di tempat tertingginya, memesona dengan segala titahnya. Aku menatapnya marah, namun menyinggung senyuman memaafkan.

Rokok itu masih membau di mulutku. Mulut yang berbulan kemarin menyuguhkan kemanisan padanya. Bapak yang terhormat, Bapak yang membalut dirinya dengan atas nama Tuhan. Kenapa aku tak segera mati, Tuhan. Agar aku tak perlu lagi bertopeng dengan senyumku.

“Assalamualaikum, anak-anak. Selamat pagi.” Tawaku bersambut. Di tempat baru ini, kami menari, menyanyi, mengaji … dengan aku yang masih terus menyemburkan sumpah serapah dan urat yang semakin membiru menahan amarah.

***

Kediri, 12 September, seorang guru PAUD mengakhiri hidupnya, dengan melompat ke sungai. Karena frustrasi akibat mutasi. (*)

Kemarahan adalah nama lain dari bujukan Syaiton. Wiwin Isti Wahyuni, melampiaskan amarah dengan berkarya.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata