Schlingen
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda
Akhirnya, kita bertemu lagi—bukan kebetulan, tentunya. Dia bilang, kamu kesepian dan merana oleh cinta, jadi secara otomatis aku pergi ke kaki Gunung Matterhorn ini. Sudah beberapa hari aku datang, tetapi wajahmu masihlah amat sendu. Mengapa? Masih belum bisa merelakan orang itu?
Kamu tidak berkomentar banyak kendati aku membaca buku harianmu yang penuh dengan kata-kata puitis. Kamu mau jadi penyair, kan? Kamu hanya duduk diam, memerhatikanku dengan pandangan lurus yang sangat mengganggu, membuatku harus berhenti berkomentar tentang tulisanmu dan menanyakan keadaanmu, “Apa, sih? Tidak suka dengan kelancanganku?”
“Baguslah kalau kau tahu hal itu.”
Aneh. Mengapa kau jadi kian aneh dari hari ke hari?
“Dasar aneh. Kau kurang makan, apa? Mau kutraktir ke kedai favoritmu?”
Kamu diam. Sejurus kemudian, kamu menangis sesenggukan.
***
Dulu, aku pernah bertanya apa yang lebih menyakitkan ketimbang masa depan yang tidak kamu ketahui bentuknya. “Kenangan yang tidak dapat kau hapus selama hidupmu,” jawabmu datar sembari membaca buku filsafat timur yang kamu pinjam dari Perpustakaan Zermatt. Kamu abai, tetapi aku tahu pernyataanmu amat berarti … mungkin sama berartinya dengan dia yang selalu menemanimu memuaskan hasrat akan filsafat serta sastra.
KaKa tidak pandai mengungkapkan perasaan, sama seperti musim salju di kota kita, Zermatt. Tetapi binar matamu berkata bahwa keberadaan pria humoris—yang tidak bisa bersikap romantis itu, amat berarti bagimu. Kamu tidak tahu musabab apa yang membuatmu jatuh hati. Mungkin karena ketampanannya, tawanya, atau bahkan tidak ada alasan sama sekali.
Kalian tidak berpacaran. Belum, karena dia memendam perasaannya padamu, tetapi selalu menghabiskan waktu bersama. Ia tahu betul kefanatikanmu terhadap Jostein Gaarder dan kamu pun tahu kegilaannya terhadap fotografi sampai-sampai mempunyai dua kartu memori yang penuh dengan fotomu. Bahkan, ia telah mengenalkanmu pada orangtuanya yang tinggal di St. Moritz.
Kamu berharap banyak, amat banyak, dan ia mengkhianatimu dengan mendaftar sebagai korban meninggal dalam kecelakaan beruntun September lalu. Sejak itu, kerasionalanmu hilang dan kamu ditawan duka untuknya yang tidak akan kembali lagi.
Aku tertawa, berpikir betapa melankolisnya dirimu, tetapi itulah kenyataannya dan … karena itulah aku menemuimu.
Namun, kamu benar-benar mati karena kenangan, Sonja.
***
Glacier Express, salah satu perjalanan kereta terindah di Eropa yang melewati puncak Oberalp Pass menuju kota asalnya—kereta yang harusnya kalian naiki untuk merayakan hari ulang tahunnya di Ground Furnaria, St. Moritz, sebelum kabar kecelakaan itu mengurungmu dalam duka. Dan di situlah kita berada. Kamu tidak membawa apa-apa kecuali tiket kereta dan aku paham alasannya.
Pandanganmu segera lari dari mataku, menjelajahi salinan negeri dongeng yang kalian suka seolah ia akan muncul memakai pakaian badut dari Phosterior Rhine. “Aku punya banyak foto spektakulernya kalau kau mau minta.” Demikian ia pernah berkata. Kamu tersenyum tipis, barangkali mengingat hal tersebut, dan aku mendengus mengetahui kamu memang datang untuk mengenangnya.
Aku mengeratkan gigi. Tidak ada manusia yang suka dengan pengabaian, tetapi yang membikin mataku gatal adalah kamu yang mengabaikan hidupmu sendiri.
Apa yang membuatmu terkurung sebegini lama? Apa yang membuatmu betah mengabadikan dia di buku harianmu? Apakah kamu termakan semua perilakunya? Apakah kamu merasa tidak dapat menemukan sosok segila pria itu lagi?
Apa karena dia pergi sebelum berkata apa-apa? Bahwa rencanamu untuk menyatakan perasaan pada hari itu lantak oleh maut?
Aku memajukan wajahku hingga embusan napasmu terasa amat dekat. Kamu tercekat. Pandanganmu benar-benar fokus padaku, bukan pada sungai serta salju itu. “Aku tahu kamu mencintainya, tapi aku akan bertanya sekali lagi: apa kamu mencintainya?”
“Aku mencintainya.”
Matamu berkaca-kaca. Aku membatu. Tidak dapat berkata-kata.
***
Dia bilang, semua manusia membutuhkan cinta agar bisa hidup. Dan, ya, cinta membuatmu seperti mayat hidup. Otakmu penuh dengan puisi sehingga buku-buku tebal yang kau beli dari Zur Alten Post Ag menguap tak bersisa. Kamu lupa bahwa kematian adalah ketidakpastian paling pasti di dunia ini. Kamu terjerat oleh masa lalu hingga tidak sadar bahwa kamu masih bisa hidup meski tanpa kasih sayangnya.
Aku menatapmu lurus. “Apa yang diharapkan manusia dari sesuatu yang telah hilang, rusak, tak lagi berbentuk? Mengapa manusia sangat suka mengenang sesuatu? Mengapa manusia sangat sulit melepaskan sesuatu yang pernah ia miliki?”
Kamu dulu sangat bercahaya, Sonja, dan aku ingin kembali melihat cahaya itu.
Kamu bertanya, “Lantas, apa yang kita lakukan di dunia ini selain berharap? Apa yang membuat kita ‘ada’ di dunia ini kecuali masa lalu?”
Dadamu naik turun. Wajahmu memerah, lelah, seolah ingin meledak.
“Manusia selalu melakukan sesuatu yang ia sukai, berulang-ulang, setiap hari, setiap waktu, hingga akhirnya ia jenuh dan mulai meninggalkan hal tersebut. Lantas, apa salahnya mengenang masa lalu? Apa salahnya membiarkan kenangan ini mengakar di hatiku?”
Kamu menangis terisak, seolah beban di dadamu keluar begitu saja. Seperti kata-kata yang macet di otakmu selama ini akhirnya bisa keluar lewat suara. Aku baru sadar baru kali ini kamu bisa mengatakan kegelisahanmu sampai-sampai sorot menyedihkanmu berhasil mengambil ruangku untuk berbicara.
Ruangku untuk kembali ke realita.
“Aku hanya ingin mencapai titik itu. Sebuah titik di mana aku jenuh dan akhirnya dapat merelakan semua … termasuk kamu.” Kamu berbisik, isakmu pelan tetapi dapat kudengar, dan aku hanya memandangmu dari kaca kereta yang berembun. Salju telah turun dan kulihat napasmu menyisakan uap putih—yang lebih kentara ketimbang sosokku yang serupa visualisasi pengidap skizofrenia. Kamu membuang napas, menahan air mata, menatapku lurus, kendati tidak selurus hari-hari sebelumnya “Saat perasaan ikhlas itu datang, semua akan ‘kembali’ sebagaimana semestinya.”
Stasiun kereta telah tampak dari kejauhan. Di penglihatanku yang lain, di stasiun tersebut, seorang pria telah bangkit untuk naik kereta ini. Sesuai kata-Nya, kamu akan segera bertemu orang itu … dan aku bergetar menyadari inilah waktuku pergi.
“Pertanyaannya, apakah kamu merelakan semua itu?”
Aku tertawa amat keras sampai air mataku keluar. Aku baru sadar. Bukan kamu yang mencintaiku sampai gila, tetapi akulah yang mencintaimu sampai mati. Akulah yang takut tidak dapat melihat wajah seriusmu dengan buku-buku itu, tidak dapat mengajakmu bermain air di danau dekat rumahku, tidak dapat memotretmu yang terkesima akan salinan negeri dongeng, dan takut akan kenyataan kamu bukanlah pasanganku.
Namun, kenyatannya memang begitu, kan? Sialan memang.
Aku mencintaimu, Sonja … apakah terlambat untukku mengatakannya?
“Hahaha, terima kasih karena membuatku menangis, Sonja.” Angin dingin Swiss berembus. Pandanganmu tidak lagi fokus dan aku menyadari bahwa semua memang terlambat setelah Dia memintaku datang menemuimu.
Aku baru sadar. Aku bukan datang untuk memaksamu bangkit, Sonja. Itu hanyalah akal-akalanku saja. Dia hanya ingin agar aku merelakanmu bersama orang lain … dan inilah saat semua itu terjadi.
Kereta telah sampai di tanah kelahiranku. “Rela tidak rela, toh, kamu akan bertemu dengan dia, Sonja.”
Angin berembus keras.
“Dah, sapa aku kalau ketemu di dunia sana.”
Aku mencintaimu, Sonja.(*)
Devin Elysia Dhywinanda, gadis kurang kerjaan yang perlu menyalurkan sesampahan dalam otaknya (tenang, dia masih pelajar dan cukup waras, kok). Lahir dan masih bermukim di Ponorogo sejak 10 Agustus 2001.
FB: Devin Elysia Dhywinanda. E-mail: curlyglassesgirl@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita