Bagaimana Ia Bisa Memiliki Hati Seluas Itu

Bagaimana Ia Bisa Memiliki Hati Seluas Itu

Bagaimana Ia Bisa Memiliki Hati Seluas Itu

Oleh: Fajar Saputro

Syahdan we only have what we remember. Bahwa sepanjang hidup pada riwayat manusia, sesungguhnya perjalanan itu tak menghasilkan apa pun kecuali kenangan. Sebab, konon, hidup ini hanya semacam bulatan. Sejauh mana pun kita pergi dan terus melangkah, pada akhirnya akan kembali ke titik berangkat. Maksudku, apa dan siapa diri kita hari ini, akan ada hal-hal tak terduga sekaligus misterius yang kerap menyeret sebagian dari diri kita ke arah belakang—mempertemukan bayangan masa lalu dan juga nostalgia dengan kesadaran kita hari ini. Itu kenapa agama menganjurkan kepada pemeluknya agar berbuat baik, sebab kecenderungan kenangan adalah “menyerang”, apalagi di saat seseorang dalam keadaan sendiri. Terlebih untuk orangtua semacam diriku yang berangsur tak berdaya. Berstatus sebagai pensiunan, dan kini telah ditinggal istri dan juga anak-anaknya.

Ditinggal istri dan anak-anak yang kumaksud di sini adalah makna yang sebenarnya. Istriku telah meninggal dunia, sekitar dua tahun yang lalu. Sedangkan anak-anakku, kini mereka hidup dengan membangun rumah tangganya masing-masing.

Aku banting tulang. Berjuang dengan segenap tenaga dan seluruh cintaku demi mereka—istri dan anak-anakku. Tapi istriku lebih memilih untuk bahagia sendiri, pulang kepada-Nya. Sebuah episode yang dinanti-nantikan oleh siapa pun yang merasa tugasnya telah selesai. Sedangkan anak-anakku, barangkali hati dan pikiran mereka sudah dipenuhi oleh urusan-urusan dan persoalan keluarganya. Jikapun ada sisa-sisa untukku, pasti porsinya hanya beberapa. Juga rumah ini, rumah yang dulu kuupayakan matia-matian agar dapat kumiliki, kini tak lebih sekadar susunan batu yang hanya bisa menghadirkan sepi.

Setelah perisiwa kepergian istriku dan anak-anakku, di rumah ini aku nyaris tinggal sendiri. Ada Satinah yang masih mau bekerja untukku. Dari urusan memasak, cuci baju, cuci piring, setrika, menyiram tanaman hingga persoalan bersih-bersih rumah. Pekerjaan-pekerjaan itu ia lakukan setiap hari, sejak pagi hingga sore hari. Menjelang magrib, Inah, demikian aku memanggilnya, pulang ke rumahnya dan akan kembali bekerja pada keesokan harinya.

Inah sudah lama bekerja untuk keluarga kami. Kalau tidak salah hitung, kira-kira sudah tiga puluh tahunan. Itulah sebabnya Inah tak lagi kuanggap sebagai orang lain. Mungkin juga sebaliknya, meskipun ia tetap menjaga jarak. Tetap menganggap bahwa aku ini adalah tuannya yang kelewat serius dan harus dilayani dengan sebaik-baiknya. Terlepas bagaimana sikapnya terhadapku, hubungan kami sangat akrab dan cair.

Kukatakan demikian karena di setiap komunikasi yang kami jalin, aku berusaha tak membuat sekat. Aku bersedia mendengar dan menanggapi ucapan Inah setiap kali ia menceritakan tentang perkembangan anak dan cucu-cucunya kepadaku, yang mana akulah yang membiayai mereka hingga lulus perguruan tinggi. Sebaliknya, aku juga sering memberi kabar kepada Inah tentang kondisi terkini anak dan cucu-cucuku setelah bertandang ke rumah mereka atau sehabis menelepon mereka. Karena kupikir Inah berhak tahu tentang keadaan anak-anakku, sebab Inah-lah yang mengasuh mereka sedari kecil. Dan, dapat juga kurasakan cinta Inah tak berubah kepada anak-anakku meskipun kini telah hidup berjauh-jauhan.

Selain cinta dan pengabdiannya yang tak pernah berubah, ada satu hal lagi yang masih ia jaga dan pertahankan: sepeda. Inah selalu menggunakan kendaraannya itu setiap datang ke rumahku. Seperti biasa, pagi-pagi sekali Inah akan datang dengan sepeda tuanya yang berwarna hijau. Lengkap dengan keranjang di depannya yang selalu terisi bahan makanan yang ia beli dari pasar sebelum berangkat ke rumahku. Inah boleh datang kapan saja, karena memang aku mempercayakan semua kunci agar ia bebas keluar-masuk tanpa harus merepotkanku, dan supaya bisa langsung menuju ke tempat di mana ia harus bekerja. Sedangkan setiap hari yang kulakukan hanya begitu-begitu saja. Pagi, sebelum melakukan hal-hal yang kuanggap penting, aku mewajibkan diri untuk membaca koran. Sambil menikmati udara pagi di teras rumah, mendengarkan kicau burung-burung dan kokok ayam yang ada di halaman depan, aku mengikuti seluruh perkembangan berita agar tak merasa dikurung usia.

Beberapa berita di koran pagi ini telah rampung kubaca. Tak lama Inah mendekat, membawa secangkir teh yang masih hangat, seperti kebiasaannya sehari-hari.

“Bapak tidak ada rencana keluar?” sapanya sambil merapikan koran-koran kemarin yang berserakan di atas meja dan kursi.

“Mau keluar ke mana, Nah?” Kuletakkan koran di atas meja yang telah rapi, mengangkat cangkir, meniup-niupnya, lalu kuminum teh hangat hasil racikan tangannya.

“Ya … ke mana, kek, Pak. Ke rumah teman atau sekadar cari angin kan, lumayan.” Inah terus pamit, kemudian berlalu dari pandanganku.

Teman?

Kata itu terdengar aneh, asing dan terasa sangat jauh. Almarhummah istriku pernah bilang, selain kepedulian sosial yang kumiliki—terutama dalam bidang pendidikan, yang tersisa pada diriku hanyalah laki-laki bermuka masam. Ekspresi di beberapa sudut wajahku, jika sedang mendengar orang lain berbicara, terkesan sangat meremehkan. Aku, katanya, adalah jenis orang yang tak mau kalah. Jarang mendengar pendapat orang lain, kompetitif, kaku dan selalu ingin dihormati oleh siapa pun saja. Maka tak heran jika hanya sedikit yang mau berkawan denganku, kecuali bagi mereka yang memiliki rasa maklum yang cukup atau karena kepentingan dan urusan pekerjaan. Dan, itulah sebabnya juga teman dari anak-anakku tak pernah mau main ke rumah ini.

“Ayahmu galak,” kata mereka mengulangi kalimat dari teman-temannya.

Celakanya, peringai buruk itu, menurut istriku, didukung dengan karierku yang cemerlang. Menjabat sebagai vice president di salah satu bank swasta nasional—yang membuat makin mustahil—aku akan mengubah sifat dan sikap yang dianggap buruk oleh sebagian orang. Sebab hal itulah yang justru membawaku mencapai posisi yang tinggi di perusahaan.

Tapi ….

Ya, tapi Tuhan itu Maha Kasih. Seburuk apa pun watak yang kumiliki, Ia pernah memberiku pengalaman bagaimana hangatnya sebuah pertemanan. Meskipun itu dulu, dulu sekali ketika usiaku masih menginjak puluh tahunan. Meskipun kejadian itu sudah lama, hingga hari ini, di umurku yang senja ini aku masih merasa ada yang belum selesai dengan semua hal yang sudah kulakukan. Semacam hutang perasaan kepada dirinya, yakni kepada salah seorang teman yang pernah kukenal.

Tentang temanku yang satu ini, hal yang paling kuingat adalah ketika beberapa tahun setelah aku lulus SMA. Menjadi pengangguran di sebuah rumah kecil yang dihuni oleh keluarga miskin yang berjumlah delapan orang: aku, kelima adikku dan kedua orang tuaku, membuatku merasa pekewuh jika harus tinggal lebih lama lagi tanpa kesibukan yang jelas. Merantaulah aku dengan hanya berbekal satu lembar ijazah SMA, sebab kudengar dari berita yang beredar bahwa presiden Soeharto membuka area perindustrian di daerah Jawa Barat. Singkat cerita, sampailah aku di daerah tersebut, di bilangan Cikarang Selatan. Di sebuah desa bernama Sempu Gardu.

Awalnya aku bekerja serabutan, pokoknya jenis pekerjaan apa saja yang menghasilkan uang. Hingga nasib mempertemukanku dengan pekerjaan yang lebih baik. Menjadi buruh pabrik kontrak, bagian produksi di sebuah perusahaan milik asing.

Pekerjaan baruku ini membuat ritme dan pola hidupku menjadi lebih teratur. Terjadi banyak sekali perubahan. Secara mental aku dituntut untuk memiliki tanggung jawab dan hal itu menumbuhkan rasa tanggung jawabku, secara psikis aku lebih percaya diri karena kepastian penghasilan, dan secara sosial—sebagai seorang perantau, aku sekarang memiliki banyak kenalan. Selain teman sesama buruh di perusahaan yang sama, kenalanku adalah tetangga rumah sewa milik Haji Saidi, yang notabene adalah buruh di perusahaan lain. Dan, di rumah sewa itulah akhirnya aku mengenal seseorang yang memperkenalkan diri sebagai Sasongko, pria setengah baya asal Klaten, Jawa Tengah.

Jika melihat usianya yang terpaut jauh denganku, lebih pas jika aku memanggilnya Pak, Pak Sas. Awalnya aku tak begitu peduli dengan keberadaannya karena aku memang kurang suka bergaul. Kalau sekadar just say hallo, okelah. Tapi, jika aku dituntut untuk melakukan hal yang lebih dari itu, aku tak tahu harus memulainya dari mana. Aku seorang introvert, lebih suka menyendiri daripada bicara ngalor-ngidul di tengah kumpulan orang-orang. Menurutku, gaya hidup semacam itu boros waktu dan biaya. Lebih baik aku berdiam diri di dalam kamar, menikmati makanan seadanya. Dengan begitu, sisa gajiku bisa kutabung untuk biaya daftar kuliah. Tak perlu terjerat hubungan emosional yang amat merepotkan hati. Jauh-jauh merantau, aku tak ingin menjadi buruh selamanya. Maka tak masalah jika teman-teman menyebutku kuper (kurang pergaulan). I dont care!

Tapi Pak Sas ini memang lain. Dia selalu memiliki cara untuk berbuat baik kepada siapa saja, termasuk kepadaku yang kerap menutup kamar daripada membukanya. Pak Sas sering mengunjungiku hanya untuk mengantar makanan.

“Kebetulan saya memasak lebih, Mas,” katanya pada pertemuan kami untuk kali pertama, sambil menyodorkan sepiring nasi dan mangkuk yang dipenuhi sayur berkuah.

Aku menerimanya dan memberinya senyum perkenalan, hal yang sangat jarang kulakukan. Hari berikutnya, piring dan mangkuknya kukembalikan beserta isi. Makanan mewah menurut kadar seorang buruh pabrik, yang kubeli di warung depan. Aku tak ingin berhutang budi pada orang lain. Dengan begitu, kebaikan hatinya kuanggap impas.

Kukira kegiatan bagi-bagi makanan akan selesai sampai di situ, ternyata Pak Sas menjadikan kegiatan itu sebagai agenda rutin, hanya saja pengirimnya bukan dia sendiri, melainkan kedua anaknya yang diutus secara bergantian. Ia seperti memahami jika aku adalah orang yang hemat, biarpun terhadap diri sendiri.

Digempur sikap yang penuh persaudaraan, akhirnya aku tak berdaya. Kuputuskan untuk mengakrabinya, menyambangi kamar sewanya yang berjarak beberapa petak dari tempatku.

“Eh, silakan, Mas. Maaf, tempatnya kotor.” Pak Sas mempersilakanku masuk. “Mau minum apa?” lanjutnya sambil buru-buru masuk ke dalam.

“Tidak usah repot-repot, Pak.”

“Panggil saja Sasongko.”

“Siap, Pak Sas.”

Tak begitu lama, ia datang dengan secangkir kopi dan hendak buru-buru keluar.

“Sebentar, ya.”

Begitu tahu Pak Sas ingin membeli sesuatu karena kedatanganku, aku menarik tangannya.

“Sungguh, tidak perlu repot-repot.” Pak Sas menurut, dan akhirnya kami duduk di ruang depan sambil bercerita tentang kisah masing-masing secara bergantian, hingga aku sampai pada rasa keingintahuanku yang lebih dalam tentang keluarga ini.

“Ngomong-ngomong, ibunya anak-anak ke mana Pak Sas? Saya ingin berterima kasih karena selalu dikirimi makanan yang rasanya enak.”

“O, beliau ada di dalam, sedang tidak enak badan.”

“Ya sudah, titip salam buat beliau dan sampaikan rasa terima kasih dari saya.”

“Nanti saya sampaikan.”

Kemudian aku pamit dan kembali ke kamarku untuk istirahat, mempersiapkan tenaga untuk bekerja nanti malam. Dan semenjak hari itu, Pak Sas atau anak-anaknya sering mengetuk pintuku untuk mengundangku makan bersama di rumahnya.

***

Beberapa hari ini jalanan mendadak sepi. Libur hari raya akan segera tiba, saatnya bagi para perantau untuk melepas rindu ke kampung halaman. Di kompleks rumah sewa milik Haji Saidi, hanya aku dan keluarga Pak Sas yang tidak mudik. Entah kenapa tetanggaku yang budiman itu tidak memanfaatkan waktu liburnya untuk menyambangi keluarganya di desa. Kemungkinan karena faktor biaya atau sebab yang lain. Aku punya alasan sendiri kenapa memilih untuk tetap tinggal. Perusahaan mengeluarkan kebijakan, bagi karyawan yang bersedia bekerja di waktu libur hari raya akan diberi upah sebesar satu bulan kerja. Tentu saja aku mengambil kesempatan itu.

Jam kerjaku di waktu libur ini sama seperti biasa, yaitu delapan jam. Aku sengaja memilih shift kedua—jam tiga sore sampai tengah malam, agar tak terlalu berangkat pagi. Kumandang takbir sayup-sayup terdengar, hatiku sudah kebal dengan kalimat kemenangan yang menyayat hati itu. Lebaran kali ini adalah lebaran kesekian aku tidak pulang. Sebenarnya aku selalu membayangkan suasana lebaran di kampung halaman, sama seperti yang lainnya. Tapi sebagai buruh, aku sangat menyadari kemampuanku. Aku tak ingin pulang hanya untuk menceritakan kesukaranku sebagai perantau kepada keluargaku.

Jam dua belas malam, sirine berbunyi. Itu adalah tanda bahwa jam kerja shift kedua telah berakhir. Setelah melewati serangkaian pemeriksaan—tidak mengambil barang milik perusahaan, akhirnya aku bisa keluar dan berjalan menuju arah pulang bersama teman-temanku. Satu per satu dari mereka pamit undur diri karena telah sampai di tempat tinggalnya.

Bersamaan dengan rinai hujan, aku berjalan sendiri hingga rumah. Sepi, dingin dan lelah. Semoga ia segera mengantarkanku kepada tidur yang teduh dan dalam. Aku tak ingin melewatkan malam takbirku dengan berderai air mata. Aku ingin tidur, kemudian bekerja pada keesokan harinya.

Pintu kamarku sudah tampak dari kejauhan, kakiku terus melangkah dan ia semakin dekat. Begitu kunci kumasukkan dan handel pintu kutarik, lalu mendorongnya dengan sisa-sisa tenagaku, tiba-tiba suara Pak Sas terdengar dari arah belakang.

“Baru pulang,” sapanya.

Aku melebarkan daun pintu yang hampir tertutup. “Iya, Pak. Ini baru sampai. Mari, saya buatkan kopi.”

Tangannya kuraih dan sedikit menariknya. Awalnya pergelangannya sudah berada di dalam genggaman tanganku, tapi Pak Sas memutar telapak tangannya sehingga kini pergelangan tanganku yang berada di genggaman tangannya.

“Tidak usah repot-repot.” Kakinya mundur selangkah.

“Tidak merepotkan, mumpung di luar sedang hujan.” Kini giliran bahunya yang kuraih agar ia masuk ke dalam. Tapi Pak Sas tetap menolaknya dengan suara yang ramah dan wajah yang tampak tenang.

“Justru saya yang ingin Mas ke rumah saya,” kata Pak Sas.

Aku sedikit terjekut. “Apa yang bisa saya bantu tanpa harus ke rumah Pak Sas?” Selain kantuk yang termat sangat, badanku juga terasa lelah dan ingin segera istirahat.

“Tapi saya butuh Mas untuk datang ke rumah. Saya minta bantuan untuk mengurus jenazah istri saya.”

Kalimat terakhir Pak Sas menyengat, membuatku terkejut dan terdiam untuk beberapa saat. Tanpa pikir panjang, aku langsung berlari menuju rumahnya, Pak Sas mengikutiku dari belakang. Di sana, di ruang tengah, seorang perempuan tengah terbujur kaku berselimut kain batik, bermotif kawung. Yakni kain yang menurut tradisi Jawa khusus digunakan untuk menutupi jenazah. Kapan Pak Sas membelinya? Entahlah. Yang jelas istrinya mengidap penyakit kanker sudah cukup lama. Hanya saja, setiap kali ada orang bertanya ke mana gerangan si istri, Pak Sas selalu menjawab bahwa istrinya sedang istirahat karena tak enak badan.

Bagaimana ia bisa memiliki hati seluas itu? Bagaimana ia sanggup bertahan dari kesempitan hidupnya yang hanya sebagai seorang buruh sambil terus memastikan keberlangsungan masa depan kedua anaknya dan upaya terus-menerus agar istrinya sehat kembali? Sampai di sini logikaku berhenti, aku tak sanggup berpikir. Apalagi jika mengingat beberapa saat yang lalu, ketika ia menyambangi tempatku untuk mengabarkan tragedi kematian istrinya dengan sikap yang begitu tenang. Aku adalah orang kedua yang menyentuh jasad dingin istrinya yang telah ditutupi kain batik dan diterangi empat lilin di setiap penjuru kamar. Pak Sas yang menyiapkan itu semua. Mungkin juga sempat mencium jenazah istrinya sebelum mendatangi kamarku tadi. Setelah itu, ketika kedua anaknya bangun dari tidurnya dan mengetahui bahwa ibunya telah tiada, barulah terdengar isak-tangis kedua buah hatinya yang hampir memecah kepungan suara takbir.

Semenjak kejadian malam itu dan untuk beberapa waktu ke depan, sebagai saksi hidup—bagaimana Pak Sas menjalani hari-hari sebagai single parent—serasa mendengar kisah nabi-nabi dan para sahabatnya yang sangat melegenda. Apalagi saat memasuki masa krisis moneter pada kuruan watu 1997-1998, di mana banyak sekali perusahaan yang gulung tikar dan memberhetikan kontrak kerja dengan karyawan-karyawannya. Perusahaan yang memutusakan untuk berhenti beroperasi itu salah satunya adalah perusahaan di mana Pak Sas bekerja.

Kebetulan hari itu aku libur, dan kugunakan waktuku untuk menemani kedua anak Pak Sas mengerjakan tugas sekolahnya sambil menanti kedatangannya Pak Sas dengan perasaan tak keruan. Sedih, khawatir sekaligus bingung.

Azan isya terdengar dari kejauhan, tak lama Pak Sas datang. Masih sama seperti biasa, tak kulihat secuil pun perubahan pada dirinya ketika kami bertatap muka. Begitu rahasia dan begitu tersembunyinya ia untuk diriku, hingga tak satu pun kata yang mampu kuucapkan untuk menembus ketersembunyian itu. Maksudku, minimal atau seharusnya aku bertanya apakah ia baik-baik saja karena PHK ini. Meskipun hanya lamis—sekadar abang-abang lambe, tapi aku tak kuasa dan selalu gagal ketika hendak mengucapkannya.

“Hey, Mas. Sudah lama?” Pak Sas menyapaku ketika aku meneruskan kepura-puraanku dengan buku anak-anaknya. Menyadari ayahnya datang, keduanya langsung beranjak dan memeluk Pak Sas. “Sedang libur?” lanjutnya.

“Libur, Pak Sas.”

“Sudah makan, Mas?”

“Sudah, Pak Sas, sama anak-anak tadi.”

“Saya tanya serius lho, ini.”

“Serius, Pak Sas.”

Pak Sas terus bertanya, dan bertanya lagi. Tapi sebenarnya ia sedang menyelamatkanku. Sebab berita pemberhentian karyawan yang kudengar membuatku kerepotan harus bersikap bagaimana. Akan mengawali pembicaraan dengannya dari mana dan akan memasang wajah dengan ekspresi apa terhadapnya. Aku masih bingung.

Kedatangannya kali ini membawa berita berat sekaligus buruk, tapi semua itu berlalu tanpa bekas apa-apa. Seakan tak pernah terjadi apa-apa dan Pak Sas meneruskan pertanyaan-pertanyaan kepadaku tentang apa saja. Terus terang ada beberapa yang kurang begitu kumengerti, sedikit takjub, dan lagi-lagi aku merasakan bahwa meskipun hanya seorang buruh biasa, tapi aku berani mengatakan, akulah satu-satunya buruh pabrik yang memiliki orientasi ke depan dan memiliki cara berpikir lebih baik dari yang lain. Ingin kuliah misalnya, lengkap dengan rencana besar untuk mencapainya. Meskipun demikian, sampai kini aku tak mampu merasa berada di atas Pak Sas tentang hal apa pun.

Hari beranjak larut, dan pertanyaan-pertanyaan Pak Sas terus mengalir. Dari persoalan serius hingga yang terdengar sangat lugu sekali. Tapi, apa pun yang keluar dari mulutnya terasa mencegat dan menguliti kebodohanku. Hari ini, kekagumanku makin bertambah kepadanya. Dari sekian banyak pertanyaan yang ia lontarkan, selalu berkisar pada masalah-masalah di luar dirinya. Ia seperti tak memiliki rasa sakit, atau bahkan tak memiliki dirinya sendiri.

Beberapa minggu kemudian, kini tiba giliranku yang terhempas kabar menyakitkan itu. Demi keberlangsungan perusahaan, direksi mengeluarkan kebijakan, mengurangi beberapa buruh dan karyawan. Namaku termasuk dari sekian banyak yang dikurangi itu.

Remuk sudah. Beberapa lama aku mencoba bertahan dengan uang tabunganku yang sesungguhnya kupersiapkan untuk daftar kuliah, tapi hingga uang itu habis aku tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Efisiensi besar-besaran aku lakukan. Aku tak mampu lagi membayar biaya sewa kamar, dan aku menumpang tidur dari teman satu ke teman lainnya. Hingga titik di mana aku merasa tak enak lagi karena merepotkan mereka, Pak Sas hadir dan menawariku untuk tinggal bersamanya.

“Tinggallah bersama kami. Itung-itung menjaga anak-anak.”

Aku menerima tawaran itu, demi keinginanku untuk bisa meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi. Dan aku berjanji, sekaligus berharap bahwa ini hanyalah sementara.

Sudah dua `minggu aku tinggal di rumah sewa milik Pak Sas, dan hampir seluruh kegiatan di rumah itu aku mengetahui dan mengikutinya. Dari memasak, mengantar dan menjemput sekolah hingga menemani anak-anak tidur dan mendongenginya. Masa menumpangku memasuki minggu ketiga, Haji Saidi menegur Pak Sas karena keberadaanku. Beberapa hari peristiwa peneguran itu, tak satu pun kalimat yang ia ceritakan kepadaku. Tapi sesungguhnya aku tahu karena lokasi rumah sewa ini tak begitu besar, dan suara sang induk semang begitu kencang. Juga, mungkin Pak Sas tak sampai hati menyuruhku keluar dari tempatnya. Karena tak kunjung ada yang keluar dari mulut Pak Sas, maka aku berinisitif mengemasi barang-barangku dan Pak Sas tak mencegahnya.

Di hari terakhir, di penghujung pertemuan kami, Pak Sas melepasku dengan menepuk-nepuk bagian tas punggungku.

“Semoga kau selamat sampai tujuan,” kalimat terakhirnya.

Aku melambaikan tangan kepadanya, meskipun aku berharap ada peristiwa yang lebih dramatis. Tapi kebaikan hatinya sudah lebih dari cukup, maka saatnya pulang ke kampung halaman.

Hari itu masih pagi, aku berjalan sekitar dua ratus meter untuk menuju jalan raya. Tampak angkutan umum berlalu-lalang. Tujuanku adalah terminal Cikarang dan selanjutnya adalah stasiun Jatinegara. Angkutan ke arah terminal berhenti tepat di mana aku sedang berdiri, aku naik di depan, sebelah si sopir. Kucari dompet di sakuku, tapi tidak ada. Lalu kuperiksa setiap bagian tas, dan mendapatinya berada satu tempat dengan sebuah amplop putih yang bertuliskan sesuatu.

Tabunganku ini kuhadiahkan kepadamu, untuk biaya daftar kuliah. Jika suatu hari kau berhasil dan sukses, main-mainlah kemari. Barangkali aku masih ada dan akan kumasakkan makanan kesukaanmu.(*)

Tentang Penulis:

Fajar Saputro lahir di Surabaya, 28 Juni 1984. Dari SD, SMP, hingga SMA selalu berpindah-pindah sekolah dan akhirnya berhasil menyelesaikan pendidikan S1 fakultas Ekonomi di salah satu perguruan tinggi di Jakarta. Sudah menikah, dan sudah dikaruniai seorang puteri. Pekerjaan hanya wiraswasta biasa. Kegiatan lain, sebagai Ketua Umum di Padepokan Les Kendalisodo, Gresik.

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita

Leave a Reply