Ketika
Oleh: Triandira
Hujan masih turun ketika aku baru saja menyelesaikan soal terakhir di buku tulis bersampul tokoh kartun kesukaanku. Itu adalah hadiah yang Ibu berikan setelah kemarin aku mendapatkan nilai bagus di sekolah. Bukan hanya buku, ia juga memberiku beberapa pensil, satu penggaris, dan dua buah penghapus berukuran kecil yang dibelinya dari toko dekat jembatan sepulang bekerja. Tepatnya tadi sore, sebelum langit mulai gelap dan embusan angin membuatku sedikit kedinginan.
Sembari mengenakan jaket usang bermotif polos, aku melanjutkan kembali kegiatanku. Memasukkan semua alat tulis ke dalam tas, lalu meraih sebuah novel yang berhasil kupinjam dari seorang teman. Ia adalah lelaki berusia 27 tahun yang gemar menulis—setidaknya itulah yang sering kulihat semenjak mengenalnya—sekaligus sosok menyenangkan yang telah mengajariku satu hal: berani bermimpi. Aneh? Mungkin, tapi aku menyukainya.
“Gantungkan cita-citamu setinggi langit! Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang,” ucapnya mengutip kalimat dari sebuah buku ketika kami bertemu. Sesungguhnya aku tidak paham betul dengan apa yang ia ucapkan, tapi tidak masalah. Ia bilang, suatu hari nanti aku pasti akan mengerti dengan hal yang ia maksudkan itu.
Saat ini usiaku memang masih 11 tahun, dan aku belum bisa memahami banyak hal dengan mudah. Tapi sama seperti dirinya, aku juga sangat suka membaca. Alasan sederhana yang pada akhirnya membuat ia dengan senang hati meminjamkan salah satu bukunya padaku.
“Aku rasa ini cocok untukmu.”
“Wow, terima kasih. Aku pasti akan menjaganya dengan baik, dan akan kukembalikan tepat waktu,” janjiku setelah menerima sebuah novel darinya yang menceritakan perjuangan sekelompok anak untuk tetap bersekolah di tengah keterbatasan yang ada.
“Hm, tidak perlu terburu-buru. Lagi pula untuk saat ini kau lebih membutuhkannya daripada aku.”
Ia tersenyum, sedangkan aku hanya memicingkan mata. Sepertinya ia mengerti bahwa aku tak punya cukup uang untuk membeli buku atau novel semacam ini. Penampilanku yang menyedihkan dengan kaos warna biru yang memudar, celana pendek yang sudah kesempitan, dan sendal jepit yang kupakai, sudah cukup membuktikan bahwa aku terlahir dari keluarga sederhana. Jadi pantas saja jika ia berkata demikian.
“Ingatlah pesanku tadi.”
“Apa pun impianmu, jangan biarkan ia menghilang begitu saja.”
“Bocah pintar,” pujinya sambil mengacak-acak rambutku yang cepak. “Baiklah, sekarang aku harus pergi.”
“Tapi kau akan kembali lagi, bukan?”
“Tentu saja, bukankah aku harus mengambil novel itu lagi darimu?”
Semua perkataan darinya tidak hanya terngiang di telingaku, tapi juga menjadi hal yang sangat kurindukan saat ini. Semenjak kepergiannya ke kampung halaman, kami memang belum pernah berjumpa lagi. Rumah yang dulu ia sewa pun telah ditempati oleh orang lain. Meski begitu aku tak henti berharap agar bisa bertemu dengannya di lain waktu.
“Kau belum tidur?” sapa Ibu mengagetkanku. Ia datang sambil membawa nampan berisi secangkir teh, lalu meletakkannya di atas kursi plastik dekat ranjang. “Cepat minum selagi hangat.”
“Terima kasih, Bu.”
Perempuan berkerudung hitam tersebut mengangguk pelan dengan seulas senyum di bibir. Hal yang selalu ia tunjukkan ketika melihatku sedang sibuk belajar atau sedang asyik membaca seperti sekarang. Ia adalah sosok terpenting dalam hidupku. Satu-satunya keluarga yang kupunya setelah kepergian Ayah untuk selama-lamanya.
Tidak hanya itu, bagiku Ibu adalah segalanya. Seseorang yang ingin kubahagiakan di dunia ini, dan ia adalah alasan terbesar di balik impian yang kumiliki. Ya, aku memang senang memimpikan banyak hal. Salah satunya menjadi orang yang sukses. Mempunyai rumah yang besar dan nyaman agar Ibu tidak perlu lagi menadahkan ember di bawah genting yang bocor saat hujan datang. Aku juga ingin memiliki mobil agar ia tidak usah berjalan hingga kelelahan hanya untuk pergi ke suatu tempat, dan yang paling kuinginkan adalah bisa mengajaknya ke tanah suci seperti impiannya selama ini. Aku sering melihatnya, Ibu bermunajat di tengah malam sambil mengusap gambar kabah dengan linang air mata.
“Jangan cemas, Bu. Suatu saat nanti aku akan mewujudkan impian kita,” bisikku dalam hati kemudian meminum habis teh buatannya hingga badanku tak lagi kedinginan. Usai menaruh novel ke dalam laci meja, Ibu mematikan lampu kamar. Tak lama berselang, aku sudah terlelap sampai akhirnya sesuatu yang mengejutkan membuatku ketakutan. Tepat pukul tiga, aku terbangun sambil berjalan sempoyongan keluar ruangan.
Dalam suasana yang gelap sebab lampu tak bisa dinyalakan, Ibu menjerit. Memanggil-manggil namaku dengan tangis yang terdengar keras.
“Ibu!!! Aku di sini, Bu!” teriakku yang tak kalah panik. Namun celaka, di saat aku hampir meraih tangannya, Ibu malah mendorongku sekuat tenaga hingga aku terjatuh. Tubuhku menghantam keras lantai yang sudah kotor oleh lapisan debu, juga bongkahan dinding yang sudah retak sebelum ambruk. Benda bercat putih itu mengenai kaki kiriku.
“Arrgghh!” aku menjerit, lalu beberapa saat kemudian pandangan mataku kabur. Aku juga tak mendengar lagi suara Ibu, pun tangisannya yang begitu menyayat hati. Sebelum mataku tertutup sempurna, samar-samar kulihat Ibu tengah menatapku dari jarak yang tak terlalu jauh. Sebagian tubuhnya tertindih oleh lemari yang hampir jatuh menimpaku tadi. Ia terdiam dengan wajah yang bersimbah darah.
“I—Ibu …,” ucapku lemah. Di detik berikutnya, aku sudah tak mengingat apa-apa lagi.
***
“Jangan pergi terlalu jauh dan cepatlah kembali. Kau mengerti?” pesan seorang gadis berusia 20 tahunan. Ia adalah salah satu relawan di pengungsian tempatku tinggal saat ini. Tadi, aku meminta izin padanya untuk keluar sebentar. Pergi ke sebuah masjid yang menjadi saksi bisu terjadinya gempa tempo hari.
Aku berjalan gontai. Menyusuri jalan kampung yang di kiri-kanannya sudah tak terdapat bangunan yang utuh lagi. Sebagian besar rumah warga telah rata dengan tanah, termasuk rumahku.
Selesai bermunajat kepada-Nya, aku tak langsung pergi. Melainkan duduk di teras masjid dan menatap sendu tenda pengungsian yang berjarak dua puluh meter dari tempatku berada sekarang. Bangunan sementara itu tampak ramai. Bukan hanya oleh padatnya para pengungsi, tapi juga tangisan ketika ada korban lagi yang berhasil ditemukan oleh para relawan. Satu per satu berita duka terus menyapa kami sejak peristiwa buruk itu terjadi. Tak terkecuali diriku yang kini tengah menangis sesenggukan meratapi nasib.
“Syukurlah. Aku senang kau selamat.”
Aku menoleh setelah mendengar suara yang tak asing lagi bagiku, dan mendapati seorang lelaki bertubuh tinggi tengah berdiri di hadapanku sambil merentangkan kedua tangan.
“Kemarilah,” pintanya dengan isak yang tertahan. Seketika tangisku kembali pecah seiring dengan pelukan yang ia berikan.
“Kakak ….”
“Tenanglah, sudah ada Kakak di sini.” Ia mengusap pelan bahuku, lantas membisikkan sesuatu yang semakin menyedihkan untuk didengar. Kenyataan pahit yang harus kuterima, sekaligus kabar yang membuat hatiku berdenyut perih, lagi. “Semuanya sudah kuurus tadi, dan malam ini aku akan membawamu pulang ke kampung halamanku. Kita akan tinggal bersama di sana, oke?”
“La—lalu Ibu?”
Ia terdiam sejenak, dan untuk beberapa saat hanya helaan napas panjang yang terdengar di antara kami. “Kakak juga sudah mengurusnya. Sebentar lagi ambulance yang mengantar jenazah ibumu akan segera tiba. Setelah itu barulah kita akan memakamkannya.”
Aku bergeming. Kakiku yang kini telah ditopang oleh sebuah tongkat seolah tak memiliki kekuatan lagi. Aku sudah mengetahui kabar ini beberapa jam yang lalu, tapi tetap saja hal tersebut mengejutkanku.
Sekarang, di bawah langit yang mendung, aku menengadahkan wajah. Menyampaikan sejuta rindu, juga tanya yang tak terucap.
Katakan, Ibu … masih pantaskah aku memiliki impian?(*)
Tentang Penulis:
Triandira, penyuka fiksi yang belum bisa move on dari mi ayam dan durian. Jika ingin menghubunginya bisa melalui akun FB dengan nama Triandira, email: triwahyuu01@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirrim/Menjadi penulis tetap di Loker Kita