Kala
Oleh: Sunita Kasih
Gedung-gedung dan berbagai lampu itu mengajaranku, tentang langkahmu, tentang rindu, tentang sesuatu yang tertahan menjadi lara dan sendu.
Tanpa sadar aku kembali lagi ke tempat ini, setelah melewati beberapa jembatan penyeberangan dan berbagai kerlip lampu jalanan juga beberapa klakson kendaraan. Langit sedang tak mendung meski dalam gelapnya tak pernah tampak awan kelabu jenis apa yang menanti, tapi mari kita berfokus pada rembulan saja. Pada cahayanya, pada denting jam yang tak pernah kalah dari gemerlap kota ini, juga pada beberapa khayal dan mimpi yang melintas sebagai kenangan.
“Mari kita saling melupakan.”
“Apa yang mau kau lupakan?” aku bertanya pada diri sendiri.
Maksudku, bila hari esok adalah sebuah harap bukankah itu karena kita telah melewati hari kemarin juga hari ini?
“Itu perintah atau sekadar harap?” kutanya lagi.
“Perintah. Sebab di sebagian sisi lain, harapanmu terhampar luas. Kau bisa?” suara itu perlahan menggema di telingaku.
Beberapa genggam memang menjanjikan kenyamanan namun tidak dengan keamanan, begitupun dengan beberapa penantian. Tapi bukankah ini lebih buruk? Tidak ada pilihan bagi beberapa penantian selain menaruh sekian doa pada kepakan sayap merpati.
“Pasal mimpi dan keadaan mungkin sulit bergandengan, namun kau punya harap dan doa bukan?” suara itu perlahan singgah di teligaku.
Tak lama seseorang duduk di sampingku, mata itu persis rembulan yang menemani malam hari ini, penuh dan bercahaya. Aku teringat beberapa hal tentang malam dan perjalanan, tentang beberapa rindu menemui rumah, juga beberapa tatap paling ramah. Kukatakan, kadang semua akan lebih terasa tenang ketika malam hari.
Serupa jalanan yang tepat berada di depanku, siang menjadikannya penuh dengan peluh dan keringat. Beberapa trotoar pejalan kaki yang dipenuhi parkiran kendaraan dengan terik juga ribuan sesak memadati, menjadikan udara dan gendung-gedung yang setengah jadi itu sebagai saksi bahwa dalam berbagai keriuhan ini harapan menjelma seluas samudera.
Siang menjadikan setiap langkah ini terlalu berat bagi mereka yang hanya memilih berharap setengah-setengah. Siapa yang tahu di balik wajah penjaja permen dan camilan di pinggir jalan itu terdapat harap yang lebih besar daripada penikmat kesengsaraan orang lain di balik telepon genggamnya? Siapa yang mengerti di balik senyum para supir angkot juga pekerja bangunan paruh waktu itu telah menjelma harap dan cita-cita yang lebih besar dari gedung paling tinggi di kota ini, dengan orang-orang yang duduk menikmati udara yang telah dicampuri dengan alat pendingin di dalamnya.
Sejauh ini belum ada yang mengerti persis bagaimana kemelut siang selalu berhasil menjajakan harap lewat berbagai kesulitan. Keterpaksaan menjelma dari wajah ke wajah, berbagai klakson kendaraan sudah membaur bersamaan dengan amarah juga rasa lelah, beberapa langkah menjadi tak sesabar pagi untuk berhadapan langsung dengan sisi keramaian yang siang hari berikan. Sudikah? Sebagian menerima dengan lapang dada. Senyum tak pernah lepas, beberapa waktu menjadikan siang penuh dengan tawa, dengan harapan dan impian yang melambung sebelum dihajar kenyataan, menjadikan es teh atau beberapa minuman warna-warni yang dibungkus plastik sebagai sesuatu yang lebih manis dari kenyataan.
Siang menyediakan berbagai keramaian untuk raga pemilik ruang hati yang selalu kosong. Aku menyadari sesuatu. Suara mesin kendaraan, langkah kaki dan larian kecil, suara peluit tukang parkir, klakson kendaraan juga suara alat pembangunan gedung itu telah menjelma menjadi nyanyian di telingaku. Nyanyian tentang perih dan pahit yang sebenarnya tak pernah bisa disembunyikan oleh siang.
Dan di sini malam, suatu waktu yang lebih kosong dari senja, lebih jujur tentang setiap kelelahan yang dihadiahi siang hari. Aku pernah disanggah tentang senja yang terlalu menyedihkan buatku, katanya senja adalah hadiah dari semesta di mana keindahan yang ditawarkan selalu apa adanya, mengajarkan pada kita bahwa beberapa mimpi memang terpaksa diberi jeda namun tak layak dihentikan. Menjelaskan tentang harapan dan peristirahatan sejenak yang tergambar lewat ribuan rona jingga pada lazuardi, mengkisahkan tentang kepulangan lewat kepakan sayap burung yang menuju pulang, juga menjelaskan beberapa hal akan tak sengaja tersembunyi setelah beberapa terik yang menyerang, serupa tiang listrik yang begitu kokoh itu, menyembunyikan berbagai lemah namun tak mampu menyembunyikan beberapa karat.
“Semua akan indah.” Seseorang di sebelahku terlihat sibuk dengan telepon genggamnya.
Entah bagaimana langkahku sampai pada tempat ini juga pada kisah yang ingin kusembunyikan. Aku mengingat beberapa hal selepas berbagai kepergian. Jalanan ini, lampu jalanan, langit, bulan, gedung-gedung, lampu kendaraan tentu akan lebih indah jika kulalui tidak dengan kesendirian, maksudku—denganmu. Dengan beberapa pengaduan yang nanti akan kau balas dengan hanya tertawa kecil dan mengelus kepalaku. Mungkin malam akan lebih indah ketika di layar teleponku tertera namamu di sela deringnya, membuat aku dan kamu menjadi dua orang yang saling bercerita tentang terik seperti apa yang telah kita lalui. Di jalanan ini, dengan berbagai khayal udara lebih terasa menyesakkan. Malam benar-benar menawarkan beberapa sepi dan kekosongan secara bersamaan.
“Semoga tak lama,” bisikku.
“Kala, kau akan membaik. Lebih baik dari fajar. Lebih baik dari malam.”
“Tentu saja,” aku tersenyum.
Beberapa kata memang tak sampai pada satu masa yang kita harapkan, beberapa siang mungkin belum mampu menjelaskan tentang berapa banyak harap di tengah terik, juga sebagian senja mungkin belum mampu menjadikan jangka yang lama untuk menampilkan keindahan. Tapi dengan apa adanya kukatakan, malam menyediakan ruang kosong untuk hati dan pikiranmu, silahkan menjadi dirimu, menangislah jika kau harus menangis, menulislah, bernyanyilah, berdiam diri sajalah, atau bangunlah di tengah malam. Melihat beberapa kendaraan lewat melalui jendelamu dan memulailah kemesraan dengan Tuhan, mengadukan beberapa peluh yang tak akan kuat kau hadapi jika tak yakin dengan keindahan yang akan menjadi akhir. Lalu, hadapilah nanti, ketika fajar menjelma dan beberapa hal siap menjadi kenyataan.
“Ibu penjual gorengan di belakang kita telah menyeduh beberapa teh sebelum akhirnya aku sendiri yang mendengar kau terseduh-seduh,” seseorang berkata kepadaku.
Aku belum memedulikannya, dia tampak terus memperhatikanku, menawarkan beberapa lembar tisu bagi bendungan yang pecah dan membanjiri di atas pipi.
“Sebagian orang menganggap kesedihan adalah hal yang menjijikkan,” ucapnya.
Aku sedikit kaget. Aku lupa telah berapa lama aku bergelut dengan sesenggukan ini.
“Bagi dia yang terlalu membuat-buat kesedihan mungkin,” ucapku dengan sesenggukan.
“Ada kesedihan yang dibuat-buat? Semua sedih datang tanpa permisi, menjelma air mata atau beberapa kata. Seseorang tak berhak mencela kesedihan sebab siapa yang tahu kedalaman rasa sakit yang diderita?” ucapnya.
“Menangis saja, di sebagian sisi, malam hanya mampu memerhatikan tangismu. Sebelum kembali meminta, kehampaan menyerangmu,” lanjutnya.
“Setidaknya awan yang menutupi rembulan itu akan berlalu, membuat langit kembali merasakan sinar rembulan juga pelukan bintang-bintang,” bisiknya pelan.
Aku masih sibuk dengan air mata. Dia beranjak, kudengar langkahnya menjauh.
“Kau akan membaik, Kala.” Itu yang kudengar sebelum langkahnya tak terdengar lagi.
Sebagian harap memang bukan tentang menemui beberapa kepulangan dengan sempurna. Lebih jauh, semua hal dan semua waktu menawarkan jutaan kisah yang diawali dengan sebuah harap. Senyum anak sekolah dasar yang memakai seragam, tetes keringat pekerja bangunan yang sedang dimarahi mandornya, perasan kain basah yang digunakan untuk mengepel lantai yang selalu diinjak di satu pusat perbelanjaan, juga larian kecil dari anak-anak yang mengejar layangan, pun langkah berat seseorang yang membawa map dan ijazah kemana-mana.
Harapan berebut mengambil tempat, kala fajar menjelma siang atau senja menjelma kelam. Semua harapan akan terwujud sebagaimana ketiadaan akan menjadi kenyataan—menurutku.
“Neng, ini tehnya.” Aku mengambil teh yang Ibu penjual gorengan itu berikan.
“Tapi saya tidak pesan ini, Bu,” ucapku sembari mengelap pipi.
“Masnya tadi yang pesen,” ucap Ibu itu dengan tersenyum kemudian kembali lagi ke tempat dia menjajakan makanannya.
Aku tersenyum, teh itu hanya sebagian kecil dari paparan harga yang ditampilkan kota ini. Namun rasanya, waktu pemberian ini terlalu berharga. Di kemerlap lampu kendaraan dalam kehampaan yang begitu berada.
“Tehnya sudah datang, dan malah kau yang pergi. Harus kusebut apa lagi ini? Sekadar waktu yang tak tepat atau cerita yang belum usai?” aku berbisik pada diriku sendiri.
Mata itu masih sembab, belum sembuh dari beberapa luka yang lalu dan telah didatangi luka yang baru.
“Terima kasih tehnya, juga harapan dan sedikit goresan baru ini.”
Malam masih menjadi malam, besok mungkin fajar datang setelah beberapa sesenggukan yang bersekongkol dengan kekosongan dan kehampaan. Aku kurang tahu.(*)
Menetap di kota Lubuklinggau, penyuka bulan April dengan secangkir teh melati juga seporsi pengalaman renyah yang dituliskan dengan hangat. Fb : sunita kasih ig: sunitakasih
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita