Dia

Dia

Dia 
Oleh: MsLoonyanna 
Cerpen Terpilih ke-8 pada #Tantangan_Lokit_6

Aku berjalan mengendap-endap, khawatir jika Ariana akan memergokiku. Well, hari ini merupakan hari ulang tahun pernikahan kami yang ketiga, aku ingin memberi sedikit kejutan untuk istri kesayanganku itu. Meski hingga saat ini kami belum juga mendapatkan momongan, tapi tak apa. Ariana saja sudah cukup. Aku yakin Tuhan akan memberinya di saat yang tepat. Dengan pemikiran itu, sebuah senyuman akhirnya mengambil alih wajahku.

Melihat situasi yang aman, aku pun segera memasuki kamar kami. Mungkin Ariana sedang sibuk di dapur atau paling tidak ia mungkin sedang memangkas tanaman di halaman belakang. Err, aku tahu bahwa ideku tampak klise. Pulang lebih awal hanya untuk meletakkan sebuah bingkisan spesial di dalam lemari—berharap ketika melihatnya nanti, ia akan menjerit senang dan langsung memelukku. Ah, semoga saja.

Aku masih sibuk mencari tempat yang pas di dalam lemari ini untuk menyembunyikan hadiahku ketika sebuah jurnal berwarna hijau tak sengaja menangkap atensiku. Hm, aku tak tahu jika Ariana senang menulis. Lalu bagaimana ini? Maksudku, aku mengerti bahwa sebuah privasi dalam setiap hubungan itu perlu, tapi aku sudah telanjur penasaran. Mungkin mengintip sedikit tak apa?

Oh, baiklah, Adam, hanya sedikit. Lagi pula, isinya pasti bukanlah sesuatu yang perlu aku takutkan. Ya, sekali lagi aku berusaha meyakinkan diriku sendiri.

Dengan jantung yang berdegup lebih kencang dari sebelumnya, aku pun membuka jurnal itu dan mulai membaca baris demi baris yang tertera di sana.

Senyumku mengembang, rasa cemasku seketika hilang ditelan rasa bahagia. Ah, rupanya isinya hanya celotehan istriku tentang bagaimana awal mula kedekatan kami dulu. Kontan hal itu membuat pikiranku kembali melayang ke beberapa kenangan di beberapa tahun silam, sebelum dan sampai akhirnya aku bertemu dengannya—Ariana, cinta pertamaku.

***

“Al, katakan padaku, apa si berengsek Adrian itu kembali mengganggumu?”

Alya, kekasihku di semasa SMA, mengangguk pelan. Hal itu kontan membuat darahku mendidih. Apa sih maunya lelaki idiot itu? Setiap kali aku memiliki kekasih, ia selalu saja berusaha untuk menjadi duri dalam hubungan kami. Rasa-rasanya aku tak punya masalah apa pun dengannya.

“Adam ….” Suara Alya berhasil menarik fokusku. “Di—dia … dia bilang aku harus menjauhimu. Ka-katanya kau bukanlah lelaki yang pantas untukku.”

Mendengar itu, rahangku seketika mengeras. Tanganku terkepal di sisi tubuhku. Lelaki itu! Benar-benar sialan rupanya! Aku harus memberinya pelajaran. Dia pikir siapa dirinya, huh?

“Adam, tunggu! Adam! Kau mau ke mana? Adam, kumohon jangan berbuat masalah! Adam!” Alya berusaha mengejar dan menghentikanku, tapi tidak. Aku harus membuat Adrian menyesal karena telah bermain-main denganku.

***

Seminggu kemudian, aku mendapati diriku yang tersenyum puas mendengar kabar bahwa Adrian akan pindah sekolah. Oh, percayalah, aku sangat senang! Lelaki sialan itu bertanggung jawab atas kandasnya dua hubunganku sebelumnya. Aku tak ingin akan ada yang ketiga kalinya. Lagi pula, apa motifnya selalu merusak hubunganku? Hah, kurasa ia hanya takut tersaingi. Dasar pecundang!

“Sayang, hari ini kau tak perlu mengantarku pulang.” Aku mengangkat sebelah alisku. Alya tampak bergerak canggung di bawah tatapanku sebelum akhirnya melanjutkan, “Err, aku ada tugas kelompok di rumah … di rumah—ah!” Gadis mungil itu menjentikkan jemarinya di udara. “Erika! Ya, di rumah Erika.”

“Aku bisa mengantarmu ke sana. Apa susahnya?” tanyaku menantang.

“Eh? Ja—jangan! Ma-maksudku, uh, aku … aku akan pergi ke sana bersama Diana. Ka—kami sudah janjian.”

Aku kontan mengerutkan kening. Hm, tidak biasanya Alya menolakku. Apa ia menyembunyikan sesuatu? Ah, tidak. Aku tak boleh curiga berlebihan seperti ini. Oleh karena itu, akhirnya aku hanya mengangguk, membuatnya melompat senang lalu memelukku sekilas.

***

Perasaanku tidak tenang. Meskipun aku percaya pada Alya, tapi kali ini aku sedikit gusar. Untuk itu, sepulang sekolah, aku memutuskan untuk membuntutinya. Dan coba tebak? Ia rupanya tak pergi bersama Diana, melainkan dengan Delon, ketua kelasnya.

Beberapa menit pengintaian, aku terkejut bukan main. Mereka tiba-tiba saling berpelukan dengan mesra sebelum akhirnya Delon beringsut maju dan mengecup pipi Alya. Apa-apaan?!

“Alya, aku mencintaimu. Kumohon tinggalkan Adam untukku. Aku berjanji akan membahagiakanmu. Aku sudah tak sanggup harus berpura-pura tak cemburu setiap kali melihatmu dengannya.”

Alya tampak berpikir selama beberapa saat sebelum sebuah senyuman semringah terukir di bibirnya, menggantikan ekspresi bimbangnya beberapa saat lalu.

“Err, baiklah, akan kupikirkan. Lagi pula, Aku sudah mulai bosan dengan Adam.” Mendengar itu, Delon kontan tersenyum lebar.

“Good, karena kau tahu? Aku ingin segera menjadi yang satu-satunya untukmu, Al. Aku tak ingin berstatus sebagai selingkuhanmu lagi. Itu menyakitkan.”

Gadis sialan itu tersenyum, membelai lembut pipi Delon sebelum keduanya akhirnya saling menempelkan bibir seolah tak lagi ada hari esok. Menjijikan!

Dengan amarah yang memuncak, aku pun meninggalkan pasangan biadab itu.

***

Sudah dua tahun berlalu sejak aku memutuskan Alya. Ya, aku yang memutuskannya duluan sebelum ia sempat mengatakan sepatah kata pun padaku. Setidaknya aku merasa sedikit senang dengan fakta itu.

Kini aku duduk di bangku kuliah semester empat dan aku masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana wajah munafik gadis itu ketika aku memutuskannya dulu. Dia pikir air mata buayanya dapat membuatku percaya? Hah, bullshit! Ia berusaha menjelaskan, tapi … aku sudah tak peduli. Lagi pula, kupikir ia melakukan itu hanya karena tak terima dengan fakta bahwa akulah yang memutuskannya. Dasar jalang.

Oh, percayalah, kukira akan sulit untuk melupakan Alya. Namun, anehnya, aku hanya perlu waktu sekitar dua minggu untuk mengeluarkannya secara total dari kepalaku. Saat itu, aku pun mulai bertanya-tanya. Apakah selama ini aku benar-benar mencintainya?

Pertanyaan tersebut mulai melayang-layang di pikiranku. Bayangan semua mantan kekasihku kembali mengusik dalam kilasan memori singkat hingga akhirnya aku pun tersadar akan satu hal bahwa aku ….

Aku tak pernah benar-benar mencintai mereka.

Cinta pertamaku bukanlah Vanessa, Maria, ataupun Alya. Aku dulu memang sayang kepada mereka, tapi jika kupikir, perasaan itu sepertinya tak sampai berkembang menjadi suatu perasaan yang lebih spesal bernama cinta. Lalu bagaimana rasanya jatuh cinta sungguhan? Bagaimana rasanya menemukan seseorang yang benar-benar merupakan cinta pertamamu?

Semua teka-teki ruwet itu kemudian sirna tatkala “dia” datang ke dalam hidupku. Namanya Ariana, ia adalah gadis manis yang tak sengaja kutemui di sebuah kedai kopi ketika aku sedang bergelut dengan sejumlah tugas kampus. Terdengar klasik memang, tapi begitulah adanya.

Diam-diam aku selalu memperhatikannya, dari hari ke hari. Bahkan terkadang aku datang ke kedai kopi itu hanya demi melihatnya, bukan lagi karena tugas kampus semata. Hingga akhirnya pada suatu hari ia memergokiku yang tengah menatapnya intens. Aku malu, tentu saja. Namun, lantaran tak ingin bersikap seperti seorang stalker menyeramkan yang pada akhirnya hanya akan membuatnya ilfeel denganku, aku pun memberanikan diri untuk menyapanya. Dan ah, di situlah awal kisah cinta kami dimulai.

Setelah menjalin hubungan selama beberapa bulan dengannya, aku sadar bahwa Ariana jelas berbeda dengan gadis-gadis lain yang pernah kukencani. Dengannya, aku jadi tahu bagaimana rasanya berjuang untuk sesuatu yang benar-benar kuinginkan. Bayangkan saja, ia menolakku sebanyak delapan kali sebelum akhirnya menerimaku di kali sembilan aku mencoba.

Dear God! Ariana selalu menarik di mataku. Ia tak pernah membuatku bosan untuk mengejar dan meluluhkan hatinya. Dan ya … aku menyukai semua hal dalam dirinya. Kesederhanaannya, senyumannya, lembut tuturnya, dan … semuanya. Aku tak mungkin bisa menjabarkannya satu per satu, ia terlalu sempurna di mataku. Satu-satunya perempuan yang berhasil membuatku bertekuk lutut di bawah pesonanya. Satu-satunya perempuan yang berhasil membuatku merasa menjadi sesosok lelaki paling beruntung di dunia karena memilikinya. Maka dari itu, aku pun memutuskan untuk meminang Ariana setelah dua tahun lamanya kami menjalin hubungan.

Oh, sungguh, kurasa aku memang tak salah memilih. Ariana merupakan wanita istimewa yang telah mengajarkan arti cinta yang sesungguhnya kepadaku. Perasaan akan takut kehilangan hanya kurasakan ketika bersamanya. Demi Tuhan, aku sangat menyayangi Ariana. Ariana adalah cinta pertamaku dan kuharap juga yang terakhir bagiku.

***

Senyumanku semakin lebar dari detik ke detik. Membaca jurnal-jurnal Ariana yang ternyata berisi celotehan menggemaskannya serta beberapa puisi yang diam-diam ditujukan padaku benar-benar membuatku senang bukan kepalang. Tulisan tangannya yang indah telah berhasil membawaku kembali ke banyak memori manis yang kami lalui beberapa tahun belakangan ini.

Ah, Ariana, you’re my first love and I hope you will be the last one for me.

Aku baru akan membuka halaman selanjutnya tepat di saat runguku menangkap derap kaki yang semakin dekat. Ah, gawat! Ariana datang, ia akan segera ke sini!

Dengan terburu-buru, aku segera merapikan isi lemari dan memastikan bahwa kotak hadiahku berada di posisi yang tepat. Lantaran tergesa setengah mati, aku pun mencoba untuk menjejalkan jurnal ini ke tempat sebelumnya secepat mungkin. Aku tak ingin ketahuan, Ariana pasti akan menertawaiku dan terus-terusan menggodaku.

Sayang, kepanikanku justru membuat jurnal itu jatuh ke lantai. Dua buah foto ikut terhambur keluar dari balik halamannya.

Aku mengerutkan kening sebelum berjongkok dan memerhatikan dua buah foto itu dengan saksama. Seketika rasa panikku terlupakan. Tak butuh waktu lama, kedua mataku kontan membeliak terkejut. Jantungku berdebar tiga kali lipat lebih cepat dari sebelumnya.

What the hell?! Untuk apa Ariana menyimpan foto Adrian? Aku masih mengingat jelas wajah lelaki sialan itu. Ya, aku tak mungkin salah mengira. Tapi … kenapa? Apa mereka dulunya sepasang kekasih?

Dengan tangan gemetar, aku pun membalik kedua foto itu, berharap menemukan sedikit petunjuk. Dan benar, beberapa baris tulisan sekecil semut memang tertera di sana. Aku lantas membacanya dengan cepat dan aku bersumpah bahwa jantungku sempat berhenti selama beberapa saat sebelum perasaan kecewa dan jijik bercampur menjadi satu memenuhi dadaku, mengambil alih seluruh keseimbangan di tubuhku hingga aku jatuh terduduk.

Ariana … cinta pertamaku. Dia ….

“AAARGH!” Kedua tanganku melayang di udara, meraih rambutku sendiri dalam satu tarikan penuh frustrasi. Aku tak percaya ini. Ba-bagaimana bisa orang yang paling kucinta dan kusayang adalah or—

Ceklek ….

“Adam? Kau sudah pulang? Aku mendengar seseorang berteriak. Oh, untunglah itu hanya diri—” Senyuman yang terkembang manis di wajah Ariana sirna. Ekspresinya berubah suram ketika pandangannya jatuh pada sebuah jurnal di hadapanku serta dua buah foto di tanganku.

“Ka-kau su-sudah tahu? Ad-Adam, a-aku minta maaf. Aku bisa menjelas—”

“Tak ada yang perlu dijelaskan! Aku ingin kita bercerai!”

“Ta-tapi aku melakukannya karena aku mencintaimu! Kau ingat pertemuan kita beberapa tahun lalu? Aku bahkan dengan sengaja mengunjungi kedai kopi favoritmu setiap hari hanya untuk menarik perhatianmu! Adam, kumohon dengar—”

“TIDAK, KAU TELAH MENIPUKU!!”

“Adam, dengarkan penjelasan—”

“PERGI! LEPASKAN TANGAN KOTORMU DARIKU! AKU BENAR-BENAR JIJIK DENGANMU, ARGH!”

“Adam, kumohon, maafkan aku. Adam ….” Wajahnya kini bersimbah air mata. Aku membuatnya menangis. Sebelumnya, itu merupakan hal terakhir yang ingin kulakukan atau bahkan tak ingin kulakukan sama sekali jika bisa. Namun, kali ini ia pantas mendapatkannya. Ia telah mempermainkanku lebih dari apapun.

“Berikan aku satu kesempatan, kumoh—”

“JUST STOP IT!” Aku tak tahan lagi. Kini aliran hangat yang kubenci itu bahkan telah turun membasahi pipiku dengan tak tahu malunya. Semua kenangan yang telah kami lalui bersama berputar-putar di kepalaku, seolah mencekik pikiranku. Hatiku sakit dan lututku lemas.

Kini aku tahu alasan mengapa Ariana tak bisa memberiku keturunan. Itu karena dia ….

“Adam, maafkan aku! Tol—”

“TIDAK, KAU MENJIJIKAN! AKU MEMBENCIMU, ADRIAN!”

Ya, Ariana, cinta pertamaku, dia adalah … Adrian.(*)

ɯsןoouʎɐuuɐ,
Neverland, 6 September 2018.

Biodata narasi:
Seorang Potterhead penyuka warna hijau dan biru. Senang menulis dan membaca, serta memiliki selera humor yang aneh.

Tantangan Lokit 6 adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakan di grup FB KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata