Pelangi di Mata Jingga

Pelangi di Mata Jingga

Pelangi di Mata Jingga

Oleh: Triandira 

Bruukk…!

Buku-buku yang Jingga bawa berceceran di lantai. Kaki kirinya tanpa sengaja terbentur meja hingga ia terjatuh. Karena panik saat mendengar ada yang mengetuk pintu, Jingga jadi kurang berhati-hati saat berjalan. Apalagi sebagai seorang tuna netra, sangat sulit baginya melakukan banyak hal.

“Ada apa, Nak?” Ibu menghampiri Jingga yang masih tersungkur di atas lantai. “Ya ampun, Jingga! Kamu tidak apa-apa?” suara panik Ibu terdengar keras. Gadis itu menggelengkan kepala saat Ibu membantunya untuk berdiri, lalu merapikan semua buku yang tercecer.

Tok! Tok! Tok! suara ketukan pintu itu terdengar lagi.

“Iya, sebentar,” ucap Ibu. Setelah menyuruh Jingga untuk kembali ke kamar, Ibu pun segera membukakan pintu. Tamu yang datang ternyata Pelangi, anak majikan tempat Ibu bekerja. Tanpa berlama-lama, Ibu mempersilakannya masuk ke dalam rumah. Keduanya pun saling berbincang di ruang tamu.

“Apa kabar, Bu?” tanya Pelangi.

“Alhamdulillah, kabar Ibu baik. Bagaimana denganmu?”

“Pelangi juga baik-baik saja, Bu. O iya, ini buat Jingga.” Diberikannya sebungkus kado pada Ibu.

“Terima kasih. Maaf sudah merepotkan Nak Pelangi,” ujar Ibu.

“Tidak sama sekali. Aku senang melakukannya,” balas gadis itu sambil tersenyum. “Ngomong-ngomong di mana Jingga, Bu? Aku ingin bertemu dengannya.”

Ibu menghela napas. Beliau tidak tahu harus berkata apa. Semenjak tidak bisa melihat, Jingga tidak mau bertemu dengan orang lain. Itu karena ia sering diejek oleh teman sebayanya. Tapi, Ibu juga tidak tega menolak keinginan Pelangi. Ia anak yang sangat baik.

“Ayo, Ibu antar ke kamar Jingga,” akhirnya Ibu mengajak Pelangi menemui Jingga, putri bungsunya. Perlahan, Pelangi menghampiri Jingga setelah Ibu pergi dan mempersilakannya masuk ke dalam kamar. Dilihatnya gadis berusia 12 tahun itu sedang tersenyum sambil meraba-raba buku cerita. Benda pemberian Pelangi yang selalu Ibu bacakan saat Jingga hendak tidur. Tentu saja Jingga tidak tahu tentang hal itu dan mengira bahwa Ibulah yang membeli buku tersebut.

“Hai, Jingga. Apa kabar?” sapa Pelangi.

“Ka—kamu siapa? Kenapa masuk ke kamarku?”

Jingga kembali panik. Ia meletakkan buku tersebut di atas ranjang, dan bergegas meraih tongkat yang terletak di samping tubuhnya.

“Ini aku, Pelangi. Aku yakin ibumu pasti pernah bercerita tentangku, bukan? O ya, aku sengaja datang untuk bertemu denganmu.”

“Ya, aku tahu. Tapi aku tidak mau bertemu siapa pun,” sela Jingga sambil beranjak dari tempat duduknya.

“Kenapa? Aku kan, hanya ingin—”

“Mengejekku? Pergi! Aku tidak suka kamu di sini. Ibuuu…!” teriaknya keras membuat Pelangi merasa sedih. Apalagi Jingga sudah mengusirnya tadi.

Pelangi tahu dengan keadaan Jingga selama ini. Ia juga mengerti bahwa Jingga tidak pernah ingin bertemu dengan siapa pun. Tapi tetap saja Pelangi ingin menemuinya. Gadis itu ingin agar Jingga bisa berteman dengannya dan tidak lagi merasa takut. Lagi pula ia memiliki niat yang tulus, bukan untuk mencela kekurangan fisik yang Jingga miliki.

Aku tidak boleh menyerah, atau percuma saja aku datang kemari. Pelangi menghela napas dalam-dalam. Ia hendak mencoba sekali lagi, membujuk Jingga supaya mau bermain bersama. Tapi sayang, gadis bertongkat di hadapannya malah kembali berteriak.

“Ibuuu…!”

Mendengar teriakan Jingga, Ibu bergegas menghampiri keduanya. “Kenapa berteriak, Jingga? Kasihan Nak Pelangi kamu marahi seperti itu,” ujar Ibu.

Jingga diam. Ia tidak ingin berdebat dengan Ibu. Sedangkan perempuan berkerudung itu hanya bisa menggelengkan kepala sambil menghela napas panjang. Tak ingin Jingga berkata kasar lagi, Ibu pun mengajak Pelangi keluar kamar.

“Maaf ya, Nak. Jingga sudah bersikap kasar. Tidak seharusnya dia seperti itu. Ibu benar-benar minta maaf,” ujar Ibu panjang lebar. “Sebaiknya Nak Pelangi sekarang pulang. Lagi pula kasihan Pak Sopir sudah menunggu lama. Iya, kan?”

Pelangi menggangguk. Ia rasa Ibu benar. Sebaiknya ia segera pulang ke rumah.

***

Sesampainya di rumah, Pelangi menceritakan semua yang terjadi kepada Ayah. “Seharusnya Jingga tidak boleh berkata seperti itu kan, Yah?” tanya Pelangi. Ayah menggangguk, lalu tersenyum kecil.

“Kamu masih sedih?” tanya Ayah. Kini giliran Pelangi yang mengangguk. “Nah, bagaimana dengan Jingga?”

Gadis berambut panjang itu diam. Ia masih tidak mengerti dengan maksud ucapan Ayah.

“Sama seperti kamu, Jingga pasti sedih saat diejek oleh teman-temannya. Sayang, kamu beruntung bisa melihat banyak hal. Sedangkan Jingga?” Tampak wajah Pelangi yang memikirkan ucapan Ayah. Sampai akhirnya….

“Yah, nanti malam antar aku ke rumah Jingga, ya,” pinta Pelangi. Ayah tersenyum sambil mengacungkan jempolnya. Sekarang Pelangi semakin mengerti. Ia sudah memaafkan Jingga dan tidak merasa sedih lagi.

***

Sementara itu di lain tempat, Jingga masih sebal dengan kejadian tadi pagi. Sampai akhirnya Ibu mendekat kemudian menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi selama ini. Tentang buku-buku cerita itu dan tentang gadis bernama Pelangi.

“Jadi buku-buku itu… Pelangi yang memberinya, Bu?” tanya Jingga.

“Iya, Sayang. Dan maksud kedatangannya kemari bukan untuk mengejekmu. Ia hanya ingin berteman denganmu,” ujar Ibu. Jingga kaget mendengarnya. Ia teringat lagi dengan sikapnya yang kasar pada Pelangi.

“Bagaimana ini?” ucap Jingga dalam hati menyesali perbuatannya.

“Kemarin kamu sudah bersikap kasar, jadi Ibu harap kamu mau meminta maaf pada Nak Pelangi.”

“Iya, Bu. Kalau begitu besok aku ikut Ibu ke rumah Pelangi, ya,” pintanya dengan penuh semangat. Ia sudah tidak sabar untuk meminta maaf dan berterima kasih pada Pelangi. Ibu pun mengiyakan ajakan sang putri dan Jingga sungguh merasa senang. Ia sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak berprasangka buruk lagi kepada orang lain. Ia ingin seperti Pelangi. Gadis periang yang baik hati.

“Ya, sudah. Ayo, kita kembali ke kamar.”

Jingga menuruti perkataan Ibu. Namun, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Hm, sepertinya mereka berdua akan mendapatkan kejutan lagi malam ini. Tamu istimewa yang ingin mereka temui keesokan hari.(*)

Tentang Penulis:

Triandira, penyuka fiksi yang belum bisa move on dari mi ayam dan durian. Jika ingin menghubunginya bisa melalui akun FB dengan nama Triandira

Email: triwahyuu01@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita