ALUNAN KEMATIAN

ALUNAN KEMATIAN

Alunan Kematian
Oleh: Mohamad Rizky Yanuartha

Port City merupakan kota yang aneh. Sebuah kota besar yang harusnya ramai akan orang dan dunia hiburan, tetapi malah sunyi dan sepi dari hiruk pikuk nuansa perkotaan. Hanya segelintir orang saja yang tinggal di Port City, termasuk ayah Flora, Tuan Ed. Biasanya kalangan pebisnis kaya raya suka sekali tinggal di kawasan Port City yang sangat lengang dan tenang ini.

***

Malam itu Tuan Ed sedang berjalan menyusuri trotoar di jalan utama Port City. Keadaan jalan sangat sepi tanpa adanya kendaraan yang berlalu lalang ataupun para pejalan kaki. Tuan Ed melangkahkan kakinya melewati gang gelap yang sunyi serta lampu-lampu jalan yang berpendar lemah. Hawa dingin kian menambah suasana mencekam malam itu. Percaya atau tidak, Tuan Ed sudah merasa tak nyaman seolah ada sosok yang mengikutinya sejak keluar dari toko perbelanjaan.

Drrrt … drrrt ….

Terdengar suara dering ponsel memecah keheningan. Ternyata ponsel milik Tuan Ed berdering dan suaranya menggema di jalanan Port City.

Bergegas Tuan Ed mengambil ponsel kecil miliknya yang ia simpan di dalam saku jaket malamnya yang tebal.

“Halo,” jawab Tuan Ed ketus.

“Tumben sekali kau meneleponku malam-malam. Aku sedang perjalanan pulang. Katakan, ada apa?”

“Ayah!” teriak Flora di seberang telepon.

“Flora?!” kini Tuan Ed yang berteriak.

“Dasar, kenapa kamu menelepon ayah memakai ponsel ibumu?”

“Hihihi … selalu saja kaget seperti itu,” kata Flora menertawakan ayahnya. “Kan, ayah sendiri yang tidak mau membelikanku ponsel. Jadi aku harus pinjam ponsel Ibu. Untung saja Ibu tidak marah. Tumben, tidak seperti biasanya. Hihi … atau mungkin ini pertanda bahwa Ibu dan Ayah akan kembali bersama seperti dulu?”

Tuan Ed dan ibu Flora, Wendla memang sudah tidak bersama. Mereka memutuskan untuk berpisah sejak Flora sudah mulai masuk sekolah sihir. Entah apa alasan mereka memutuskan untuk berpisah. Flora sendiri tak habis pikir karena selama ini ia merasa hubungan kedua orangtuanya baik-baik saja. Tuan Ed sendiri merupakan manusia biasa, berbeda dengan istrinya, Wendla yang memang seorang penyihir.

“Jangan bicara yang aneh-aneh,” kata Tuan Ed berusaha mengelak. “Ayo katakan, ada apa kamu menelepon Ayah?”

“Aku besok akan ke tempat Ayah,” jawab Flora cepat-cepat. “Aku sudah bicara dengan Ibu dan aku mau berlibur di sana selama seminggu ke depan, seperti biasanya. Aku sudah meminta tambahan waktu pada Ibu, tapi tidak diizinkan.”

“Oke, Ayah akan siapkan kamarmu malam ini juga,” kata Tuan Ed merasa tidak nyaman. “Sudah dulu, Ayah belum sampai rumah. Ayah hubungi kamu lagi nanti sesampainya di rumah. Oke, Sayang?”

“Hmm …. Oke!” Telepon terputus.

Tuan Ed merasa tak nyaman berada lama-lama di jalanan Port City, apalagi sudah jam sepuluh malam. Seharusnya ia sudah sampai rumah. Sejak tadi ia merasa ada yang mengikutinya. Entahlah, mungkin hanya perasaan Tuan Ed saja. Lebih baik sekarang ia mempercepat langkahnya dan segera menuju rumah.

Dari atas-atap gedung, terlihat bayangan hitam besar yang tersamar di kegelapan malam. Sesosok makhluk berjubah hitam. Sosok itu terlihat terus mengamati Tuan Ed. Ia berpindah dari atap gedung satu ke atap gedung lain dan akhirnya berhenti di seberang gedung yang berlawanan dengan gedung tempat tinggal Tuan Ed.

“Hmm, di situ rupanya!”

***

Hari itu Flora sudah berada di Port City dan tinggal bersama ayahnya. Ia sangat senang bisa berlibur di Port City yang tenang dan penuh kedamaian. Sebetulnya ia ingin mengajak Sky dan Calvin juga untuk ikut, sayangnya mereka belum memiliki surat izin untuk dapat menggunakan Portal Dimensi.

“Ayah, hari ini kita mau ke mana?” tanya Flora pada ayahnya yang terlihat tidak bertenaga. “Jangan ke tempat yang sudah pernah kita datangi ya, aku bosan kalau itu-itu terus. Aku ingin pergi ke tempat lain saja. Ayah?”

Tuan Ed terlihat aneh, tak seperti biasanya.

“Ayah!” teriak Flora membuat ayahnya terkejut. “Ayah kenapa? Sakitkah? Kalau iya, tidak apa-apa kita di rumah saja. Tidak perlu jalan-jalan ke mana pun.”

Tuan Ed memandang Flora dengan saksama. Ia terlihat sedih, seperti ingin mengatakan sesuatu namun tak kuasa.

Tuan Ed akhirnya hanya memandang Flora dalam diam.

“Ayah?” tanya Flora bingung. “Kalau ayah ada masalah, mungkin aku bisa minta bantuan Ibu. Mana ponsel Ayah, biar aku hubungi Ibu untuk minta bantuan.”

“Tidak usah, Flora. Jangan!” jawab Tuan Ed. “Ini sudah kesepakatan kami. Aku dan ibumu. Alasan mengapa kami memutuskan untuk berpisah. Maafkan ayah, Flora.”

Tuan Ed terlihat semakin sedih. Apa sebenarnya yang terjadi. Mengapa ayahnya meminta maaf seperti ini. Kesepakatan apa yang telah ayah dan ibunya lakukan. Flora semakin bingung, sepertinya ia harus mencari tahu.

***

Sore itu Flora keluar rumah untuk jalan-jalan di sekitaran jalan utama Port City. Suasana sore itu sangat tenang dan sunyi. Ia butuh ketenangan seperti ini untuk dapat memikirkan apa yang sebetulnya terjadi dalam keluarganya.

Sekalipun masih sore, hawa sekitar di Port City sudah terasa amat dingin. Sore itu Flora mengenakan jaket tebal, celana panjang, penutup kepala dan sepatu boots. Tak lupa tas selempang kecilnya yang selalu ia pakai saat bepergian.

Ia berjalan menyusuri jalanan sambil menenangkan pikiran. Tak ada yang menyangka, dari atas atap gedung seseorang atau lebih tepatnya sesosok bayangan hitam mengintainya.

***

Seminggu setelah sosok itu mengikuti Tuan Ed. Di sisi lain wilayah Port City. Di sebuah apartemen mewah milik seorang pengusaha kaya raya. Ia muncul.

“Halo, Gadis Manis!” sapa sebuah suara besar yang sangat berat, seperti suara pria. “Maukah kamu main denganku?”

Di depannya seorang gadis kecil yang lucu, berusia sekitar lima tahun sedang bermain boneka sendirian di dalam kamar. Di luar kamar, di balik pintu yang tertutup itu, pengasuh si gadis kecil sudah tak bernyawa, tergeletak dengan bersimbah darah. Ia telah terbunuh.

“Ayo, main denganku!” kata sosok berjubah hitam itu lagi. “Kita dengarkan musik ya? Kuharap kamu suka.”

Dari balik jubahnya, ia mengeluarkan sebuah alat musik klasik; sebuah biola yang cantik dan menawan. Sosok itu segera memainkan sebuah melodi yang asing di telinga. Sebuah rangkaian nada-nada indah yang memilukan, sangat sedih, menyayat dan penuh hasrat.

Seperti sebuah panjatan doa atau rapalan dari sebuah mantra sihir.

Tak berapa lama gadis kecil itu bereaksi. Ia terlihat mengantuk, kemudian dalam sekejap sudah menutup kedua matanya. Ia tersungkur dengan kepala membentur lantai. Tiba-tiba darah segar mulai mengucur dari sela-sela kedua matanya, kedua lubang hidung serta telinganya. Gadis itu mengeluarkan banyak sekali darah. Sekalipun terlihat seperti tertidur, dapat dipastikan gadis kecil itu sudah meninggal.

Sosok itu menghentikan permainan biolanya. “Dengan ini tinggal satu orang lagi yang harus diurus!”

Ia baru saja hendak keluar dari kamar apartemen itu, tiba-tiba seseorang muncul. Ayah si gadis kecil itu, si pengusaha kaya raya.

“A—apa yang terjadi? Anna! Anna!” Pria itu terlihat panik. “Siapa kamu! Apa yang kamu lakukan pada putriku. Dasar pembunuh!”

Sosok itu kembali memainkan biola yang masih dipegangnya. Sebuah melodi yang sama kembali terdengar.

“Argh! Apa ini? Argh!” Pria itu terlihat kesakitan. Ia berusaha menutup kedua telinganya. Namun darah malah keluar dari balik telinga yang ia tutupi itu. Darah segar juga menetes dari hidung serta kedua kelopak matanya, membuat pria itu terlihat seperti menangis darah. “Aaarrghh! Sakiiit! Arrrghhtt!”

Tiba-tiba sosok itu berhenti memainkan musiknya. “Asal kau tahu, aku tidak menyakiti putrimu. Aku membuatnya tertidur sebelum ia merasakan kematian. Tapi untukmu, aku ingin kau merasakan rasa sakit itu. Kuharap hal itu bisa menebus semua kejahatanmu di dunia. Matilah dengan penuh rasa sakit dan penderitaan!” Ia kembali memainkan musiknya. “Untuk sekarang akulah malaikat pencabut nyawamu, tapi sebentar lagi kau akan menemui yang asli. Selamat tinggal!”

“Ti—tidaaak! Ja—jangan!” teriak pria yang malang itu.

Sosok itu memainkan notasi yang berbeda, kali ini lebih keras dan lebih bertenaga. Tiba-tiba kepala pria di depannya itu meledak tepat ketika permainan biolanya berada di puncak.

“Biarlah putrimu pergi ke surga sebelum ia tahu bahwa ternyata ayahnya adalah seorang penjahat.” (*)

Mohamad Rizky Yanuartha, lahir di Bojonegoro, 23 Juni 1997. Anak tunggal dari pasutri yang sudah tak utuh lagi. Ia merasa bahagia hidup dalam mimpi-mimpi semu dan imajinasi tanpa batas. FB: Rizky Yanuartha

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita

Leave a Reply