Karma yang Berlaku
Oleh: Santi Muhammad
Cerpen Terpilih ke-19 pada #Tantangan_Lokit_6
Delapan tahun yang lalu, aku sering menertawakan kakakku yang selalu galau hanya karena seorang laki-laki. Aku menganggapnya remeh karena ia begitu lemah terhadap pesona lelaki. Aku sering mengejeknya gila cinta. Terkadang, aku berpikir, kenapa semua gadis begitu lemah terhadap cinta. Bahkan, ada yang sampai bunuh diri hanya karena cinta. Dan sekarang, aku tahu alasan itu semua saat aku mulai memasuki jenjang SMA. Dengan mudahnya kuberikan hatiku pada lelaki yang baru pertama kali kutemui.
Semuanya diawali dengan tabrakan. Ya, sangat klise. Tapi, memang inilah kenyataannya. Aku selalu beranggapan jika film-film di TV terlalu lebay. Baru pertama kali tabrakan sudah terpesona. Dan mungkin, ini karma bagiku karena terlalu menyepelekan hal kecil. Aku sendiri yang merasakan bagaimana cinta yang dimulai dengan tabrakan itu.
Semuanya bermula saat MOS. Aku memilih bersembunyi di belakang toilet daripada dihukum oleh para senior. Bagiku yang terpenting adalah namaku sudah terdaftar di absen. Dengan langkah terburu-buru dan pandangan yang sibuk menoleh kanan-kiri agar tidak ada yang tahu, aku malah menabrak seseorang di depanku.
“Maaf, nggak sengaja,” ujar lelaki yang baru saja menabrakku. Ralat, aku yang menabraknya.
Saat kuangkat wajahku untuk melihat lelaki itu, aku langsung terdiam. Bibirku bungkam dan tubuhku kaku. Semuanya terasa tidak normal. Begitupun detak jantungku yang berdebar lebih keras. Apalagi saat mata elang miliknya menatapku begitu lembut.
“Kamu tidak papa?”
Aku menundukkan kepalaku, mencoba menghilangkan bayangan wajahnya dari pikiranku. Tidak ingin membuang banyak waktu, aku hanya mengangguk dan hendak melangkah pergi.
“Kamu mau ke mana?” tanya lelaki itu lagi.
Aku masih setia dengan posisiku, membelakanginya sambil memikirkan alasan agar terlepas darinya.
“Ketua OSIS memanggilku,” jawabku asal. Jujur, aku tidak tahu siapa pun di sekolah ini.
“Tapi bukannya ketua OSIS lagi sakit?” bantahnya setelah ia berdiri di sampingnya.
Aku gelagapan. Kepala kutundukkan. Jangan sampai aku menatap wajahnya lagi atau aku akan kehilangan kesadaranku. Kuteguk ludah sekali sebelum menjawab, “I—iya. Makanya itu, dia nyariin aku buat bantuin dia.”
Jantungku semakin berdebar-debar menunggu reaksi darinya. Kulirik dia melalui ekor mataku. Namun, aku kembali terpaku saat menemukan senyuman manis terpasang di wajahnya.
“Tapi, saya ketua OSIS-nya.”
Deg! Aku kehilangan kata-kata. Yang bisa kulakukan hanya meneguk ludah berkali-kali tanpa menoleh.
“Kamu kayaknya pucat. Lagi sakit?”
Aku bingung harus menjawab apa.
“Mau kuantar ke UKS?”
“Tidak perlu!” pekikku dalam hati. “Em … nggak.”
“Atau aku suruh orang lain bawa kamu ke UKS?”
“Aku nggak mau!” jawabku dalam hati. “Nggak.”
“Kamu mau diantar pulang?” ia terus bertanya.
“Nggak!” jawabku dengan nada sedikit meninggi.
“Kamu mau menolakku jadi pacarmu?”
“Nggak! Eh ….” Tangan kananku segera menutup mulut. Mataku melotot ke arah lelaki itu.
“Nggak nolak, kan?” lelaki itu terkekeh pelan, membuat detak jantungku semakin menjadi-jadi. Astaga, dia sangat manis!
Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. Leherku terasa berat jika digerakkan. Mataku hanya tertuju padanya. Jantungku berdetak untuknya. Pikiranku hanya dipenuhi olehnya.
“Hei!”
Aku mengerjabkan mata beberapa kali saat ia menepuk pundakku pelan. “Ya?”
“Aku panggilkan petugas UKS, ya? Sepertinya penyakitmu cukup berbahaya.”
Kepalaku menoleh ke samping. Kenapa sudah berbeda? Aku masuk UKS tanpa sadar? Efek lelaki di depanku ini benar-benar berbahaya.
“Kenapa melamun lagi?”
Aku menggeleng pelan. “Tidak apa-apa.”
“Kamu baring aja. Aku akan memanggilkan petugas UKS,” ulangnya.
“Tidak perlu!” cegahku. “Aku hanya butuh sedikit istirahat. Dan pusing di kepalaku akan menghilang.”
Ya, kamu pandai sekali berbohong, Sasa.
“Baiklah. Jaga dirimu.”
Aku mengangguk, mengiyakan ucapannya. Tanganku menyentuh bagian dadaku, merasakan detak jantung yang masih berdetak luar biasa.
* * *
Biasanya aku tidak pernah ragu jika meminta sesuatu dari Kakakku, Tina. Namun, kali ini terasa berbeda. Mungkin karena tujuanku kali ini bukan atas dasar pelajaran, tapi karena si ketua OSIS yang kukenal bernama Reza.
Tok! Tok! Tok!
Sial. Ada apa denganku? Biasanya aku langsung menerobos masuk ke kamar Kak Tina. Kenapa sekarang berbeda?
“Kenapa ketuk pintu? Langsung saja masuk,” ajak kakakku yang masih setia duduk di kursi belajar dengan sebuah ponsel canggih di tangannya.
Aku gugup. Entahlah. Aku hanya bingung bagaimana cara mengutarakan apa yang kumaksud.
“Butuh apa?” Kak Tina menghentikan aktivitasnya agar bisa melihatku dengan saksama.
Aku menundukkan kepalaku. Bingung mencari alasan yang tepat. “Eum ….”
“Katakan saja. Kenapa jadi aneh begini?” Kak Tina terkekeh pelan.
“Em … nggak jadi, deh,” ujarku dan berbalik meninggalkan kamar Kak Tina.
Sesampainya di kamar, aku menjadi penasaran akan satu hal. Didorong rasa penasaran itulah aku memaksakan diri kembali ke kamar Kak Tina dan meminjam HP miliknya.
“Ini ada kuotanya, kan?” tanyaku sambil membuka aplikasi facebook.
Kak Tina terkekeh pelan, “Tentu saja.”
Aku berusaha menahan senyumku saat mulai mengetik sebuah nama di kolom pencarian.
“Memangnya ada apa?” Kak Tina menyembulkan kepalanya, hendak melihat apa yang kulakukan.
Aku berusaha mengelak, “Kepo, deh!”
“Bukannya kepo, tapi penasaran,” balas Kak Tina.
“Sama aja!” pungkasku. “Pinjem dulu, ya? Bentaran doang, kok.” Tanpa menunggu jawaban darinya, langsung saja aku berlari menuju kamarku.
Dengan posisi tengkurap, aku mulai mengetik nama REZA HADI di kolom pencarian. Senyumku semakin mengembang saat menemukan foto si ketua OSIS ganteng itu.
Aku pun hanya bisa memandangi wajahnya. Aku tidak bisa menyimpan foto-fotonya karena ini ponsel milik Kak Tina. Aku dilarang memiliki ponsel. Katanya tidak baik untuk remaja.
Senyumku semakin melebar saat menemukan status-status lucu miliknya. Ia ramah dan baik. Mungkin dua sifat itulah yang membuatku mudah jatuh hati padanya. Terus scroll ke bawah, mencari foto-foto kerennya. Aku bersyukur karena Kak Tina berteman dengan Reza. Namun, jantungku mendadak berhenti saat menemukan sebuah status yang di-post dua hari yang lalu. Mataku membulat dan bibirku terbuka seolah tidak percaya. Sebuah foto Reza bersama seorang gadis cantik membuat sesuatu di dalam dadaku terasa diremas. Nyeri dan sakit. Apalagi saat membaca caption di atas foto tersebut: New darling.
Ingin rasanya aku melemparkan ponsel Kak Tina. Mataku terasa panas dan pandanganku mulai kabur oleh air mata. Tolong, siapa pun yang bisa, cekek gadis yang menjadi kekasih Reza sekarang.
Tidak ingin membanting ponsel Kak Tina, aku pun mengembalikan benda itu kepada pemiliknya. Masih sempat kudengar Kak Tina menanyakan keadaanku. Rasanya, aku ingin berteriak di depan seluruh dunia, kabarku tidak baik sekarang.
Sejak kejadian itu, akhirnya aku sadar. Kenapa banyak remaja yang menangis bahkan bunuh diri saat patah hati. Ternyata begini rasanya saat cinta bertepuk sebelah tangan. Aku pun tidak pernah keluar kamar, kecuali saat lapar saja. Aku tidak masuk sekolah selama seminggu dengan alasan sakit kepala.
Kak Tina masih mending dulu. Ia hanya menangis dua hari dua malam saat ia diputuskan pacarnya. Sementara aku? Dia bahkan belum menjadi pacarku dan aku sudah begini.
Well, karma selalu berlaku.(*)
Tentang Penulis:
Santi, si kutu buku yang berharap menjadi seorang putri.
Tantangan Lokit 6 adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakan di grup FB KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata