Kita Seminggu Lalu
Oleh: Lily Rosella
Hampir genap satu minggu kita berpisah di halte bus senin pagi kemarin, kau telah menghubungiku seperti setiap malamnya. Namamu tertera sempurna di layar ponselku. Hanya saja aku tidak mengangkatnya, seorang pria berusia 30 tahun di sampingku memintaku untuk mengabaikannya.
Jumlah panggilan atas namamu semakin bertambah, bahkan karenanya daya baterai ponselku sudah hampir habis.
“Kau akan terus mengabaikanku?” kira-kira begitulah isi pesan darimu. Aku tidak membukanya agar kau tak tahu kalau aku masih menatap ponselku setiap kali benda berukuran 4 inci itu menyala juga bergetar.
Pria di sampingku mengambil ponsel dari tanganku. Meletakkannya di sebuah meja kecil yang agak jauh dari ranjang. Menyuruhku untuk menatap langit-langit kemudian memejamkan mata. Aku tak berkomentar apa pun, menuruti semua perkataannya sejak hari terakhir kita bertemu. Tidur lebih awal dari biasanya, tak mengangkat telepon atas namamu, bahkan membiarkanmu sibuk menatap ponsel dan menghubungiku berkali-kali di setiap malamnya. Itulah yang ia minta.
“Apa saja yang kalian lakukan hari itu?” tanyanya.
Aku membuka kedua mataku, menatapnya penuh selidik. Ia bilang tidak apa, aku bisa bercerita tentangmu tanpa perlu takut ia marah.
Sore itu langit kelihatan cerah, sangat bersih dengan sedikit awan yang menutupinya saat aku mengedarkan pandangan. Jam menunjukkan pukul 17.20 dan itu sudah lewat 40 menit dari janji yang telah kita sepakati di malam sebelumnya.
“Cappuccino?” tanyamu yang baru datang. Menyodorkan kaleng minuman berisi cappuccino.
“Kau terlambat,” sahutku sambil menunjuk-nujuk jam tangan berwarna cream yang melingkar di pergelangan tanganku, untuk kemudian menerima tawaran cappuccino-mu.
“Maafkan aku.”
“Tak masalah.”
Kau duduk di sampingku. Tangan kirimu menggenggam tangan kananku yang tak memegang kaleng minuman—karena aku kidal sehingga biasa makan dan minum dengan tangan kiri. “Kita pindah saja,” ajakmu.
“Ke mana?”
“Ke sana.” Kau menunjuk sebuah kedai ramen, bangkit dan menarik tanganku. Membuat cappuccino pemberianmu tertinggal di bangku yang kita duduki tadi.
“Ramen dua,” serumu begitu menyibak kain penutup pengganti pintu kedai. Sepertinya kau sudah biasa datang ke tempat ini sehingga tidak lagi canggung pada pemiliknya. Memintaku untuk segera duduk. Berbincang-bincang sambil menunggu ramen kita siap.
“Makanlah,” ucapmu sambil memelintir sepasang sumpit dengan kedua telapak tangan.
Aku memakan ramen yang terhidang di mangkuk besar berwarna hitam. Sesekali menatapmu yang sibuk menyeruput.
“Kau sepertinya baru pertama datang ke sini,” sapa Paman Pemilik Kedai ketika aku sedang makan. Di sini agak sepi, jadi itulah sebabnya ia berbasa-basi denganku agar tidak bosan.
Aku mengangguk, tersenyum sekilas, lalu melanjutkan makan. Mungkin setelah ini kau akan mengajakku ke suatu tempat lagi setelah menghabiskan ramen di mangkukmu.
“Makanmu cukup banyak untuk seorang gadis bertubuh kurus,” ucapnya.
Kali ini aku diam saja, menunduk sambil mataku melirik mangkuk ramenmu yang telah kosong. Kau telah meninggalkan kedai ini selepas menghabiskan makananmu, khawatir kalau kau akan ketinggalan bus jika menungguku selesai makan. Aku berdiri, mengeluarkan dua lembar uang kertas, menaruhnya di meja samping mangkuk. Membungkuk sedikit dan langsung berlari menyusulmu ke halte.
“Kau sudah akan pulang?” tanyaku tepat sebelum kakimu melangkah naik ke bus.
Kau berhenti, membenarkan jaketmu yang berwarna biru dongker lalu menghampiriku. Kau bilang kita bisa bertemu di hari yang sama di setiap minggunya.
“Setiap minggunya?” tanya pria berusia 30 tahun itu.
Aku mengangguk. Ya, setiap minggunya.
“Itu berarti setiap hari senin?”
Untuk kedua kalinya aku mengangguk lagi.
“Jadi … itu besok?”
“Iya,” jawabku singkat.
“Apa yang ia katakan lagi setelah itu?”
Aku tersenyum simpul. Memberitahunya kalau kau ingin agar kita terus bersama. Sekarang, besok, dan seterusnya. Hanya saja kau tidak bisa datang menemuiku setiap hari, dan karenanya kau hanya bisa menghubungi di setiap malam sampai hari senin tiba. Dan sebelum aku membuka mulut, bibirmu yang lembut mendarat di bibirku. Sebuah kecupan singkat.
“Dia menciummu?”
“Tidak.”
“Lalu?”
“Itu hanya kecupan saja.”
Ia mengangguk, mengembus napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan dan memintaku untuk mencoba mengingat-ingat lagi apa yang sebenarnya terjadi hari itu. Hal lainnya yang aku ingat selain apa yang telah kuceritakan.
***
Aku memegang bahunya, menatapnya seolah sedang mencari sesuatu yang tak aku tahu, kemudian memeluknya. Mengusap lembut rambut pendeknya yang terkuncir sambil memintanya untuk tenang. Aku tahu tentang cappuccino, kedai ramen, juga halte bus tempat kalian terakhir bertemu.
“Tidak apa-apa? Aku bisa mengingatnya sesukaku?” tanyanya.
Aku ada di sana, sore itu langit kelihatan cerah, sangat bersih dengan sedikit awan yang menutupinya saat ia mengedarkan pandangan. Jam menunjukkan pukul 17.20 dan itu sudah lewat 40 menit ia duduk di bangku berwarna cokelat.
Rasa haus membuatnya beranjak ke mesin minuman, membeli cappuccino sembari menunggumu datang. Tapi hari sudah semakin sore saat ia pikir kau benar-benar akan datang. Rasa frustrasi membuatnya pergi ke kedai ramen, memesan dua porsi ramen. Di kedai itu hanya ada aku dan dia sehingga Paman Pemilik Kedai mengajaknya berbincang setelah mengangguk padaku, paman itu adalah kenalanku. Ia menunduk saat Paman Pemilik Kedai mengatakan sesuatu untuk kedua kalinya. Ya, dia makan cukup banyak saat itu dan membuat Paman Pemilik Kedai bingung.
Jam sudah menunjukkan pukul 17.55. Tersisa 5 menit sebelum bus datang dan ia nampak bergegas pulang padahal ramen di mangkuk keduanya masih tersisa separuh. Tanpa menghiraukan soal ramen, ia bangkit, menyerahkan dua lembar uang kertas, membungkukkan badan lalu segera berlari ke halte. Ia memandangi setiap orang yang naik ke dalam bus, matanya menyapu sekitar seolah tengah mencari seseorang. Menoleh sekilas untuk memastikan kau benar-benar tidak datang lalu naik ke dalam bus.
Aku tidak tahu kenapa ia masih tidak dapat melupakanmu, duduk di bangku taman setiap Senin sore sambil menikmati sekaleng cappuccino juga mendengarkan musik dari MP3 Player-nya. Bahkan sudah setahun lamanya, layar ponselnya yang mati tetap terasa seperti menyala, namamu tertera di sana, juga pesan-pesan yang sungguh tak dapat kutemui meski telah kutengok benda berukuran 4 inci itu kali-kali. (*)
Lily Rosella, penulis asal Jakarta.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata