Sepasang Mata yang Berbicara
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda
Cerpen Terpilih ke-16 pada #Tantangan_Lokit_6
Senja yang sarat akan bau petrikor itu, sehari setelah kepulangan Dame Binanga dari ibu kota, seorang kawan lama bertandang sembari membawa seplastik buah keramunting1, buah yang biasa mereka makan ketika kanak-kanak. Binsar—demikian Dame memanggil pemuda berambut hitam itu—banyak tertawa, memperlihatkan sederet gigi putih yang amat kontras dengan kulit kakaonya.
Mereka bercakap banyak hal. Binsar mengeluhkan hubungannya dengan Naeng, dara dari desa sebelah, cinta pertamanya sejak kanak-kanak. “Dia akhirnya memilih bersama si Toby, pria tajir yang ia temui di perantauan! Ah, memang betul omongan orang kalau cinta semasa kanak-kanak itu sama sekali tidak bermakna.”
Kala itu, bersamaan dengan gemerasak daun palem di hutan belakang rumah, Dame tertawa jenaka seraya menanggapi curahan hati Binsar, “Memang, setidak berguna itu, ya?”
*
Selama dua puluh empat tahun ini, berkali-kali Dame pulang bersama seorang wanita. Kadang kala, mereka bergandengan tangan dan saling memahat senyuman—kendati sang wanita kentara lebih aktif lantaran terus melontarkan banyolan. Tidak jarang, mereka pulang membawa satu tas penuh buku—alasannya, hendak belajar kelompok.
Kami hafal betul akan hal itu. Pagar besi yang baru dipasang ketika Dame berada di bangku SMP akan berderit, mengucapkan selamat datang. Bekerja sama dengan angin, tirai kerang di pintu utama akan bergerincing, mendoakan kelanggengan mereka berdua. Tidak cukup, bunga-bunga di taman depan seketika berseri-seri, berharap akan ada pernyataan cinta yang terdengar usai pertemuan tersebut.
Akan tetapi, sebagai penghuni terlama yang urung ditebang setelah delapan puluh tahun, aku menegaskan bahwa tidak ada yang bisa menarik hati Dame sebagaimana yang dilakukan oleh anak perempuan bermata purnama itu.
Aku merekam jelas bagaimana mereka bertemu. Sore kelabu. Mendung yang tiada henti memuntahkan air serta menciptakan guntur. Kala itu, jalanan desa yang baru selesai diaspal sempurna lengang lantaran orang-orang memilih mengistirahatkan diri, barangkali sembari menyeduh minuman berbahan dasar biji kopi. Dame kecil pun memilih duduk di teras rumah panggung bersama Apa2 sambil sesekali mendekat ke tepi, menengadahkan tangan, menampung air hujan. Ama3 datang membawakan jajanan, meminta untuk masuk karena magrib akan bertandang. Namun, bocah bermata kucing itu hanya tersenyum, mengiyakan, lalu kembali melihat hujan, melayangkan pandang ke jalanan hingga ia berteriak, membikin gaduh seisi rumah.
Seorang gadis kecil berlari dari arah utara, tidak peduli oleh intensitas hujan dan petir yang meninggi. Ama berteriak, memintanya untuk berhenti dan berteduh saja di rumah mereka. Namun, entah murni mengabaikan atau memang suara Ama yang tertelan hujan, gadis itu terus saja berlari … hingga kilat datang dan ia tersentak, berjongkok sambil menutup telinga.
Tiba-tiba saja, Dame berlari diikuti Apa dan Ama. Anak itu serta-merta digendong dan dibawa ke teras rumah. Di sana, ia menangis amat lama, tidak sanggup ditanyai apa-apa. Ama menyediakan teh serta beberapa camilan, sedangkan Apa dengan telaten bermonolog untuk mencairkan suasana. Dame ada di sampingnya, memandang lekat-lekat gadis berambut ikal tersebut. Lalu, ketika gadis itu mengangkat wajah, tiba-tiba saja ia terpaku.
Matanya bulat, seperti purnama. Ada keindahan serta kesunyian yang tersirat dari manik legamnya. Ada kesenduan malam yang membuat Dame membatu, tidak dapat berkata-kata. Lantas, saat itulah aku tahu, ia telah jatuh cinta.
*
Sejak kecil, Dame jarang mengungkapkan perasaannya, jadi Ama dan Apa mesti memperhatikan betul-betul gejolak yang kentara dari wajah lembut putra mereka. Oleh karena itu, tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk menyadari makna sikap membatu Dame. Lekas saja, mereka mendatangi rumah si Mata Purnama—yang, dari pembicaraan mereka, berada di dekat pantai—dan meminta anak perempuan itu untuk sering-sering datang ke rumah. Bulan Tula, nama gadis itu, kembali dua hari kemudian, usai Dame mengerjakan PR tentang bilangan berpangkat. Aku tertawa lantaran ia kentara salah tingkah ketika mengajak Bulan bermain sembunyi gong4 sebagai tontonan menarik.
Hari-hari berikutnya, Bulan selalu datang ke rumah. Kadang kala bermain sek usek5 bersama Dame; terkadang menjadi penonton ketika Binsar membawa rombongan anak laki-laki guna bermain tapel6. Di satu waktu, mereka akan duduk di teras rumah dan Dame bakal menceritakan banyak hal, terutama kegiatannya di sekolah.
“‘Ama membelikan buku ini saat aku kecil. Isinya bagus sekali. Kamu harus membacanya,” ungkap Dame di Minggu tanpa awan.
Bulan terdiam. Ia mencicit, “Aku tidak bisa membaca.” Mata kucing itu menyipit, tidak mengerti, membuat Bulan menghela napas, menjelaskan, “Aku tidak sekolah. Apa melarangku untuk sekolah. Katanya, itu hanya menambah pengeluaran rumah. Tapi … Ama mengajariku beberapa hal, termasuk menghargai dan bersikap sopan pada semua orang.”
Angin mengisi spasi percakapan mereka sebelum Dame berucap, “Kalau begitu, aku akan mengajarimu. Bu Guru mengatakan bahwa kita tidak boleh pelit ilmu, jadi aku akan membantumu sampai mengerti apa yang kupelajari di sekolah.” Rumpun bunga mawar di kanan-kiri rumah seketika merona, terlebih ketika binar benderang muncul di obsidian legam Dame. Terlampau jujur, sederhana, tetapi bermakna.
Sore, dua hari kemudian, seorang pria bertubuh tegap terbakar matahari dengan luka memanjang di tangan kanan datang membawa botol berwarna hijau yang pecah setengah. Pria itu meracau tidak jelas. Tidak mendengarkan perkataan Ama dan Apa untuk memberikan sedikit waktu bagi Bulan. Malah, ia mengacungkan botol arak yang pecah setengah, menarik paksa Bulan yang terus-terusan menundukkan kepalanya.
“Dasar tidak tahu diuntung! Aku pergi ke laut, kau malah bermain di sini! Kau harusnya bantu ibu tidak bergunamu itu, paham?”
Aku tahu Dame mengkhawatirkan Bulan. Orangtuanya pun demikian. Ia menjelaskan beberapa hal pada Dame—yang hanya disambut kernyitan dahi oleh bocah berusia sepuluh tahun itu—tentang dunia orang dewasa yang keras. Dame diam cukup lama. Rautnya muram. Melihat itu, Apa menepuk pucuk kepala Dame sembari berkata, “Kalau kamu memang khawatir, lindungi dia. Teman selalu membantu satu sama lain, ‘kan?” Dame tersenyum manis. Barangkali, berjanji bahwa akan mulai hari itu akan melindungi Bulan.
“Kadang, aku merasa menjadi anak nakal karena bisa bebas bermain di sini. Di sini, aku tidak perlu berpura-pura tidur, tidak perlu berlama-lama di kamar mandi, juga tidak perlu menganggap semua suara berisik itu tidak ada,” ungkap Bulan ketika bermain lego di teras rumah. Rautnya lebih murung ketimbang hari-hari normal dan, dari pernyataan tersebut, Dame memahami alasan Bulan kentara gelisah selama berada di rumahnya, “padahal … Ama ada di rumah, menangis karena perbuatan Apa.”
“Kalau begitu, aku adalah anak nakal karena membuatmu menjadi anak nakal.” Aku menahan senyum ketika Dame tertawa dengan jenaka. “Tapi, bahkan anak nakal juga boleh bersenang-senang, ‘kan? Karena itu, selama di sini, jadilah anak nakal dan nikmati apa yang ada. Tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa … karena Ama bilang, semua orangtua berharap anaknya bahagia.”
Rerumputan dan tanaman pucuk merah ikut tertawa, sedangkan mata purnama itu perlahan bersinar, merasa aman.
*
Sepanjang yang kutahu, Bulan Tula tidak pernah berjanji atau mengatakan hal-hal seputar prediksi di masa depan. Jika Ama mengingatkan untuk kembali besok sore, ia hanya menarik garis lurus di bibirnya, lantas beranjak pergi—sering kali aku berpikir ia pun juga melupakan cara tersenyum dengan tulus. Yah, aku memakluminya. Delapan puluh tahun tumbuh di sini membuatku memahami liku permasalahan manusia, jadi aku bisa memprediksi alasannya berlakon demikian karena trauma akan janji seseorang. Mungkin, itu karena omong kosong sang apa ketika menikah. Mungkin pula lantaran sang ama terlalu sering berjanji semua akan kembali seperti semula padahal fakta berkata sebaliknya.
Hari itu, Bulan mengernyit ketika Dame memberikan sebuah gelang dari rangkaian kerang padanya. Tirai kerang di pintu utama bergerincing, menggoda Dame yang berusaha mengalihkan pandangan ketika Bulan bertanya maksud dari gelang itu. “Binsar memaksaku membantunya membuat gelang dari kerang. Katanya, sih, dia ingin menghadiahkannya pada Naeng. Tapi, aku membuatnya terlalu banyak … jadi aku membaginya pada beberapa orang.”
Mata purnama itu bersinar. “Terima kasih.”
Angin berembus, menerbangkan wangi bunga mawar yang mekar sempurna untuk sepasang sahabat teristimewa. “Lusa, aku ulang tahun. Ama dan Apa bilang untuk mengundang seluruh temanku. Kuharap kamu juga datang.”
Bulan terdiam. Tangannya memainkan gelang pemberian Dame. “Aku … tidak bisa berjanji.”
Dame tersenyum hingga matanya menyipit, menyerupai bayi kucing. “Iya, aku tahu. Aku tidak memintamu berjanji. Aku berharap kamu datang ke pesta itu … karena kamu temanku.” Sang Mata Bulan memandang si Mata Kucing lekat-lekat. “Teman tidak akan membuat teman yang lain bersedih, ‘kan?”
Ada keramaian yang santun dari pohon palem belakang rumah. Ada harap cemas yang meletup begitu kuingat ia hidup dalam keluarga ironi. Namun, tidak disangka, anak perempuan bertubuh kurus itu menghela napas, mengukirkan sesuatu yang tidak pernah kentara di paras ayunya. “Baiklah kalau begitu.”
Hari itu, Bulan menjanjikan sesuatu untuk pertama kalinya. Hari itu, mata Dame berbinar teramat benderang. Hari itu, bulan purnama sempurna bercahaya, melupakan langit malam yang menjadi rumahnya selama ini.
*
Rerumputan di halaman rumah Dame protes massal karena dijadikan alas meja, kursi, serta beberapa peralatan lain. Pohon pucuk merah bersorak sebab dirapikan sedemikian rupa sebagai salah satu interior pesta. Aku pun hanya dapat tersenyum, mengikuti Dame yang tiada henti tersenyum, sambil melihat orang-orang berlalu-lalang di bawahku. Langit sedang cerah dan kupikir semua ini bakal berakhir indah.
Pagi itu, kabar mengejutkan datang dari utara. Sesuatu yang membuat pesta tiba-tiba dibatalkan dan Dame bersikeras meminta ke rumah sakit: ‘pria dengan luka sayatan di tangan kanan itu menggila, mencabut nyawa sang istri, dan melukai putrinya’.
Seharian itu, rumah Dame lengang. Halaman yang telah didekorasi begitu matang menyisakan sunyi yang menggelisahkan. Rerumputan, tanaman pucuk merah, hiasan kerang di atas pintu rumah—semua yang ada di sini—hanya dapat menebak akhir dari semua ini … berharap bahwa ‘semua akan baik-baik saja’.
Petang, Dame dan orangtuanya baru pulang. Mereka kentara lelah. Wajah Dame menjadi segelap keramunting yang dimasak Ama. Esoknya, binar mata Dame tidak muncul, malah bertambah redup. Setelah itu, aku sering melihatnya termangu di jendela kayu, sesekali mencicit untuk dapat bertemu Bulan. Ama menghibur, berkata Bulan butuh waktu untuk menenangkan diri dan pasti akan kembali karena ingin bermain bersama Dame. Namun, ia tidak pernah datang.
Orang-orang dewasa yang kerap berteduh di bawah tubuhku berucap bahwa Bulan mengalami syok berat. Trauma psikis. Pernah, ia diantar pulang oleh seorang pendamping dari kepolisian, tetapi ia justru berteriak, lalu pingsan. Paramedis memutuskan untuk membawa Bulan ke luar pulau, rehabilitasi dengan seorang yang lebih ahli, dan tiba-tiba saja informasinya menjadi tidak masuk akal. Ada yang bilang ia menjadi gila, ada yang bilang ia lupa ingatan dan diadopsi oleh keluarga anyar.
Tidak ada yang mengonfirmasi pasti, tetapi aku tahu apa yang terjadi setelahnya.
Iris obsidian Dame tidak lagi berbinar sebagaimana ketika ia bersama Bulan. Musim penghujan dan kemarau berlalu amat stagnan. Wanita-wanita yang berusaha mendekatinya pun hanya ditanggapi pasif, tersenyum, menolak halus. Tetumbuhan di halaman rumah berkali-kali mendiskusikan hal itu, tetapi aku sekadar menjawab bahwa semua butuh waktu—dan bagi Dame, barangkali waktu itu adalah selamanya. Oleh karena itu, tidak ada wanita yang sanggup mengembalikan binar mata pada iris obsidiannya … ‘tidak ada’.
Atau memang, sosok itu belum tertulis dalam buku kehidupan Dame?
*
Seminggu setelah kepulangan Dame, Binsar heboh mengatakan bahwa kawan lama mereka telah merencanakan pesta ulang tahun sekaligus penyambutan atas kedatangannya di tanah kelahiran. Dame menolak, tetapi pemuda berahang tegas itu memaksa hingga si empunya mengiyakan. Terpaksa juga.
Kala itu, ketika Dame tengah mempersiapkan diri menghadiri pesta ulang tahunnya—tatkala angin muson barat membawa kesejukan tersendiri, menerpa pepohonan palem di belakang rumah—seorang gadis datang bertamu, membuat sang empu rumah mengernyitkan dahi sejemang. Mata kelam mereka bertemu dan, ketika gadis itu mengeluarkan gelang dari rangkaian kerang, binar mata itu kembali muncul, seolah mengatakan selamat datang bagi sang pemilik mata purnama.(*)
1buah berbentuk bulat berwarna merah kecokelatan; Rhodomyrtus tomentosa
2(bhs. Bangka) ayah
3(bhs. Bangka) ibu
4petak umpet
5kejar-kejaran
6kelereng
Devin Elysia Dhywinanda adalah hasil hibridisasi dunia wibu dan Koriya yang lahir 10 Agustus 2001 di Ponorogo.
Tantangan Lokit 6 adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakan di grup FB KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata