First Love

First Love

First Love 
Oleh : Meliani Wau
Cerpen Terpilih ke-12 pada #Tantangan_Lokit_6

Lantunan lagu Ran berkumandang dengan volume yang sangat besar. Ya ampun, siapa yang subuh-subuh gini udah dengar lagu galau? Volume-nya pun bisa membangunkan se-RT. Namun, aku nggak peduli. Persetan sama yang se-RT. Lah dia aja yang tiap hari jumpa kagak pernah peduli.

Dengan suara besar, aku mengikuti lantunan lagu tersebut. Bahkan seperti orang yang tidak punya etika. Tetapi, aku hanya ingin melampiaskan rasa sakitku. Di dalam sini, ada sebuah lubang yang semakin lama semakin besar. Sudah berapa kali ditambal namun tetap saja tidak bisa.

Sekarang, beritahu aku, apa salah punya perasaan kepada saudara sendiri? Toh kami bukan saudara kandung. Kami saudara tiri. Lalu kenapa dia selalu mengatakan bahwa hubungan ini hanya sebatas saudara dan tidak bisa lebih? Kembali aku bernyanyi dengan suara yang lebih kencang lagi, hingga akhirnya sebuah ketukan yang sangat keras membuatku diam.

“Kalo mau teriak-teriak di hutan sana. Jangan di rumah. Kamu gila, ya?”

Aku mendengarkan dengan saksama. Rasanya, aku ingin membalas seperti ini. “Iya, aku gila karenamu.”

Namun, itu hanya suara hatiku saja. Karena yang sebenarnya, aku tidak punya nyali untuk mengatakan hal itu. Aku takut, Mama dan Papa serta kakakku yang lain bakalan terkejut mendengar pengakuanku.

Segera kumatikan radio dan bangun dari tempat tidur, lalu berjalan menghampiri pintu. Setelah membuka pintu kamarku dengan sempurna, jantungku berdegub dengan sangat cepat. Dia baru bangun, dan entah kenapa dia selalu ganteng ketika bangun tidur. Ah, mungkin dia terganggu. Tidak mau suara jantungku terdengar, aku hanya nyengir sebentar kemudian menutup pintu lagi dengan sangat keras. Bodo amat dia mau terkejut. Sekarang jantungku sedang tidak baik-baik saja. Dan, itu yang lebih penting.

****

Aku belum pernah ngerasain yang namanya jatuh cinta. Kata orang jatuh cinta itu indah. Kau akan melihat semua bermekaran ibarat bunga di musim semi. Kurasa mereka benar. Karena ketika aku merasakan gejolaknya, ini lebih dari sekadar musim semi.

Kata Papa, aku bukan anak kandung mereka. Itu adalah berita yang paling menyakitkan yang pernah kudengar. Namun, sekaligus menjadi berita yang melegakan. Setidaknya cintaku halal untuknya. Toh, kami tidak sedarah. Lalu apalagi permasalahannya? Dia ngotot mengatakan kami ini saudara. Ya, kami memang saudara karena satu keluarga di KK, bukan sedarah. Bisakah dia mengerti sedikit rasa ini?

“Kamu masih kecil. Belum tahu definisi cinta sebenarnya. Jadi, tidak perlu menyimpulkan secepat itu,” ucapnya sembari mengusap kepalaku pelan.

Aku menatapnya dengan kesal, berdiri dan berlalu dari sana.

“Mau ke mana?” tanyanya lagi.

“Mau tidur!” jawabku dengan ketus.

Dengan sedikit keras aku membanting pintu kamarku. Akhir-akhir ini, kurasa aku sedikit sensian. Ibarat wanita PMS, atau memang lebih?

Di kamar aku merenung perihal hubungan keluarga. Aku mau jujur sama Papa tentang perasaanku, tapi takutnya mereka bakalan marah. Mau mendam juga, kata Rini—teman sekelasku, kalo cinta pertama itu kudu diperjuangin.

“Ya, Allah, aku harus gimana?” batinku berteriak.

****

Setelah semalaman suntuk berdebat dengan logika dan hati. Pagi ini, dengan sedikit perasaan takut, aku keluar dari kamar dan mulai berjalan mengendap-endap. Hanya satu tujuanku, bicara dengan Papa dan Mama perihal gejolak ini. ketika sedang asyik menoleh ke kiri dan kanan, sebuah tepukan di bahu membuatku terkejut. Mau tidak mau, aku kembali memasang wajah bete, ketika tahu siapa dalang dari keterkejutan itu.

“Kenapa?”

“Kau ngapain berjalan seperti itu. Udah kayak pencuri aja, tahu nggak?” kata dia dengan sedikit kerutan di keningnya.

“Nggak tahu!” balasku sewot.

Akhirnya sebuah pukulan mendarat di kepalaku. Aku berdecih kesal dan hendak berlalu dari hadapannya. Namun, segera ditahan oleh dia.

“Aku tahu, kamu sedang mencari siapa,” ucapnya dengan nada sok tahu.

Sebuah gumaman hanya keluar dari mulutku pertanda tak peduli dia ngomong apa. Namun, dia tidak terpengaruh sama sekali. Kembali dia melanjutkan pembicaraanya.

“Aku udah ngomong sama Papa perihal perasaanmu. Dan, awalnya Papa terkejut. Tetapi, setelah aku meyakinkan Papa, akhirnya Papa setuju.”

Bola mataku hampir keluar mendengar pengakuan itu. Aku segera menghadapnya lalu bertanya dengan sedikit ketidakpercayaan.

“Benaran Papa setuju?” tanyaku menggebu-gebu.

“Nggaklah!” jawabnya dengan senyum tertahan.

Kupukul pelan lengannya kemudian segera memeluknya.

“Terima kasih,” ucapku dengan tulus

“Untuk?”

“Semuanya!” balasku dengan senyum lebar.

Kau benar, Rini. Cinta pertama itu harus diperjuangkan. Dan, aku sudah memperjuangkan cintaku.(*)

Meliani Wau, suka pantai dan pisang. Lahir di sebuah kota kecil Provinsi Sumatera Utara.

Tantangan Lokit 6 adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakan di grup FB KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata