Elea

Elea

Elea
Oleh: Nay Moza

Tantangan Lokit 2: Membuat cerita berdasarkan gambar

Aku mengenal Elea sebagai gadis manis yang pendiam, jarang bergaul atau ngobrol dengan teman-teman. Tapi kalau disapa dia selalu menjawab dengan ramah. Ia datang ke kampus untuk belajar kemudian pulang, sesekali kulihat dia berada di kantin, menyendiri. Tidak ada yang duduk bersamanya, mungkin karena teman-teman merasa segan atau bingung mau membahas apa jika ngobrol dengannya. Tidak tahu kehidupannya, keluarganya, apalagi pacarnya. Padahal postur tubuh dan rupa Elea sangat menarik menurutku. Saat aku mengutarakan pendapatku, teman-teman tertawa.

“Hei, Rik. Kamu jatuh cinta sama gadis es batu?” sahut Rory.

“Kehabisan stok cewek cantik dia, hampir semua pernah dia pacarin sih,” Nino ikut nimbrung.

“Si Erik kan, petualang. Dia mau naklukin gunung es,” celetuk Rian ikut menguatkan pendapat kedua temanku.

Sementara aku hanya tertawa menanggapi celoteh mereka, tak ayal aku jitak juga kepala si Rian.

***

Seperti hari ini, kulihat dia duduk sendiri lagi di kantin. Di bangku paling depan sehingga bisa bebas memandangi mahasiswa yang berlalu lalang. Rasa penasaranku bertambah dan membuatku mencoba mendekatinya.

“Boleh gabung?” tanyaku.

Ia hanya mengangguk dan sedikit bergeser, memberi tempat untukku duduk.

“Mau pesan bakso, gak? Aku yang traktir,” tanyaku mencoba mencairkan suasana.

Ia menatapku dengan tatapan aneh mungkin, karena baru kenal saja sudah mau traktir. Aku balik menatapnya. Ternyata matanya begitu indah, bulu mata yang lentik dengan bola mata berwarna hitam.

“Ah jangan-jangan benar kata si Roy, aku jatuh cinta. Atau karena penasaran saja,” batinku.

“Woy! Katanya mau traktir bakso, kok malah bengong?” tanya Elea sambil menggerak-gerakkan tangannya di depan wajahku.

“Eh? Hehe …. Iya-iya, tenang,” jawabku gugup. Lalu memesan dua porsi bakso.

Sambil menunggu pesanan, aku kembali mengajukan pertanyaan. “Kamu tinggal di mana?”

“Di rumah,” jawabnya acuh tak acuh.

“Maksudku daerah mana?” tegasku, ada kesal tapi juga geli.

“Gak jauh dari sini, ujung jalan itu, belok kanan, dekat toko elektronik ada gang, masuk deh,” Elea menerangkan.

“Masuk gang?” tanyaku.

“Iyalah, masa masuk sumur. Hehe …,” jawabnya sambil tertawa.

“Iya, aku paham. Boleh main ke rumahmu?”

“Buat apa?” Dahi berkerut, heran mungkin karena tiba-tiba ada yang mendekatinya dan mau main ke rumahnya.

“Sebagai teman, boleh dong? Gak ada maksud apa-apa,” jawabku sambil menikmati bakso yang barusan diantar ibu kantin.

Ia hanya mengangguk dan asyik menyantap baksonya.

***

Aku berkunjung ke rumah Elea sepulang kuliah, kudapati sebuah rumah yang asri, halamannya dipenuhi tanaman hias yang terawat. Saat sedang menikmati indahnya tanaman, Elea menepuk bahuku.

“Mau masuk, gak?”

“Ya masuklah, kan, haus,” candaku, ikut masuk bersama Elea.

Tak lama seorang ibu datang membawa nampan berisi minuman beserta cemilan. Dengan senyuman yang anggun, ia juga mempersilakanku untuk mencicipi makanannya. Aku manggut sebagai rasa hormat dan mengiyakan, juga tak lupa kusalami beliau.

“Ibuku,” kata Elea menerangkan, seakan tahu hatiku bertanya-tanya saat menatap matanya. Ada sesuatu yang entah apa, tapi tak bisa kujabarkan.

Sejak itu aku sering main ke rumah Elea, bahkan ngobrol juga dengan ibunya yang senang menceritakan tentang Elea yang lucu dan bandel saat masih kecil. Tak hanya aku, sesekali Elea juga mau kuajak berkunjung ke rumahku. Hingga rumor kalau aku telah berhasil menaklukkan gunung es menjadi tranding topic di kampus. Dan aku tak peduli.

Sudah seminggu aku tak melihat Elea, tak ada yang bisa aku tanya karena memang Elea tak punya kawan akrab selain aku, si bintang kampus plus playboy. Hehe ….

Sepulang sekolah, aku ke rumahnya untuk mencari tahu kenapa mahasiswi serajin dia tidak datang ke kampus. Kupacu motor menuju rumah Elea, toko elektronik miliknya tutup, padahal biasanya ada Mang Kardi yang dipercaya Elea untuk menjaga tokonya saat ia kuliah.
Sesampainya di depan rumah Elea, kuketuk pintu berkali-kali, tapi tak ada jawaban, membuatku terpaksa membukanya tanpa izin. Aku sempat ragu. masuk atau tidak? Tapi rasa khawatir mendorongku untuk masuk, takut terjadi sesuatu dengan mereka. Secara … mereka hanya tinggal berdua.

Aku mengendap-endap masuk, mataku mencari-cari, siapa tahu ada yang mencurigakan karena di sini sangat sepi. Aku terus berjalan hingga berhenti di dekat dapur. Dapat kulihat sebuah kamar dengan lampu yang menyala.

Aku mendorong pintu perlahan, kepalaku melongok ke dalam. Sungguh suatu pemandangan yang mengagetkan. Kulihat ibunya Elea berbaring di meja dengan lampu besar yang menyorot bagian kepalanya, seperti berada di ruang operasi rumah sakit, sedangkan Elea tengah memengang beberapa peralatan menyerupai seorang dokter. Saking kaget aku kesandung dan menimbulkan suara. Spontan, Elea berbalik cepat, menghampiriku dan menyerang dengan menyetrum belakang telingaku, seketika aku lemas tak berdaya.

Dengan sigap Elea mengikatku di sebuah kursi, mulutku dilakban. Dengan setengah sadar dan mata yang sayup-sayup terbuka, kulihat Elea memperbaiki kabel-kabel di kepala ibunya. Jadi ini yang kurasa saat menatap mata ibunya ketika pertama bertemu dulu. Dia seorang Robot.

Sekitar dua puluh menit aku menyaksikan, tangan Elea menggunakan berbagai alat elektronik yang tersedia. Kini ia menutup kembali kepala ibunya, robot Ibu maksudku. Ia memijit satu knop di punggung robot itu. Ajaib menurutku, robot itu bangun dan tersenyum.

“Terima kasih, Elea,” katanya sambil memeluk Elea. Elea pun tersenyum dan membalas pelukannya.

“Oh …! Ada Erik?” ucap Ibu Robot. Ah, aku bingung menyebutnya, Robot atau Ibu.

“Tadi Elea lupa mengunci pintu, Erik masuk dan memergokiku. Jadi terpaksa kuikat,” jelas Elea sambil membuka ikatanku.

“Bawalah dia ke ruang tamu, Ibu akan membuatkan kalian minuman,” katanya.

Elea membimbingku untuk berjalan karena tubuhku masih agak lemas. Ia mendudukkan aku. “Duduklah, sehabis minum kamu akan pulih. Maaf tadi aku terpaksa mengikatmu karena tak ada waktu untuk menjelaskan,” katanya sambil menatapku.

“Iya, dan kamu memang harus menjelaskan padaku,” jawabku lemah.

Akhirnya Elea menjelaskan. Ayahnya seorang profesor yang banyak menciptakan alat-alat canggih. Hingga suatu malam, rumah mereka didatangi perampok yang meminta suatu data tentang alat pemalsuan uang, tentu saja ayahnya tak mau memberitahu karena tahu itu akan digunakan untuk kejahatan. Mereka marah dan menembak ayah Elea, namun istrinya menghadang hingga ialah yang tertembak dan meninggal. Perampok kabur setelah warga mengepung karena mendengar suara tembakan.
Sementara Elea kecil yang waktu itu disembunyikan di dalam lemari sangat kehilangan ibunya. Tiap hari, tiap malam, ia terus saja menangis. Ayahnya kelimpungan, dan saat itulah sebuah ide muncul di benak ayahnya untuk membuat robot Ibu. Berhasil, ayahnya telah menciptakan robot yang sama persis seperti ibu Elea. Hingga kini Elea tak bisa lepas dari robot Ibu. Karena ayahnya sudah meninggal, Elea-lah yang harus memperbaiki saat ada kerusakan. (*)

 

Nay Moza, tinggal di Garut, hobi menulis walau ilmu kepenulisan baru secuil. FB: Nay Moza

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita