Ulang Tahun Jo
Oleh: Rissma Inarundzih
Aku tersenyum puas. Memandang sekeliling penuh semangat. Nick sedang menyiapkan balon. Bukan balon di acara ulang tahun yang biasanya disiarkan American Channel, melainkan plastik bekas. Yang telah diberi udara dan diikat ujungnya. Hanya bisa berserakan di aspal gang. Kami menemukannya di tong sampah tadi pagi. Ketika kami tengah mengamen untuk membelikan kado untuk Jo.
Nerd, saudara Nick tengah mengecat tembok. Tomat busuk yang kami temukan cukup membuat tembok kumuh itu berwarna. Yah, paling tidak tulisan “Happy Birthdays Jo” terlihat.
Aku sendiri hanya memerintah. Adik ketua geng Grover tidak mungkin ikut bekerja, kan?
“Ve, apa yang perlu lagi?” tanya Gint sambil menatapku. Pemuda kurus itu selalu terlihat kuyu. Apalagi dengan pakaiannya yang serba kumal. Senyumnya ramah, berbeda dengan Jo.
“Apa ya?” tanyaku sok berpikir. Ini pertama kali aku berpikir tentang ulang tahun kakakku sendiri. Kami berpisah waktu kecil. Aku tinggal di panti asuhan. Jo sendiri hidup di jalanan. Tidak ada orangtua. Tidak ada tempat tinggal. Yang ia kenal hanya makan dan bekerja.
Acara TV yang kutonton di Hangvard Cafe ketika bernyanyi membuatku memiliki ide ini. Kupikir, Jo perlu bahagia juga. Apalagi dengan wajah ditekuknya yang menyebalkan itu. Aku sedikit beruntung pernah merayakan ulang tahun di panti. Sedangkan Jo tidak sama sekali. Kupikir dia perlu tersenyum juga. Biar bagaimanapun dia kakakku.
“Apa kita perlu makanan?” usul Nick dengan mata berbinar. Dia memang pencuri handal. Bekerja dengan santai dan selalu berhasil. Tapi, untuk acara ini tidak boleh ada barang curian.
“Ya.”
Nerd ikut berbinar. Pikirannya sama dengan Nick. “Kami akan membawakan steak—”
“Tidak, tidak!” selaku tegas. Aku ingat jika mereka mencuri steak di rumah makan kecil ujung kota. Pemiliknya sudah tua dan tidak banyak yang berkunjung ke sana. Ditambah lagi pencuri nakal di depanku selalu merugikan orang tua itu.
Seharusnya mereka mencuri di restoran besar. Pemiliknya yang pelit kepada rakyat kecil seperti kami perlu diber pelajaran. Akan kusarankan itu nanti.
“Apa kita akan makan kentang lagi?” tanya Jenny yang sedari tadi diam. Anak kecil itu tampak kecewa. Mungkin bayangan steak di kepalanya berubah jadi kentang. Kentang hambar yang tidak ada rasanya.
Aku mengelus kepalanya. “Tidak, tentu saja,” ucapku sombong.
Jangan salah. Aku sudah memikirkan semua masak-masak.
“Kamu sudah membeli steak?” tanya Gint memburu.
Aku menggeleng. Sedikit melotot pada mereka ketika harga steak terlintas di kepala.
Mengingat Jo—dan anak-anak ini—selalu makan mi instan sedikit membuatku meringis. Untuk itulah aku membeli enam potong roti rasa cokelat untuk kami. Dan syukur sekali pemilik toko menghadiahi cokelat batangan. Uang itu hasil tabunganku.
“Itu Jo!” teriak Jenny keras. Aku menyumpal mulutnya dengan tangan.
“Ayo, sembunyi!”
Nerd dan Nick berlari menuju tripleks bekas, yang biasa jadi alas kami tidur. Gint berjalan tenang ke arah tumpukan ban bus. Jenny menyelinap di antara gang gedung di sekitar. Aku sendiri merayap di dinding. Posisiku terhalang barang-barang bekas. Dengan tubuh mungil ini, Jo tidak akan menemukanku.
Jo melihat sekeliling. Mungkin sedang mencari kami. Kulihat keningnya berkerut melihat dinding berwarna oranye. Bau tomat busuk membuat Jo mundur. Mukanya tetap datar. Tapi, aku merasakan sesuatu yang berbeda.
“Kalian keluar!” bentaknya. Pertama kali kudengar dia berang. Sekalipun dia selalu judes, tak sekali pun membentak kami.
Aku muncul lebih dulu. Diikuti Nick, Jenny, Gint, dan Nerd. Kami takut melihat Jo yang merah padam. Urat-urat di lengannya mencuat. Mata sipit yang dimilikinya bagai pisau belati. Menyambar kami semua dan siap merobek.
“Siapa yang buat ini?”
Nerd panik. “Itu—itu. Kami hanya ingin merayakan ulang ….”
“Siapa?” bentak Jo tanpa menggubris Nerd. Nerd mundur selangkah melihat ketua gengnya mengamuk.
Aku jadi merasa bersalah. Mereka semua dimarahi karena aku. “Cukup, Jo! Aku yang buat ini,” selaku cepat.
Jo melepaskan cengkeraman tangannya dari lengan Nerd. Matanya menatapku ganas.
“Aku benci ulang tahun!”
Dia mendesis. Aku tidak mengerti dengannya. Meskipun kakak-adik, terasa jurang kosong di antara kami. Dia kembali terasa asing.
“Aku hanya ingin melihatmu bahagia. Ini hari bahagiamu.”
Aku sedikit gemetar. Kurasakan mataku memanas.
Jo diam.
“Ini bukan hari bahagiaku. Aku benci tanggal kelahiranku!” Belum sempat aku bertanya, Jo menyela lebih dulu.
“Kamu tidak tahu bahwa orangtua kita tidak menginginkanku! Mereka tidak pernah menganggapku ada. Aku benci lahir ke dunia. Kamu mengingatkanku dengan hal itu lagi.”
Jo menyembuskan napas.
“Aku tidak tahu.”
“Aku pikir kamu mengerti aku, Ve. Kurasa aku bertanya sekarang, apa benar kamu adikku?”
Dadaku terasa perih. Melihat Jo terluka. Melihatku sendiri kecewa. Itu semua salahku.(*)
Rissma Inarundzih, lahir sembilan belas tahun silam. Suka melamun demi ide. Kepalanya penuh khayalan aneh yang perlu diwujudkan. Novel leave Hate adalah karya perdananya. Bisa dihubungi di e-mail rissma.inarundzih@gmail.com atau FB: Rissma Inarundzih (Inar)
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita