The First or The Last
Oleh: Evamuzy
Cerpen Terpilih ke-20 pada #Tantangan_Lokit_6
Cinta. Bicara tentang satu kata berjuta makna dan rasa ini memang tak ada habisnya. Ketika bahagia ia selalu berhasil membuat hidup penuh nikmat dan semangat, namun sengsaranya juga mampu membuat nyawa serasa tercekat, layaknya sekarat. Terlebih jika itu adalah rasa yang datang untuk kali pertama atau orang menyebutnya cinta pertama.
Rania. Gadis cantik, pintar dan penuh talenta. Gadis yang pandai menjaga kehormatan dan perasaan. Dia yang selama ini tak mudah untuk jatuh hati, namun tidak kali ini. Karena benar, cinta itu datangnya tiba-tiba. Suka bandel memang.
Jatuh hati kepada seorang pria yang dikenalnya sebagai teman satu kelas di kampus. Pria yang pandai menjalin pertemanan namun tak mudah dekat dengan mereka. Dan hubungan dekatnya dengan Rania adalah satu hal yang tak biasa di mata lainnya, dan Rania telah menganggapnya sebagai sahabat.
Jatuh cinta dengan sahabat? Rania memang bodoh. Tak sepantasnya rasa itu ada pada hubungan yang sudah terlahir rasa nyaman. Tapi bukankah tak pernah ada kata salah, karena memang rasa cinta itu fitrah. Dan menanggung rasa sendiri itu memang tak mudah. Apalagi cinta pertama. Semakin dimungkiri semakin sesak di dada dan membuat fisik semakin lemah saja. Hingga berujung dengan demam tinggi yang tak kunjung sembuh.
“Ran … sampe kapan mau begini? Sembuhan, yuk,” kalimat Alma, sahabatnya, saat menjenguk Rania di kamar.
“Aku juga pengen cepetan pulih, Al.” Rania memandang sahabatnya dengan wajah pucat pasi. Bibirnya kering dengan kantung mata yang semakin cekung saja. Terlihat perasaan ini begitu mengganggu batin dan raganya. Terlebih kata Tante Sari, bundanya Rania, ia sudah dua hari ini kehilangan nafsu makannya. Membuat miris dan khawatir batin Alma melihat keadaan sang sahabat.
“Ini pasti ada hubungannya dengan perasaanmu ke Dimas, kan? Jangan bohong lagi!” suara Alma sedikit meninggi. Tanda ia sangat khawatir akan keadaan Rania yang bisa saja semakin buruk hanya karena perasaan yang selama ini sang sahabat ceritakan kepadanya.
Tak ada jawaban dari Rania. Sementara keadaannya semakin memprihatinkan.
“Ayolah, Ran. Hapus perasaan itu. Cinta sebelum halal itu percuma. Banyak mudharat dan batilnya. Hanya akan mengiris hati kerana itu tak pasti.”
“Aku paham, Al,” lirih Rania. “Katakan padaku, apa yang harus aku lakukan sekarang?” sambung Rania.
“Fokus dengan kuliahmu. Kau gadis yang pintar yang ceria sebelum ini. Fokus kembali mengejar cita-cita dan prestasi. Siap?”
“Baik. Insya Allah, Al.”
***
“Rania belum sembuhan yah, Al?” tanya Dimas seusai kelas. Menghampiri Alma yang tengah merapikan buku catatan kecil dan notebook-nya, memasukan satu per satu ke dalam ransel warna biru muda.
“Iya, belum.” Gadis yang terkenal bijaksana itu menjawab tanpa memandang si penanya.
“Kok lamaan sembuhnya ya, Al? Lumayan sakitnya?”
“Kau ingin tahu kenapa sakitnya Rania lama sembuhnya? Karena dia terlalu lama memendam perasaan padamu selama ini!” kali ini Alma menjawab dengan sorot mata tajam. Luapan emosi untuk keadaan yang kini menimpa sahabatnya.
“Maksudmu, Al?” Dimas tak mengerti.
“Iya. Kau tidak tahu, kan. Rania memendam perasaan padamu selama ini. Sekuat hati menyimpan dan mengingkarinya dalam waktu yang lama hingga berujung dengan fisiknya yang drop. Jadi, mulai sekarang aku minta jauhi dia jika kau tak punya niatan serius dengannya. Demi kebaikan kalian berdua, eh bukan, tapi kebaikan Rania.” Gadis itu menarik napas di ujung kalimat panjangnya.
“Baik. Aku juga minta. Sampaikan kepadanya agar menjauhiku juga. Sekali lagi ini demi kebaikan Rania,” pria itu menjawab dengan tak kalah tegasnya.
“Keras sekali menolaknya. Atau jangan-jangan ini karena kamu sudah punya calon ya, Dim?” Diketahui oleh Dimas atau tidak ada tujuan menelisik pada pertanyaan ini, meski Alma berusaha menunjukkan ekspresi setenang mungkin. Pertanyaan yang jawabannya ditunggu demi mendapat kepastian untuk Rania. Benar-benar harus melupakan atau masih ada kesempatan.
“Ya,” jawab singkat si pria kalem itu.
***
“Lupakan dia sebelum lukamu semakin parah, Ran.” Alma meyakinkan sahabatnya.
“Kenapa, Al?”
“Yakin kau ingin tahu?”
“Iya. Katakan saja. Insya Allah aku siap.”
Dengan berat hati namun ini demi kebaikan sahabatnya. Lebih baik sakit sekarang daripada nanti. Nyatanya separah apa pun luka tetap saja akan ada saatnya dia mengering dan sembuh, meski mustahil tanpa meninggalkan bekas.
“Dimas sudah punya calon. Dia yang sendiri yang mengiyakan.”
Ada bulir bening di sudut mata gadis cantik itu. Meski hening, Alma yakin hati sahabatnya sedang ada titik sakit terparahnya.
“Menangislah. Tak apa, keluarkan saja semua. Kelak ada masanya kau akan menertawakan sakit yang kau rasakan sekarang ini.”
Sejak hari itu Rania bangkit. Berdiri lalu dengan gontai menapaki hidupnya kembali. Namun jelas, sembuh tak akan mudah didapat jika luka dan obat ada pada orang yang sama. Terlebih keduanya masih sering bersua di ruang kelas atau kesempatan lainnya. Lalu hari-hari yang ditunggu semua mahasiswa tiba. Puncak dari semua usaha dan doa. Wisuda sarjana.
“Dan lulusan terbaik tahun ini adalah … Rania Prameswari. Kepada ananda yang disebutkan namanya, mohon maju ke depan untuk menerima piagam penghargaan.”
Salah seorang Wakil Ketua sidang senat terbuka membacakan isi surat keputusan di tangannya.
Gemuruh tepuk tangan seisi ruang wisuda mengiringi langkah kaki Rania menuju panggung penghormatan. Hatinya bangga tanpa lupa akan syukur yang tak ada batasnya kepada sang pencipta.
Rania menerima piagam penghargaan dengan hati penuh bahagia lalu turun kembali menuju kursi barisan kedua. Ditatapnya orang-orang terkasih. Ialah Ibu, Ayah dan para barisan sahabat tercinta. Lalu mata menuju kepada sosok itu, Dimas. Dari tempat duduknya, terlihat ada senyum bahagia di mata dan bibir si pria. Juga tepuk tangan yang tak kalah semangat dari yang lain. Tanda bahwa dia ikut merasa bangga. Melihatnya ekspresi si pria, Rania merasa kadar bahagianya bertambah. Baginya Dimas akan tetap menjadi salah satu sahabat terbaik yang pernah ia miliki.
Sampailah pada acara perayaan bersama. Sebuah perayaan sederhana. Acara yang bisa dibilang sebagai pertemuan terakhir sebelum semuanya beranjak melanjutkan hidup masing-masing. Perayaan itu diadakan di sebuah tempat terbuka yakni alun-alun kota. Lapangan luas yang dikelilingi oleh berbagai penjual makanan khas ditepinya. Di salah satu sudutnya berdiri kokoh Masjid Agung terbesar dan termegah yang menjadi kebanggaan warga kota. Mereka duduk lesehan beralaskan tikar dengan meja pendek memanjang sebagai tempat barisan hidangannya.
Rania duduk berjajar dengan teman-teman perempuan lainnya. Ada Alma juga di sana. Setelah menghabiskan pesanannya, ia menyadari ada selembar kertas di bawah piringnya. Ada sebuah kalimat petunjuk tertulis disana.
Rania. Lihat ke depan, searah jarum jam, sekarang!
Rania patuh. Sosok yang tak asing baginya telah berdiri tepat di depan megahnya Masjid Agung kota. Terlihat sedang memandang ke arah ia berada dengan gawai di tangan.
Semua sudah selesai sekarang. Setelah semua yang kita jalani selama ini, inilah saatnya. Rania, maukah kau menjadi istriku, ibu dari anak-anakku?
Sebuah pesan masuk di aplikasi pesan gawai Rania. Rania sontak mendelik. Mengerutkan dahinya. Ia tak percaya.
Apa-apaan ini? pesan balasan Rania.
Maaf. Dulu terlalu keras padamu, jawab Dimas.
Calonmu?
Tak pernah ada. Singkat dan cepat Dimas mengirimkannya.
Maksudnya?
Tak ada balasan. Dimas masih mematung di tempatnya. Sementara Rania bangkit lalu menghampiri si pria. Berharap mendapat jawaban dari rasa penasarannya di tempat yang jauh dari teman-teman.
Sampai di depan si pria, “Jadi tentang calonmu itu ….”
Belum selesai Rania dengan kalimatnya, Dimas menyela.
“Cuma alasanku saja.”
Ia menarik napas lalu melanjutkan rangkaian kata.
“Sebelum aku siap, aku tak akan menarik tangan seorang wanita dan membawanya ke dalam lembah hitam bernama dosa. Aku akan memberikan alasan apa pun untuk menghindari hubungan yang salah di mata-Nya. Aku juga yakin kau pandai menjaga kehormatan sampai saatnya tiba. Dan sekarang aku sudah siap. Aku sudah lulus dan siap berkeluarga. Jadi maukah kau mendampingiku hingga tua nanti?”
“Tidak,” jawab Rania. Mencoba menyampaikannya dengan wajah dibuat seserius mungkin.
“Benarkah?”
“Iya. Aku tidak mau. Tidak mau kalau kau tak memintanya langsung kepada ayah ibuku.” Seulas senyum tersungging di wajah cantiknya.
“Oh, baiklah. Aku akan ke rumahmu besok malam bersama orangtuaku. Sampaikan itu kepada Ayah dan Ibu.”
Sontak, sorak sorai terdengar di sekeliling kami. Kami tak menyadari ternyata teman-teman telah berada di dekat kami sedari tadi.(*)
Tentang Penulis:
Brebes, 4 September 2018. Evamuzy adalah seorang gadis bungsu. Seorang pendidik di tempat pendidik anak usia dini. Gadis pecinta literasi dan sepi.
Tantangan Lokit 6 adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakan di grup FB KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata