Angel

Angel

Angel
Oleh: Loisa Lifire

Tantangan Lokit 2: Membuat cerita berdasarkan gambar

Rumah ini menyeramkan. Sejak hari pertama tinggal di sini, aku sudah mengalami mimpi buruk.

“Mau tahu penyebabnya? Itu ulah Berni, gadis penyihir yang tinggal di ujung jalan sana. Setiap kali dia membaca mantranya, semua anak di kompleks ini langsung diserang mimpi buruk,” ujar Mary panjang lebar saat aku menceritakan malam-malamku yang menakutkan.

Hari-hariku terasa suram. Demikian juga semua anak di kompleks ini. Sesekali kami suka berkumpul di taman, tetapi tidak banyak yang kami lakukan karena semua permainan terasa membosankan. Dan saat gelap mulai tiba, kami membubarkan diri masing-masing tanpa pamit satu sama lain.

***

Gorden jendela ditarik. Menyusulnya suara-suara lembut. Pagi itu, aku terbangun dengan sedikit lega. Seorang gadis cantik duduk di samping kepalaku. Aku belum pernah melihat dia sebelumnya, tetapi caranya tersenyum mengingatkanku dengan sosok malaikat pengawal anak-anak.

“Pagi, Sally. Namanya Angel. Dia akan tinggal bersama kita dan berbagi kamar denganmu. Angel memiliki kantung mimpi di kepalanya. Jika mau, kau boleh meminta mimpi indah sebelum tidur,” kata Ibu sambil mengecup keningku.

Aku bermain bersama Angel sepanjang hari. Untuk pertama kalinya selama tinggal di sini, aku bisa tertawa bahagia tanpa rasa takut dan sedih. Dan ketika sore menjelang, kuajak Angel bermain di taman. Teman-temanku sangat mengaguminya. Selain cantik dan menggemaskan, Angel juga cerdas dan ramah. Dia tahu semua jawaban dari setiap pertanyaan, dan bersedia untuk bermain dengan siapa saja, hingga tanpa sengaja Mary mendorongnya sampai terjatuh. Kepalanya terbentur papan luncuran. Selaput tipis yang menutupi kepalanya rusak. Akibatnya kantung mimpi Angel pecah, dan semua anak pulang dengan membawa mimpi indahnya masing-masing. Sejak saat itu seluruh anak-anak di kompleks seperti terbangun dari tidur, terkecuali Berni. Dari sorot matanya aku tahu bahwa sewaktu-waktu dia bisa mencelakai Angel.

***

Malam itu terasa berbeda. Aku baru saja meminta mimpi indah, tentang taman mungil lengkap dengan malaikat-malaikatnya saat gerimis berjatuhan di atap rumah, padahal langit sedang cerah dengan ribuan bintang yang berkelap-kelip menghiasinya. Perasaanku mengatakan bahwa sesuatu yang tidak beres mungkin akan terjadi. Nekad, kubuka jendela kamar untuk melihat keluar. Angin malam berembus, dingin sekali. Aku hampir saja tertidur saat seseorang mengetuk pintu dan memanggil namaku.

“Mary?” Kutatap matanya yang merah dan rambut yang berantakan tak keruan.

“Aku ingin tidur bersamamu,” ucapnya sambil menyerobot masuk tanpa menunggu persetujuanku.

Mary berlutut di depan Angel, seolah ingin meminta mimpi indah. Matanya semakin merah, disusul asap tipis yang keluar dari tubuhnya. Aku terpental ke belakang.

“Berni!” aku berseru ketakutan. Sekejap, tubuhnya menembus dinding dan hilang bersama asap hitam itu.

Angel terkapar. Tubuhnya robek tanpa mengeluarkan darah. Kepalanya berlubang, dan kantung mimpinya hancur berserakan di lantai.

“Ibu mendengar sesuatu yang tidak beres. Ada apa?” tanya Ibu khawatir.

“Berni datang menyerupai Mary. Dia mencuri semua mimpiku.” Malam itu, aku menangis dalam pelukan Ibu.

* * *

Sudah lewat tengah malam saat aku terbangun karena mimpi buruk lagi. Angel menghilang, dan Ibu … mungkin sudah kembali ke kamarnya. Aku melangkah ke dapur untuk minum segelas air putih. Di ruang tengah, telingaku menangkap suara-suara aneh yang mencurigakan dari ruang praktik Ayah. Kucoba membangunkan Ibu, namun pintu kamarnya terkunci. Dalam hati aku mengumpat, “Ayah keterlaluan. Membeli rumah di kompleks ini, kemudian pergi tak kunjung pulang.”

Kutarik samurai milik Ayah yang tergantung di dinding ruang tengah itu, kemudian menyeret tubuhku yang nyaris tak bernyali menuju ruang praktik Ayah.

Suara-suara aneh timbul, tetapi tenggelam lagi ditelan bunyi komputer yang memonitori semua aktivitas di ruangan itu. Aku mengintip dari lubang kunci. Lampu sorot tampak menyala. Di atas meja bedah, sepasang kaki terbujur kaku. Luka robek di sepanjang perut hingga dada baru selesai dijahit. Kini, sepasang tangan sedang memindahkan sesuatu ke dalam tubuh yang mungkin sudah tak bernyawa lagi, disertai bisik-bisik semacam orang mengucapkan doa. Mendadak, perutku mual. Rasa haus mencekik leherku. Keringat dingin membanjiri punggungku. Desah napas terdengar berat. Aku tak tahu, itu desah napasku atau mereka. Sebelum aku jatuh pingsan, kudorong pintu dan masuk.

“Bangun Angel, kita harus menolong Sally dan semua anak di kompleks ini,” bisik Ibu sambil terus memasukkan napas buatan ke dalam tubuh Angel, boneka kecilku. (*)

 

Loisa Lifire, menyukai aktivitas menulis, penikmat literasi, dan pecinta alam. Lahir dan besar di Alor, Nusa Tenggara Timur, tetapi memilih tinggal dan menghabiskan waktu di Kalimantan Barat. FB: Loisa Lifire

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita