Kisah di Balik Gorden
Oleh: Ulfah Mawalatul Khoiriyah
Dia berteriak sejadi-jadinya, matanya terbelalak melihat perlakuanku padanya. Aku merampas habis semua tenaga yang ada dalam dirinya sampai tak ada satu tetes keringat pun yang keluar dari tubuhnya. Kulumat sampai benar-benar kering melebihi keringnya ranting yang telah jatuh dari dahannya. Tak sedikit pun kusisakan jejak tubuhku dalam dirinya, agar ketika dia bangun kembali dia tidak mengenali siapa manusia yang telah menelanjangi sampai merenggut nyawanya. Tetapi itu sangat mustahil karena aku telah memastikan bahwa dirinya tidak akan pernah hidup kembali dan sengaja aku kubur dia dalam-dalam di balik gorden kamarku ini, agar jika suatu saat Tuhan menghendaki dia bangun mudah saja bagiku untuk membunuhnya kembali.
Sudah hampir dua puluh orang yang sengaja aku kubur di sana dan sampai saat ini tidak ada satu pun yang berani bangun kembali, karena mereka tahu percuma saja jika bangun lagi aku pasti akan membunuhnya lagi dan sebelum itu aku akan menikmati keelokan tubuhnya terlebih dulu. Sebenarnya mereka mati bukan karena kesalahanku semata, tetapi karena itu memang kesalahan mereka sendiri yang sengaja mengantarkan nyawanya padaku. Pernah suatu hari ada seorang depkolektor dan dua orang body guard dengan perawakan yang begitu gagah, dada yang berisi pertanda jika kena pukulanku maka hanya tangankulah yang akan berdarah, dan raut wajah seperti malaikat Izrail yang akan mencabut nyawa seseorang, begitu menyeramkan. Waktu itu aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Perawakanku yang kecil dan tipis ini mana mungkin bisa melawan mereka yang bertubuh raksasa itu, tetapi karena kecerdikanku aku berhasil menaklukkan mereka bahkan sampai menguburkan mereka di balik gorden itu juga.
Aku sebenarnya tidak ingin melakukan hal bejat seperti ini, tapi karena aku tidak ingin ribet dalam masalahku maka aku pun terpaksa harus menguburkan mereka. Itu bukan salahku, kan? Siapa suruh mereka membuat keributan dalam hidupku, ya, jadinya mereka terbunuh juga. Tidak ada satu orang pun yang mengetahui semua perbuatan kejiku ini. Bahkan Ibuku sendiri saja tidak tahu perilaku anaknya bagaimana ketika berada di belakangnya. Aku tidak merasa bersalah, malah saat mereka tiada aku merasa beban hidupku sedikit berkurang. Meski kadang sesekali mereka datang menghantuiku untuk meminta pertanggungjawabanku, tapi apa boleh buat? Aku tidak bisa menghidupkannya kembali. Dan jika mereka ingin hidup kembali mereka tinggal meminta Tuhan saja untuk melakukannya. Simple, bukan?
Hidup itu dibawa santai aja, bagi mereka yang berani mengusik maka mereka pun siap terusik. Aku hidup sebatang kara karena menurutku sendiri itu bisa membuat hidupku jauh lebih tenang, meski sering kali aku terlilit masalah hutang dan perasaan namun aku tidak terlalu memikirkannya. Aku juga pernah suatu hari didatangi oleh lima orang teman seangkatanku namun berbeda kelas. Mereka datang ke rumahku dengan tujuan untuk mengeroyokku karena mungkin atas hilangnya Dinda setelah dia pergi ke rumahku dan memang iya, aku membunuhnya karena ia menolak semua keinginanku dan sampai pada akhirnya aku pun menguburnya di balik gorden itu juga. Mereka datang mengobrak-ngabrik rumahku dan sampai pada kamarku. Aku tidak terkejut sebab aku tahu kedatangan mereka untuk apa. Ya, untuk mengantarkan nyawanya padaku. Tetapi saat itu mereka datang tidak dengan tangan kosong, mereka membawa pistol dan peralatan tajam lainnya. Oke, mungkin itu membuatku sedikit gentar. Akan tetapi, pada akhirnya mereka juga mati di tanganku. Tuhan memang adil! Dia tahu apa diinginkan oleh hamba-Nya, maka dari itu dia membantuku untuk mengalahkan semua orang yang mengusikku.
Hidupku memang benar-benar dipermudah. Istilahnya mereka harus bersusah payah terlebih dulu untuk menaiki bukit itu, sedangkan aku? Aku tinggal terbang saja untuk sampai pada bukit itu. Itulah bagaimana mudahnya jalan hidupku. Mereka yang datang ke rumahku kebanyakan tidak bisa pulang lagi ke rumah asalnya dan aku tempatkan mereka di tempat baru yang belum pernah mereka kunjungi, alam kubur.
Pernah juga suatu saat ada dua orang tua yang mendatangi rumahku dengan tujuan untuk menanyakan kabar anaknya yang hilang selepas pergi ke rumahku. Padahal pada saat itu aku tidak membunuh atau bahkan menguburnya, karena dia datang ke rumahku dengan tujuan baik. Dia memberitahuku bahwa akan ada lima orang teman yang akan mendatangi rumahku dengan membawa peralatan tajam dan itu sudah aku bereskan. Selebihnya aku tidak tahu ke mana wanita itu pergi. Tetapi orangtuanya malah menuduhku dan memaksaku untuk memberitahu di mana anaknya itu, malah jika aku tidak memberitahu di mana keberadaan anaknya, mereka akan melaporkanku kepada pihak yang berwajib. Maka dengan terpaksa juga aku membunuh kedua orang tua tersebut. Karena tidak ada pilihan lagi, jika aku membiarkan orang tua itu hidup mereka pasti akan melaporkanku dan akhirnya aku akan menghabiskan hidupku di penjara. Apa dengan membunuh mereka aku salah? Tidak, bukan? Itu malah merupakan jalan terbaik dari masalah ini.
***
Sesekali aku pernah tidur bersama mayat-mayat yang aku kuburkan di sana. Sengaja biar mereka merasakan sedikit pertanggungjawabanku atas apa yang telah aku lakukan padanya. Kurang baik apa aku? Mana ada di dunia ini seorang pembunuh yang bertanggung jawab atas kesalahannya itu dan menebusnya dengan cara menemani mereka tidur. Tidak ada, bukan? Itu hanya terjadi padaku dan aku sadari aku memang benar-benar cerdik.
Semua rahasiaku itu hampir ketahuan oleh seseorang yang tidak kukenali. Dia dengan sengaja membuka gorden itu dan hampir saja dia melihat kuburan-kuburan dibalik gorden itu. Untung saja aku keburu membunuhnya dari belakang dengan pisau andalanku ini dan dia jatuh tergeletak berlumuran darah. Memang benar, dengan cara membunuh mereka yang mengusikku mungkin itu adalah jalan terbaik dari alasan masih berlangsungnya hidupku sampai saat ini.
Sebenarnya dalam hati kecilku ini aku benar-benar merasa tidak nyaman hidup seperti ini, tapi apa boleh buat? Tidak ada seorang pun yang ingin merubah hidupku selain dari diriku sendiri dan aku tidak ingin mengubahnya. Aku tidak tahu siapa nanti yang akan menghabisi nyawaku ini. Entah Tuhan atau salah satu keluarga dari yang pernah kubunuh atau bahkan mereka yang ada dalam kuburan-kuburan itu. Entahlah. Tetapi suatu saat nanti aku pasti benar-benar tiada bersama mereka yang aku lenyapkan dan mungkin juga mereka akan menyiksaku karena aku sudah tidak bisa apa-apa.
Bruukk…!
Gorden yang menjadi pembatas kamarku dan kuburan-kuburan itu rusak dan terjatuh ke lantai. Dan ternyata benar saja, kali ini mereka bersungguh-sungguh membalaskan dendamnya padaku. Mereka mencabik-cabik seluruh badanku dan aku sama sekali tidak bisa berkilah apa pun. Dengan kerasnya mereka menyeretku ke tempat di mana mereka semua aku siksa dan kubur hidup-hidup, dan ternyata yang membuatku terkejut adalah salah satu diantara dua puluh orang yang telah kubunuh dan kukubur ada satu orang yang masih hidup selama itu. Dia memukulku dengan bola dari besi yang dipenuhi kerikil panas. Sepertinya itu alat tajam yang sengaja dibawa dari neraka khusus untuk memusnahkanku. Aku dimakan habis oleh para mayat itu dan orang yang telah membunuhku, lalu mereka pergi tanpa beban dan merapikan kembali gorden yang telah rusak tersebut.
***
“Mari, Sayang, masuk! Nah, seperti itulah kisah perjuangan Ibu di rumah ini. Ibu sengaja pura-pura mati saat dia menusuk Ibu dari belakang dengan pisau andalannya itu. Kamu jangan pernah membuka gorden itu di kamar ini. Jika kamu tidak ingin melihat dia bangun kembali.”(*)
Ulfah Mawalatul Khoiriyah, akrab disapa Khoi, kelahiran 01 juli 2000. Penyuka hujan, senja, kopi manis dingin, dan kucing. Penulis buku solo antologi puisi “Kata yang Tidak Pernah Aku Istirahatkan”. Dapat dihubungi melalui aku social media diantaranya facebook Ulfah Mawalatul Khoi, IG Ulfah_Khoi, dan email: Ulfahmawalatulkhoiriyah@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita