Cinta Fatamorgana

Cinta Fatamorgana

Cinta Fatamorgana

Oleh: Respati

Nada dering di ponselku terdengar nyaring, memaksaku berpaling cepat dari layar televisi dan menyambarnya.

“Ya. Tunggu di situ!” perintah itu tak perlu jawaban di seberang sana. Dan kuyakin tanpa perlu melihat langsung, dia pasti sedang mengangguk.

Aku beranjak dan pergi membawa serta kunci mobil dan ponselku. Tak memedulikan teriakan istriku dari dapur.

Mobil melaju kencang menuju kantornya, aku tak ingin dia berdiri lama di lobi untuk menungguku. Dan ketika aku sampai di depan kantor, dia berlari menghampiri mobilku. Masuk dan memasang sitbelt lalu duduk manis.

Aku terus memutar setir sampai waktu berajak sore. Melaju tanpa tentu arah. Selama perjalanan tak banyak yang kubincangkan. Dia pun hanya diam dan nampak murung melenyapkan keceriaan yang biasanya dipamerkan padaku. Atau barangkali ini ada hubungannya dengan permintaannya kemarin malam. Sebuah pertengkaran terjadi di dalam mobil.

Aku mendadak menghentikan laju mobilku. Beruntung dia tak pernah lupa menggunakan sitbelt sehingga terhindar dari kecelakaan.

“Kenapa diam?” tanyaku.

Wajah polosnya bergeming. Dia memandang lurus ke depan.

“Aku bertanya dengan manusia normal, kan?”

Dia tetap bergeming. Sejurus kemudian tangannya hendak meraih pintu untuk dibukanya. Aku menjalankan mobil lagi, kali ini lebih kencang. Dan dia tetap bungkam. Tak ada tanda ketakutan di wajahnya. Wajah putih bersih yang kini tak sedikit pun ada rona kecemasan.

Ada banyak pemikiran berkecamuk dalam kepalaku. Tapi aku menduga diamnya itu ada hubungannya dengan permintaannya tadi.

“Koh, aku mau jadi istrimu.”

Mendengar keinginannya aku tidak terkejut, karena ini bukan pertama kalinya ia meminta. Rasa bosan kerap hadir tiap kali dia merengek. Tapi dia bisa mengalihkan bosanku dengan hal yang kusuka. Itulah dia. Aku selalu suka setiap kali dia merengek meminta sesuatu. Rayuannya mampu melumerkan kerasnya watakku. Dan harus kuakui, dia begitu istimewa.

Mobil berhenti tepat di pagar rumahnya. Biasanya saat dia merajuk, dia akan langsung membuka pintu dan kabur masuk ke rumah. Berhari-hari dia akan tahan berdiam diri tanpa memberi kabar padaku. Tapi kali ini dia sungguh berbeda. Dia tidak seperti biasanya

Dia duduk dan memutar-mutar cincin berlian pemberianku sebulan lalu. Tak seperti saat pertama kali memakainya, kali ini dia seperti dibalut kebimbangan.

“Apa maumu?”

Dia menghela napas yang telah dihirupnya dalam-dalam. “Menikah.”

“Denganku?”

“Ya. Aku—”

“Aku tak bisa!”

“Koh!”

“Apa? Apa lagi mau kamu? Semua kebutuhanmu sudah aku penuhi. Tapi jangan minta yang satu itu. Aku tak bisa!”

Dia terdiam sebelum membuka pintu Xpander perlahan. Keluar tanpa sepatah kata. Aku kembali membelah jalanan setelah dia turun dan berdiri mematung di depan pagar. Aku tak peduli.

***

“Kenapa pakaianmu?” tanyaku sore itu. Aku mengajaknya ke sebuah kafe. Dia hanya memandangku dan tersenyum. Duduk di hadapanku dan mulai memilih menu.

“Key! Ganti bajumu atau kita batal makan!” ancamnya.

Dia memandangku sesaat sebelum beranjak pergi. Sementara aku hanya menggeleng kesal melihat polahnya kali ini. Aku membuka ponselku. Membalas beberapa pesan penting dan kembali duduk menunggu dia.

Lima belas menit berlalu. Aku mengetuk-ngetuk meja dengan jemariku. Dua puluh lima menit sudah, aku mulai gusar. Dan angka tiga puluh menit aku pun berdiri menggeser kursiku. Dari arah pintu masuk dia datang dengan dandanan yang sangat modis dan sedikit berani. Ini yang aku suka darinya. Dibalut busana kekinian aura kecantikannya langsung terpancar.

Aku tersenyum lebar melihat dia berjalan ke arahku. Melebarkan tanganku untuk menyambutnya. Memeluknya erat dan membuat tamu lain iri melihatku.

“Suka?” tanya Key.

“Suka sekali,” jawabku mantap.

Lalu kami melepas malam dengan santapan berkelas. Kafe mahal dan kamar mewah bukan masalah bagiku. Dan untuk dia, ini akan menjadi kehidupan highclass yang telah dijalaninya hampir setahun bersamaku. Aku tahu hasratnya dan aku punya segalanya.

Wajah orientalku, tubuh tinggi dan kekar, cukup mudah menjaring perempuan haus materi seperti dia. Tapi jujur, bersamanya aku seperti sepuluh tahun lebih muda. Hasrat mudanya mampu menggelorakan jiwaku yang mulai melemah diterjang usia.

***

“Key, ada apa dengan baju-bajumu?”

“Kenapa lagi, Koh?”

“Bajumu! Cepat ganti! Atau ….”

“Atau kita batalkan perjalanan kita? Atau apa?” potongnya.

“Key!”

“Terserah!”

Dia pun meninggalkanku. Menjauh dari tempatku berdiri saat ini. Aku hanya bisa memandangi punggungnya dari kejauhan. Selendang warna merah dipakai untuk menutupi kepalanya sementara kedua netranya ditutup kacamata warna gold.

Dua tiket penerbangan masih kugenggam. Pergi tanpanya seperti ada yang hilang. Membujuknya kembali? Aku berpikir keras sebelum panggilan terakhir dibunyikan.

@puskesmas, 12.05.2018

 

Respati

Dapat dihubungi pada email respatiifa@gmail.com, fb Susi Respati Setyorini, aku ig @susi_respati atau WA 089628784923.

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita