Tentang Air dan Cinta
Oleh: Naafisa
Ia menarik lenganku, membawaku berlari sambil tertawa renyah. Senja di pertengahan sawah itu terlihat mengagumkan. Sama seperti sosok wanita yang berada di sampingku ini. Indah dan mengagumkan.
Kami berhenti, duduk di bawah pohon besar dan menghabiskan waktu dengan memandangi keindahan senja. Kutatap wajahnya, ia terlihat lebih menarik dengan posisi seperti ini. Nampak seperti siluet dengan guratan yang lembut. Kombinasi itu semua membuatku terpesona. Begitu anggun. Apalagi sikapnya yang cerita, mampu membuatku merasa seperti ada angina sejuk yang menyapu hatiku.
“Cantik,” gumamku menatap lurus padanya.
Ia menoleh. Menatapku, kemudian mengerutkan keningnya seraya berkata, “Apa?”
Aku hanya terkekeh mendengar apa yang barusan ia katakan.
“Kamu itu kenapa? Aneh tahu gak.” Aku masih saja tertawa.
“Tuh, kan! Kenapa? Apa ada yang aneh sama wajahku?”
Ia mengeluarkan sebuah benda kecil dari sakunya. Sebuah cermin yang kini dihadapkan ke wajahnya. Dengan sigap, aku ambil benda itu. Kemudian berlari meninggalkannya.
“Hei, berhenti. Kembalikan cermin milikku!” Ia berlari mengejarku. Wajahnya pasti sudah bertambah tua karena kesal.
“Coba tangkap aku, Nona Cermin. Dan kau akan mendapatkan apa yang kau mau.” Aku memanggilnya Nona Cermin. Kenapa? Karena ia tak pernah beralih dari benda kecil itu. Ia selalu membawanya ke mana pun dan kapan pun.
Aku pernah bertanya, kenapa ia selalu membawa cermin setiap saat. Kemudian ia menjawab, “Agar aku bisa melihat wajahku, takut bedaknya luntur.”
Aku hanya terkekeh sambil menggelengkan kepala mendengar jawabannya. Kemudian ia berujar lagi, bahwa ia membawa cermin agar selalu dapat melihat dirinya sendiri. Ia ingin melihat kekurangannya, kemudian berusaha memperbaiki. Dan … ia ingin dapat melihat, apakah dirinya pantas untukku.
Aku hanya terdiam mendengar itu semua. Ada perasaan senang dan haru. Karena itulah aku menyukainya. Ia telah mengubah hari-hariku menjadi menyenangkan.
“Sudahlah, aku menyerah. Aku tak sanggup berlari lagi.”
“Ah, kau tak menyenangkan. Baru berlari sedikit saja, sudah menyerah. Dasar payah!”
“Apa kau bilang? Aku ini payah? Kalau aku mau, aku bisa saja menangkapmu dan menceburkanmu ke dalam sungai itu. Tentunya setelah aku merebut cermin di tanganmu.”
“Jadi, kau lebih mementingkan cermin daripada aku?” tanyaku berpura-pura sedih setelah mendengar pernyataannya.
Bukannya merasa bersalah, ia malah terkekeh. Kemudian duduk di pinggiran sungai dekat sawah. Posisi duduknya selalu memesona. Aku pun mengikuti gerakannya, duduk di sampingnya.
Kami terdiam cukup lama, terlalu asyik memandangi air yang mengalir begitu tenang. Seolah tak pernah ada masalah. Tak pernah ada ombak kecil di dasar yang menggulung ketenangannya. Ah, andai saja hidup seperti itu. Tenang dan damai.
“Kenapa diam saja?” ucapannya membuyarkan lamunanku.
“Ah, tidak apa-apa. Aku hanya iri melihat air itu. Terlihat tak pernah ada masalah. Sepanjang jalannya begitu tenang dan damai. Tanpa ancaman. Tanpa kekecewaan.”
“Filosofimu lucu. Kau tahu? Justru air itu memiliki masalah yang lebih besar dari kita.” Ia menghela napas. “Meskipun dari luar nampak tenang dan damai, namun dalamnya begitu kacau. Banyak masalah-masalah yang timbul. Masalah yang nantinya akan menjadi ancaman dan bencana bagi sekitarnya. Mencari solusi untuk masalahnya itu sulit. Perlu pemahaman dan pengertian. Jadi, kau tak usah iri pada air. Karena kita sudah diberikan kenikmatan sesuai porsi. Tidak kurang dan tidak lebih.” Ia tersenyum sambil mengakhiri perkataannya.
Wanita itu begitu bijak dan selalu memberi ketenangan. Membuatku mengerti tentang arti kehidupan yang sebenarnya. Jadi, tidak salah bukan bila aku benar-benar menyukainya? Ia sosok wanita yang sungguh luar biasa. Aku bahkan merasa menjadi laki-laki yang sangat luar biasa bila di dekatnya.
“Aku suka. Aku selalu suka kata-katamu yang bijak. Kata-katamu yang selalu menyadarkanku tentang apa pun.”
“Kau terlalu berlebihan. Ketahuilah, aku bukan pujangga yang suka berujar kata-kata bijak atau puitis. Bahkan, aku tak suka membaca maupun menulis. Aku hanya seorang wanita yang dengan lancangnya sudah mencintaimu. Maafkan aku.” Ia menunduk. Suaranya terdengar parau saat mengucapkan kalimat terakhir itu. Aku tahu, ia sedang menahan tangis. Melawan butiran-butiran air yang sebentar lagi jatuh mengenai pipinya.
Dadaku terasa sesak mendengarnya. Aku sudah tahu dia mencintaiku, begitupun sebaliknya. Kita sudah membicarakan hal ini sebelumnya. Perihal cinta yang tumbuh dari masing-masing individu. Perihal cinta yang datang menyambut dengan perasaan tak keruan.
“Sudah berapa kali aku katakan, kau tak perlu meminta maaf. Rasa cinta yang muncul itu bukanlah sebuah kesalahan. Tak ada yang salah dalam hal mencintai.”
“Tapi, cinta kita ini salah! Kau harus sadar itu, Aldi!” bantahnya dengan suara bergetar. Sorot mata sendunya kini menatapku, di sudut matanya ada genang air yang sebentar lagi akan jatuh hanya dengan satu kedipan saja. Dan benar, satu detik kemudian air itu jatuh seolah mewakili kesedihannya.
Aku tak kuasa melihatnya. Kurengkuh pundaknya dan memeluknya erat. Berusaha menenangkan serta meyakinkan bahwa cinta kita tak pernah salah.
“Berhenti berkata seperti itu. Kata-katamu membuat hatiku seperti terkena ribuan anak panah. Kumohon!” Ia masih saja terisak di pelukanku. Aku pun terdiam setelah mengucapkannya. Mencoba merenungi semua perasaan ini. Apakah benar bahwa cinta ini salah? Tapi itu tidak mungkin, karena sejatinya, cinta tak pernah menduduki kursi kesalahan. Aku yakin itu.
Namun, keyakinanku akan semua itu perlahan juga meluntur ketika mengingat sosok Ayah yang telah tiada. Sosok Ayah yang meninggal beberapa tahun lalu. Perasaan bersalah pun muncul dari dalam diriku. Karena sejak Ayah meninggal, rasa cinta ini muncul. Rasa cinta yang seharusnya tak kumiliki. Rasa cinta yang benar-benar menyalahi aturan. Karena, aku mencintai ibu tiriku sendiri. (*)
Naafisa, merupakan nama pena dari Nilna Kaesan Nafis. Seorang pelajar yang bersekolah di SMKN 2 Bawang, Jurusan Teknik Audio Video. Meski mengambil jurusan elektronika tapi ia sangat suka menulis. Belum memiliki cita-cita tetap, tapi ingin menghasilkan karya yang bisa dikenang oleh banyak orang.
Email: Nilnakaesan2001@gmail.com
FB: Nilna Kaesan Nafis
IG: Nilna_Kaesan
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita