Edeline dan Para Centaurus

Edeline dan Para Centaurus

Edeline dan Para Centaurus

Oleh: Triandira

Seekor kuda betina bertanduk spiral sedang berjalan menyusuri Hutan Kegelapan sambil bersenandung riang. Ia Edeline, satu-satunya unicorn yang hidup di sana bersama kawanan centaurus—kuda petarung berkepala manusia yang tangguh dan kuat. Darah murni unicorn yang mengalir dalam tubuh Edeline merupakan alasan di balik keberadaannya di hutan itu. Tepatnya sepuluh tahun silam saat istana tempat ia tinggal dulu telah memiliki putri kerajaan yang sesungguhnya. Kathleen, adik yang terlahir dengan kecantikan sempurna dari pernikahan sang Ibu bersama Ambler, ayah tirinya.

Edeline yang malang, keistimewaan yang ia miliki justru menjadi hal yang paling ia benci saat ini. Kulit putih bersinar, rambut kuning keemasan yang tergerai indah, dan tanduk panjang yang dimilikinya tak ubahnya sebuah kutukan. Jika boleh memilih, maka kuda bermata biru itu ingin terlahir sebagai centaurides—julukan bagi centaurus betina yang tangguh dan pemberani—bukan sebagai unicorn yang lemah oleh kecantikannya sendiri. Dan itulah kenapa kini ia tinggal jauh dari istana. Di sebelah barat Gunung Olympus di mana kerajaan Ambler yang sesungguhnya berada.

Crash!

Edeline berhenti sejenak, lalu melangkah hati-hati dengan jantung yang berdegup kencang setelah mendengar bunyi yang membuatnya sedikit ketakutan. Unicorn berekor panjang itu menyibak semak belukar dan tak lama kemudian matanya menangkap sesuatu yang bersinar. Hal yang juga ia miliki. Bahkan bentuk dan warnanya yang sama sudah tak asing lagi bagi Edeline. Tanduk spiral yang hanya dipunyai oleh kuda betina dari keturunan unicorn.

Tidak mungkin. Bukankah itu …? Ah, tidak. Aku tahu siapa Ambler, dan dia tidak akan pernah membiarkan hal ini terjadi.

Jantung Edeline masih berdegup kencang, terlebih saat ia menyadari bahwa kehidupannya akan terusik lagi. Dan karena itulah ia memilih untuk pergi andai saja jeritan seekor alicorn yang tengah terluka tak melemahkan keteguhan hatinya.

“Apa kau baik-baik saja?” tanya Edeline sambil berlari menghampiri kuda berkulit putih itu.

“Ya. Ini sedikit sakit tapi aku rasa semuanya baik-baik saja.”

Suara yang telah lama tak didengarnya itu membuat Edeline kembali dirundung kesedihan. Ada kerinduan dan penyesalan mendalam yang selama ini menyiksa dirinya. Tentang istana, dan tentang kenangan di masa lalu.

“Terima kasih banyak. Kalau saja kau tidak membantuku pasti aku sudah …,” Alicorn tersebut menghentikan ucapannya. Ia menatap wajah Edeline yang kini tengah menunduk dengan mata berkaca-kaca.

“Edeline …? I—ini kau Edeline, bukan? Katakan padaku, katakan bahwa sekarang aku sudah berhasil menemukanmu,” cecar kuda betina yang kini memeluk tubuh Edeline sambil menangis sesenggukan. Sementara itu, unicorn yang tak kalah cantik darinya hanya mengangguk pelan tanpa bisa menyembunyikan lagi rasa bahagia sebab mereka telah kembali bertemu.

“Ya, Kathleen. Ini aku, kakakmu.”

***

Para centaurides sudah tertidur lelap di tendanya masing-masing. Meski tak seluas istana, tetapi bangunan sederhana itu tetap nyaman untuk ditinggali. Apalagi dalam satu kawasan ada puluhan tenda yang mereka dirikan sebagai tempat untuk berlindung dari hujan dan terik matahari. Di sana, di sebuah lembah dekat Hutan Kegelapan. Tempat yang sama di mana para centaurus tengah sibuk bertugas. Sebagian besar dari mereka adalah prajurit istana, sisanya lagi mengabdikan diri untuk menjaga kawanan dari jenis mereka sendiri. Termasuk Shamus, centaurus pemberani yang kini tengah berjalan mendekat ke arah Edeline.

“Kau belum tidur?” sapa Shamus sambil berdiri dengan tangan yang melipat di depan dada. Rambutnya yang sedikit panjang dan kecokelatan dibiarkan terurai hingga mudah tersibak oleh angin yang berembus kencang.

“Hm, aku masih ingin di sini. Kau sendiri, kenapa belum tidur?”

Shamus tertawa kecil. Ucapan Edeline barusan benar-benar membuatnya geli. “Apa kau bercanda? Jika aku tidur lalu siapa yang akan menjaga kawasan kita?”

“Mereka.” Unicorn bertanduk itu menunjuk ke arah di mana para centaurus sedang berdiri di depan gerbang sembari memegang tombak di tangan. “Lagi pula pemimpin mereka juga butuh istirahat, bukan? Ingat, Shamus. Kau bukan kuda sakti yang tidak akan kehabisan tenaga meski bekerja sepanjang hari. Bagaimanapun juga—”

“Aku tahu, Edeline. Kau sudah mengatakannya berkali-kali,” sela kuda berkepala manusia tersebut.

“Baguslah jika kau mengingatnya.”

“O ya, apa rencanamu sekarang? Maksudku, soal Kathleen.”

“Dia sedang tidur sekarang dan kuharap besok pagi keadaannya sudah mulai membaik. Tapi sebenarnya aku sedikit khawatir, Shamus. Luka di sayapnya cukup parah dan sepertinya ia tidak bisa terbang.”

Shamus menghela napas. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi. Meski Kathleen mengatakan bahwa ia baik-baik saja, tapi kenyataan berkata lain. Usai melihat keadaan alicorn itu, Shamus sudah bisa menebak bahwa butuh waktu yang lama untuk bisa menyembuhkan luka yang Kathleen derita akibat pendaratan yang kurang mulus ketika memasuki wilayah hutan. Terlebih untuk bisa membuatnya kembali terbang.

“Dan itu semua dia lakukan hanya untuk bertemu denganmu,” sahut Shamus tiba-tiba, membuat Edeline merasa sedih hingga ada sesuatu yang berdenyut perih di hatinya.

“Ya, kau benar. Ini semua salahku.”

“Tidak, Edeline. Jangan salah paham, bukan begitu maksudku. Aku hanya—”

“Kathleen … aku juga menyayanginya, Shamus. Tapi kau tahu jika aku tidak mungkin lagi tinggal di istana, bukan?”

“Ya, aku tahu itu.”

“Lalu, apa kau juga tahu apa yang kuinginkan sekarang?”

“Apa?”

“Seandainya saja bisa, aku ingin terlahir seperti kalian. Menjadi kuda petarung atau kuda prajurit yang kuat dan gagah. Dengan begitu Ambler tidak perlu mengusirku dari istana hanya karena aku bukan keturunan darinya.”

“Jadi kau ingin kembali ke istana?”

“Apa?”

“Jangan menyembunyikannya lagi, Edeline. Aku tahu kau sangat merindukan tempat itu. Apalagi di sanalah ayahmu tinggal sejak kecil hingga ia menjadi pemimpin.”

Edeline membuang muka. Bukan, bukan karena ia tersinggung. Melainkan apa yang Shamus ucapkan itu benar. Unicorn tersebut merindukan ibunya, juga istananya.

“Lalu kau sendiri? Apa yang paling kau inginkan sekarang, Shamus?” balas Edeline tak mau kalah dan membelokkan arah pembicaraan di antara mereka. Namun bukannya memberi jawaban, Shamus malah menyuruhnya untuk tidur karena malam semakin larut. Sejurus kemudian, mereka berdua berpisah. Edeline berjalan menuju tenda diikuti pandangan Shamus yang masih berdiri di dekat pohon, lalu tersenyum samar dengan cairan bening yang menggenang di pelupuk mata.

Seandainya bisa, aku juga menginginkan hal yang sama sepertimu, Edeline. Karena dengan begitu kita bisa terus hidup bersama.

***

“Carola, kau sudah sadar, Sayang?” Ambler memeluk erat tubuh istrinya yang masih terbaring lemah di ranjang. Setelah tiga bulan lamanya melawan sakit yang ia derita, akhirnya Carola bisa tersenyum kembali. Dari hari ke hari keadaannya pun terus membaik, dan itu semua berkat Edeline. Si sulung yang selalu sabar merawat serta menemaninya siang dan malam.

Itu benar. Tak lama setelah kedatangan Kathleen di Hutan Kegelapan, Shamus berhasil membujuk unicorn yang ia cintai tersebut agar pulang ke istana. Meski tak mudah tapi akhirnya Edeline menyerah juga. Ia tak tega membiarkan sang Ibu menahan rindu terhadapnya hingga begitu menderita.

Carola jatuh sakit. Berbagai pengobatan yang telah dilakukan tak membuahkan hasil. Bahkan ramuan terkenal yang Ambler dapatkan dari Gunung Olympus pun tak mampu menyembuhkan sang istri. Karena itulah, akhirnya pegasus jantan itu menyetujui saran Kathleen untuk mencari keberadaan kakaknya. Menurut tabib istana, satu-satunya hal yang bisa memulihkan kesehatan Carola adalah sinar dari tanduk milik Edeline. Keturunan asli dari sepasang unicorn.

Kathleen memang kuda betina yang menawan, tapi sayangnya ia bukanlah seekor unicorn yang bisa memberikan sinar dari tanduknya untuk mengeluarkan racun dari tubuh Carola. Kathleen adalah seekor alicorn. Kuda bangsawan yang memiliki darah campuran dari seekor unicorn dan pegasus. Oleh sebab itu, ia memiliki sepasang sayap seperti Ambler. Sedangkan Edeline tidak, sama seperti ibunya.

“Kau melakukannya dengan baik, Edeline,” puji Kathleen pada sang Kakak.

“Tidak. Ini semua berkat usahamu. Jika saja kau tidak bersikeras untuk mencariku, mungkin aku tidak akan pernah kembali.”

Edeline meneteskan air mata, begitu pula dengan Kathleen dan Carola. Mereka bertiga berpelukan setelah Ambler berpamitan untuk keluar sebentar. Menemui salah satu prajurit yang sudah menunggu kedatangannya di taman belakang istana.

“Aku tidak tahu harus mengucapkan apa lagi padamu,” sapa Ambler yang disambut senyuman oleh seekor centaurus.

“Tidak ada yang perlu kau katakan, Yang Mulia. Aku hanya melaksanakan tugas, itu saja.”

“Ya, kau sudah membuktikan bahwa aku telah memilih prajurit yang tepat. Terima kasih, Shamus. Aku tidak akan pernah melupakan jasamu.”

Shamus menundukkan kepala sebagai isyarat bahwa ia mengerti dengan ucapan Ambler terhadapnya. Sebelum kembali masuk ke istana, ayah Edeline itu sempat berpesan kepada Shamus agar ia tetap memegang rapat-rapat rahasia di antara mereka berdua. Ini tentang kematian Aldrich, suami pertama Carola.

Saat itu, malam hari ketika hujan turun dengan lebat, Shamus tengah berlari memasuki istana untuk menemui Aldrich atas perintah Arthur. Ia meminta izin kepada pengawal istana sampai akhirnya bisa menyerahkan sendiri gulungan kertas tebal yang berisi sebuah pesan kepada raja bijaksana itu. Tapi sayang, bukan dalam keadaan yang ia harapkan.

“Terima kasih,” ujar Shamus usai pengawal mengantarnya sampai ke depan ruangan tempat ayah Edeline berada. Ia mengatur napas sejenak, lalu mendorong perlahan pintu di hadapannya yang sedikit terbuka, beberapa saat setelah mendengar percakapan yang membuatnya curiga. Dan benar saja, sesuatu yang buruk telah terjadi di sana.

“Yang Mulia!” pekiknya begitu mendapati Aldrich sudah tergeletak di atas lantai dengan tubuh yang bersimbah darah. Sembari merintih kesakitan, raja itu menunjuk ke arah jendela yang terbuka lebar. Tempat penyusup berhasil melarikan diri.

Sial! Shamus meraih cepat anak panah dan busur yang tergantung di punggungnya, lantas melesatkannya hingga mengenai tubuh penyusup itu. Seketika ia terkapar, dan di saat itulah Shamus berlari menghampirinya.

“Aarrggh!” terdengar jeritan ketika centaurus tersebut mencabut anak panah yang menancap di kaki lawannya.

“Dasar penjahat!” geram Shamus. Tangannya langsung mengayun keras, hendak meninju wajah seekor kuda jantan yang tersungkur di atas tanah.

“Hentikan, Shamus! Ini aku!”

“Kau?”

“Ya, kau terkejut?”

Centaurus pemberani itu membelalakkan mata. “A—apa yang sudah kau lakukan kepada Yang Mulia Aldrich?”

“Itu bukan urusanmu!”

“Benarkah? Lalu bagaimana dengan Yang Mulia Arthur? Ia telah mengutusku kemari untuk menyerahkan surat kesepakatan di antara kalian tapi kau malah mengacaukannya. Kau bisa menjadi raja seperti saudaramu yang lain, tapi bukan dengan cara seperti ini.”

“Kau pikir aku peduli? Dengar, Shamus. Ayah terlalu lemah untuk mengambil keputusan, karena itulah aku memilih untuk menyelesaikannya dengan caraku sendiri. Kau mengerti? Sekarang lepaskan aku!”

“Kau ….”

Shamus menghela napas. Hatinya diselimuti kebimbangan yang luar biasa. Namun, bayangan wajah Arthur membuatnya tak berdaya. “Pergilah.”

“Bagus, akhirnya kau sadar juga. Tapi ingat, urusan kita belum selesai!” ancam kuda pincang itu. Dahinya mengernyit menahan sakit. “Ah, sial! Sekarang kau sudah membuat calon raja di istana ini tak bisa berjalan.”

Kuda itu mengepakkan sayap, lalu terbang dan meninggalkan Shamus yang masih tertegun menatap kepergiannya hingga kejauhan. Ia selamat. Terbebas dari amukan pengawal istana yang mendekat ke arah sang centaurus, tepat ketika ia sudah menghilang.

***

Sebelum pulang ke Hutan Kegelapan, Shamus menyempatkan diri untuk bertemu dengan Edeline. Mereka berjalan-jalan sebentar di sekitar istana, lalu berdiri di dekat gerbang sambil membicarakan sesuatu.

“Kenapa kau tidak pernah berterus terang padaku?” selidik Edeline sembari menatap lekat-lekat wajah Shamus.

Kuda jantan itu terkekeh usai mendengar pertanyaan Edeline yang cukup membuatnya merasa geli. “Bahwa aku salah satu prajurit di sini?”

“Ya.”

“Jadi kau bersungguh-sungguh?” tanya Shamus begitu unicorn betina itu menunjukkan wajah kesal. “Ayolah, Edeline. Itu bukanlah hal yang penting untuk kuceritakan. Lagi pula aku tidak ingin membuatmu cemas.”

“Benarkah? Tapi kenapa aku merasa ada yang aneh di sini.”

“Maksudmu?”

“Soal Ambler. Kau lihat bagaimana sikapnya terhadapku belakangan ini? Dulu ia begitu mudahnya mengusirku tanpa sepengetahuan Ibu, tapi sekarang ia berubah baik?”

“Baguslah, aku senang mendengarnya.”

“Apa kau tidak curiga?”

Shamus menyunggingkan senyum. Tanpa memedulikan lagi pertanyaan yang masih keluar dari mulut Edeline, kuda jantan itu mendekat lantas mengusap pelan pipi unicorn yang ada di hadapannya. Seketika keduanya terdiam. Mereka bertatapan cukup lama hingga jantung Shamus berdebar lebih cepat.

Seolah mengerti dengan hal yang akan terjadi, Edeline langsung melepaskan tangan Shamus dari wajahnya. Memandang sang centaurus dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Di satu sisi ia merasa bahagia, tapi di sisi lain ada kecemasan yang begitu saja muncul di hatinya.

“Ka—katakan kau tidak akan meninggalkanku, Shamus,” pinta Edeline.

“Istana inilah tempatmu yang sesungguhnya.”

“Tidak, kumohon.”

“Edeline, dengar!” potong Shamus sambil mengusap pelan air mata Edeline. “Istana inilah tempatmu yang sebenarnya. Bukan Hutan Kegelapan.”

“Tapi, Shamus. Aku tidak mau—”

“Berjanjilah kau akan hidup bahagia. Dan anggaplah bahwa kita tidak pernah bertemu.”

Edeline menggeleng keras dengan tangis yang menjadi-jadi. Tapi terlambat, Shamus sudah berlari kencang di saat ia masih tertegun tadi. Beberapa detik usai kuda jantan tersebut membisikkan sesuatu di telinganya.

Sekarang Edeline mengerti bahwa mereka saling mencintai, tapi itu tak cukup membuatnya bahagia. Ia kembali terluka, pun Shamus yang kini berlari semakin kencang dan menjauh dari istana. Sementara itu, dari balik jendela salah satu ruangan, Ambler tengah tersenyum puas menyaksikan kesedihan yang Edeline rasakan. Ia tidak tahu bahwa di lain tempat Carola telah menemukan sesuatu.

Apa ini? Carola meniup pelan benda tersebut. Gulungan kertas tebal yang belum selesai Aldrich baca di malam kematiannya.(*)

Tentang Penulis:

Triandira, penyuka fiksi yang belum bisa move on dari mi ayam dan durian. Jika ingin menghubunginya bisa melalui akun FB dengan nama Triandira, email: triwahyuu01@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirrim/Menjadi penulis tetap di Loker Kita