Air
Oleh: Noery Noor
Mengapa air tak mengalir lagi? Aku tak habis pikir,sudah hampir seminggu, air tidak lagi mengalir melalui pipa plastik berdiameter setengah centi ini. Berkali aku kibaskan, berharap ada air yang menetes dari dalam, namun tetap saja tak kudapatkan apa yang kuharapkan.
Kemarau panjang telah mengakibatkan sumber air mengering, sehingga seluruh warga desa kesulitan mendapatkan air bersih, meskipun sekadar untuk memasak. Satu-satunya sumber air yang tersisa hanya di lereng bukit, di bawah beringin kurung, yang konon telah berusia ratusan tahun. Sedang untuk mencuci dan mandi, warga harus ke kali atau belik, itu pun mereka harus antri dan bergiliran.
Pemerintah Desa membantu warga dengan memberikan sebuah tangki penampung air yang kemudian dialirkan ke rumah-rumah warga dengan pipa-pipa plastik. Warga yang membutuhkan harus rajin mengalirkan air dari tangki penampung melalui selang-selang plastik ke rumahnya.
Sejak sore, bahkan sebelum azan magrib berkumandang sudah tiga kali aku bolak balik dari tempat penampungan air bersih, namun tak setetes pun air kudapatkan.
Pagi tadi aku sempat mengambil air dengan tempayan kecil dan hamya cukup untuk memasak siang tadi. Hampir seminggu keadaan ini terus berlangsung. Biasanya pada siang hari kami bisa mengalirkan air yang terkumpul selama semalaman. Namun dalam seminggu terakhir, siang atau malam sumber air semakin kurang dari waktu ke waktu.
Harusnya malam ini aku kembali ke tangki biru itu agar besok pagi mendapatkan cukup air untuk memasak. Namun tubuhku yang kian renta terlalu lelah. Biarlah besok pagi-pagi buta aku akan ke sumber air itu lalu mengalirkannya ke rumah. Apalagi ini hampir tengah malam.
Suara ketukan pintu membangunkanku yang nyaris terlelap. Udara dingin masuk melalui celah-celah dinding anyaman bambu, bagai jarum-jarum halus terasa menusuk hingga ke sumsum tulang.
Seorang lelaki bertubuh gempal menyambutku di balik pintu. Namanya Tarjo.
“Tolonglah istriku, Nyai.” Lelaki berwajah bulat itu memohon. Raut mukanya sedikit mengiba. “Istriku akan melahirkan … Nyai tahu tempat ini jauh dari bidan dan puskesmas.”
Sejenak aku tercenung. Sebagai dukun bayi terlatih, aku sudah membuat perjanjian hitam di atas putih untuk tidak menolong persalinan, kecuali mendampingi bidan.
Bila kesepakatan itu kulanggar, maka aku akan kena denda. Meskipun besar denda tak seberapa, tapi itu cukup untuk mencemarkan nama baikku di desa ini. Di satu sisi bila aku biarkan perempuan itu melahirkn tanpa pertolongan, bisa jadi akan terjadi sesuatu dan lain hal yang bisa merenggut nyawa mereka, bayi dan ibunya.
“Ayolah, Nyai. Istriku sangat membutuhkan pertolonganmu! Sore tadi air ketubannya sudah pecah,” desaknya sambil mengacak rambutnya yang keriting .
“Segeralah pulang, aku akan menyusulmu,” putusku akhirnya. Aku bisa datang ke tempat itu sekalian mengalirkan air. Lelaki itu segera bergegas meninggalkan rumahku, aku pun segera berkemas untuk berangkat.
***
Temaram sinar rembulan mengantar langkahku di bukit kecil tempat tangki penampungan itu berada. Samar dalam temaram cahaya bulan, kulihat sosok seorang lelaki yang tengah mengendap-endap mendekati tangki penampungan air itu.
Aku berlindung di balik sebatang pohon beringin yang akarnya rimbun menjuntai, sambil mengamati gerak-gerik lelaki itu. Tampak tergesa ia berusaha mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya yang longgar. Sebilah pisau! Aku tergamam melihat kilatan cahayanya yang memantulkan sinar rembulan
“Apa yang akan kau lakukan?” bentakku geram pada lelaki paruh baya itu. Tangan kiriku mencengeram kuat tangannya hingga pisau itu terlepas.
Sebelum ia sadar dan melawan, kedua tangannya telah teringkus.
“Jangan campur tangan urusanku, Nyai!” dengusnya kesal, mencoba melawan. Aku, Nyai janggi memang hanya seorang dukun beranak.
Dulu waktu remaja aku pernah belajar ilmu beladiri. Beberapa kali menjuarai porseni untuk cabang olah raga karateka semasa SMA. Kemampuan ini nyaris tak pernah saya gunakan saat suamiku masih ada dan selalu menemani ke mana pun aku pergi.
Setelah suamiku meninggal, dan aku harus keluar masuk kampung untuk menolong kelahiran bayi, ilmu ini terasa amat berguna. Seperti saat ini.
“Aku akan melepaskanmu, tapi kau harus ingat! Aku telah menyaksikan apa yang kau perbuat!” bentakku sekali lagi tanpa mengendurkan cengkeramanku. Lelaki itu mengamati wajahku, dia tampak terkejut. Dikiranya aku hanya bisa menimang dan membuai bayi.
Saat aku bermaksud melepaskannya, beberapa pemuda datang mendekat, “Jangan lepaskan dia, Nyai! Kami telah mengamati gerak-geriknya selama ini!” teriak salah satu di antara mereka. Tempat ini memang selalu dijaga selepas tengah malam.
Beberapa pemuda bertubuh tegap maju dan memaksa lelaki itu bangun. Lelaki itu bangun, sebelum ia jadi bulan-bulanan para pemuda tersebut. Dalam temaram cahaya bulan, aku melihat wajah lelaki itu, dan ….
“Kau?” tanyaku terkejut. Ia lelaki yang tadi datang ke rumah dan istrinya akan melahirkan itu, Tarjo.
“Iya Nyai. Maafkan, di rumah tidak ada air sama sekali, istriku mau melahirkan, jadi terpaksa aku mengalirkan air tiap tengah malam untuk kebutuhan sehari-hari.” Lelaki itu menunduk. Beberapa lelaki bergumam tak jelas, mereka kecewa dengan kelakuan lelaki itu.
“Seharusnya kamu mikir, Tar! Sumber air ini bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan di dusun kita saja, tapi juga beberapa pedukuhan lain,” kata salah satu dari mereka dengan geram.
“Maaf … sekali lagi maaf. Ini saya lakukan karena saya tidak ingin kejadian tahun kemarin terulang lagi. Istriku keguguran karena jatuh saat mengambil air di kali,” dalihnya sambil menunduk.
“Tapi cara yang kau tempuh ini membuat hampir semua warga di sini kesulitan air bersih, Tar. Kau tahu, ini satu-satunya sumber air bersih di desa kita saat ini. Akibat perbuatanmu ini hampir semua warga dalam seminggu ini tidak mendapatkan air.” ketua Rukun Kampung memberikan penjelasan pada Tarjo.
“Iya, Kang … saya ngerti.”
Sejenak sunyi.
“Sudahlah, mungkin sebaiknya ada yang mengatur agar semua warga mendapat jatah air dari tempat ini. Jangan lupa berikan tambahan untuk keluarga lansia dan ibu hamil. Kasian mereka kalau harus mengusung air dari kali,” usulku menengahi. Selama ini memang warga dengan bebas dapat mengalirkan air ke rumahnya, siapa cepat dia dapat.
“Kang! Cepatlah pulang! Istrimu … dia sudah melahirkan!” sebuah teriakan mengejutkan kami, terutama Tarjo dan aku. Seorang wanita paruh baya dengan napas tersengal menghampiri kami sambil setengah berlari.
Aku segera melangkah meninggalkan tempat itu, diikuti Tarjo. Para pemuda tadi segera mengembalikan selang-selang yang tadi akan dipotong Tarjo untuk mengalirkan air ke rumahnya.(*)
Yogyakarta, 18 Agustus 2018
Noery Noor, ibu rumah tangga yang sedang belajar menulis.
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita