Aaron Smith 8
Oleh: Triandira
Surat Untuk Emma
“Kau sudah datang,” sapa Hadley usai membukakan pintu untukku. Beberapa jam yang lalu kami berjanji untuk bertemu. Ia menghubungiku dan menanyakan alasan mengapa aku ingin menemuinya. Sebelum datang kemari, ia sempat memintaku untuk menunggu saja di rumah. Tapi aku menolak. Aku tidak ingin jika Aaron sampai mendengarkan pembicaraan kami. “Masuklah.”
“Terima kasih.”
“O ya, kenapa kau tidak mengajak Aaron. Apa dia…?” Hadley berhenti bertanya ketika aku menatap serius wajahnya.
“Aku tidak menyangka kau tega melakukannya.”
Lelaki itu mengerutkan dahi dan langsung berpindah tempat duduk, di sampingku. Sepertinya ia terkejut dengan ucapanku barusan. Atau mungkin ia sudah bisa menangkap maksud kedatanganku kali ini. Entahlah, tapi yang jelas aku ingin segera menyelesaikan masalah di antara kami dan meminta penjelasan darinya. Perihal surat yang kudapatkan kemarin.
“Tunggu. Aku tidak mengerti dengan apa yang kau bicarakan. Ada apa, Em? Apa ada masalah?”
“Masalah?” Aku tertawa kecil. “Ya, tentu saja. Tapi aku tidak tau apa kau juga menganggap ini sebagai masalah.”
Hadley meraih surat yang kulemparkan di atas meja, lalu membacanya dengan raut muka menegang. Beberapa kali ia juga menghela napas sebelum akhirnya kembali menatapku. Seorang ibu yang sedang dirundung kesedihan sebab apa yang ia khawatirkan selama ini telah terjadi.
Alfred yang licik. Setelah semua kesulitan yang aku jalani bersama George, ia dengan mudahnya bertindak sesuka hati tanpa memikirkan perasaan kami. Terutama aku, menantu yang tak pernah ia anggap sebagai anggota keluarga. Bahkan beberapa bulan setelah pernikahanku dengan putranya, ia begitu tega membuatku tertekan atas keadaan ekonomi yang semakin menghimpit. Aku ditolak bekerja di berbagai tempat, itu semua karena ulah Alfred. Ia sengaja melakukannya agar aku menjauh dari George. Ya, ia pikir aku akan menyerah begitu saja dengan keadaan kami saat itu. Tapi tidak. Hal tersebut justru semakin mempererat hubungan yang ada. George mendukung penuh keputusanku untuk membuka usaha sendiri. Menyewa salah satu toko dan menjual barang-barang elektronik di sana. Syukurlah aku dan George masih memiliki tabungan yang cukup.
Usaha yang kami rintis memang sempat mengalami pasang surut, tapi perlahan nasib baik mulai berpihak. Hasil yang kami dapatkan pun lumayan. Setidaknya bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan setiap bulannya aku masih bisa menyisihkan sejumlah uang untuk bekal pendidikan Aaron kelak. Namun ternyata, Alfred sudah merencanakan hal yang sama dan tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya.
“Kau sengaja, bukan?” cecarku pada Hadley, “mengajak Aaron bertemu dengan Alfred untuk menjalankan rencana buruknya.”
“Tidak, Em. Untuk apa aku melakukan hal itu?”
Aku tersenyum kecut. “Berhentilah berpura-pura, Hadley. Bagaimana bisa kau sekejam ini, bahkan Aaron sudah sangat menyayangimu.”
“Jadi kau pikir…,” kilah lelaki itu. “Aku membawa putramu pada kakeknya semata-mata hanya untuk mempertemukan keduanya. Itu saja.”
“O begitu. Lalu sekolah—”
“Ya, itu benar. Tapi bukankah aku sudah membicarakannya padamu tempo hari? Percayalah, Em, aku tidak tau sama sekali mengenai gugatan ini.”
Mendengar penjelasan Hadley, aku hanya mampu menggelengkan kepala. Meski ingin, tapi sulit bagiku memercayai perkataannya. Benarkah yang ia ucapkan itu?
“Aku mendukung keinginan Tn. Alfred untuk memasukkan Aaron di sekolah yang ia pilihkan karena kupikir itu adalah keputusan terbaik,” Hadley kembali bersuara. Memandangku lekat-lekat yang kini tak mampu lagi menyembunyikan air mata. Menunduk dengan tangan yang gemetaran.
“Tapi kalian sudah bersekongkol untuk menjauhkan Aaron dariku,” ucapku lemah dengan isak yang tertahan. “Kau benar-benar keterlaluan, Hadley. Kau keterlaluan.”
“Kumohon, Em. Jangan seperti ini.”
Belum tuntas ia menjelaskan semuanya, aku kembali berkomentar. “Lalu kau ingin aku bagaimana? Menyetujui rencana gila ini. Begitu maksudmu?”
Hadley meraih kedua tanganku. “Bisakah sekali saja kau tidak curiga terhadapku? Sepertimu, aku juga sangat menyayangi Aaron. Jadi mana mungkin aku tega memisahkan kalian berdua. Tidak, Em. Aku tidak akan pernah melakukannya.”
“Entahlah, a—aku….” Hadley ikut berdiri tak lama setelah aku mengambil kembali surat yang ia letakkan tadi. “Aku harus pulang sekarang.”
Lelaki itu membiarkanku pergi. Beberapa saat kemudian, aku sudah keluar dari rumahnya dengan langkah tergesa-gesa. Menyibak jalanan yang tak begitu ramai oleh kendaraan.
***
Aaron berdiam diri di kamar. Matanya fokus menatap layar laptop yang sedang memutar sebuah film kartun kesukaannya. Aku yang sedari tadi mondar-mandir di depannya karena sedang memasukkan baju ke lemari, tak ia hiraukan sama sekali. Bocah itu jadi lebih pendiam sekarang. Ketika kuajak bicara pun ia hanya menyahut sesekali saja.
Aku harap keadaan ini tak berlangsung lama, dan suasana rumah bisa kembali menyenangkan seperti dulu. Penuh keceriaan oleh canda tawa kami berdua.
“Kau mau Ibu buatkan susu?” tawarku agar Aaron berhenti menonton sejenak. Tapi percuma, ia tak tertarik dan malah beringsut turun dari kasur. Kemudian mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas ransel miliknya.
Saat ini sedang terjadi kesalahpahaman di antara kami, jadi aku berusaha menahan diri untuk tak berdebat dengannya supaya ia tak semakin menjauhiku. Itu benar, meski tinggal seatap dengannya tapi kini aku merasa jauh dari Aaron.
Aku rindu semua sikap manjanya. Mulai dari minta ditemani makan, bermain bersama, mendengarkanku membaca dongeng untuknya, hingga merengek agar dibuatkan makanan atau minuman ketika ia merasa haus dan lapar.
Aaron… andai saja ia tahu apa yang sebenarnya terjadi, mungkin ia takkan mengabaikanku seperti ini. Dan andai saja aku tak mengizinkan ia pergi bersama Hadley, bocah itu pun akan terhindar dari hasutan Alfred. Aaron memang tidak bercerita apa-apa kepadaku, tapi aku yakin ia telah diperdaya oleh lelaki tua tersebut. Apalagi setelah melihat perilakunya yang berubah drastis.
“Sayang, bukankah kita sudah lama tidak jalan-jalan. Bagaimana kalau—”
“Aku mau belajar di sekolah yang Kakek pilihkan, Bu,” sela Aaron, masih menuliskan jawaban dari soal-soal di buku yang ia pegang. Buku matematika yang diperuntukkan bagi siswa sekolah dasar yang hendak menghadapi ujian kelulusan. Bukan untuk anak seusianya yang secara umum baru mengerti cara berhitung.
“Tidak, Aaron. Ibu sudah memilihkan sekolah lain untukmu nanti.”
“Aku tidak mau.”
“Kenapa?”
“Sekolah yang Paman Hadley tunjukkan itu bagus. Aku suka. Halamannya luas, ada lapangan sepak bolanya juga di sana.”
Rupanya Alfred berhasil memengaruhi Aaron. Ia sama sekali tak menyetujui pendapatku untuk mengenyam pendidikan di sekolah biasa. Sekolah yang tak terlalu besar dengan fasilitas seadanya. Kupikir itu tidak masalah, asal ia giat belajar dan memiliki teman di sana. Tapi ternyata Aaron menginginkan hal yang lebih. Dan sayangnya, aku tak bisa memaksakan kehendak. Tidak untuk saat ini.
“Baiklah, kita bicarakan ini lagi nanti.”
“Mungkin itu Paman Hadley.” Aaron bergegas pergi, lalu mengangkat telepon yang berdering. Dugaannya benar, Hadley menelepon untuk berbicara denganku. Usai menyapa lelaki itu, Aaron membiarkan kami berdua berbincang. Ia kembali ke kamar dan melanjutkan kegiatannya yang tadi.
Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, aku langsung menanyai Hadley tentang apa yang kudengar dari Aaron.
“Apa?” pekikku seolah tak percaya dengan perkataannya. “Kalian sudah bertindak sejauh itu tanpa memikirkan aku, ibunya. Baiklah, sekarang semuanya sudah jelas. Kau hanya berpura-pura menyayangi Aaron dan… kau mengecewakanku, Hadley.”
Aku langsung mematikan telepon sebelum lelaki itu sempat menjelaskan apa-apa. Bagiku, tak ada gunanya lagi berbicara dengannya. Karena yang ada, hatiku akan semakin sakit dan terluka.
Tn. Alfred sudah mendaftarkan Aaron di sekolah itu. Maaf aku baru mengatakannya sekarang.
Seperti tersambar petir di siang bolong, aku terduduk lemas ketika mengingat kembali ucapan Hadley. Bukan hanya keterlaluan, tapi Alfred sudah merampas hakku sebagai seorang ibu. Seharusnya, ia meminta izin padaku terlebih dahulu sebelum mendaftarkan Aaron. Apalagi ini menyangkut masa depan bocah itu.
“Jadi ini yang kau inginkan dariku?” geramku dalam hati. “Jangan harap kau akan mendapatkannya dengan mudah.”
Jantungku masih berdegup kencang. Sambil menghela napas dalam-dalam, segera kukirimkan pesan singkat pada seseorang. Saat ini hanya Janeth yang bisa kupercaya, dan aku akan meminta bantuan padanya untuk memperjuangkan Aaron. Karena tak ada yang boleh merebutnya dariku, termasuk Alfred.
***
“Kumohon, Em. Dengarkan aku dulu,” teriak Hadley sambil menggedor-gedor pintu. “Aku datang kemari untuk menjelaskan semuanya.”
“Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, Hadley. Jadi sebaiknya kau pergi dari sini,” sahutku dengan suara yang tak kalah kencang darinya. Tak ayal, perilaku kami mengundang perhatian tetangga yang lewat di depan rumah. Membuatku risih. Sial.
Hadley pun kelihatannya merasakan hal yang sama. Ia berhenti berteriak setelah menyadari hal tersebut.
Drrrttt… drrrttt….
Ponselku bergetar beberapa kali. Aku memang sengaja mematikan nada dering karena belakangan ini ia sering menghubungiku. Bahkan saking sebalnya, terkadang aku langsung menekan tombol off begitu saja. Tapi Hadley tak menyerah sedikit pun. Ia tetap mencari cara agar bisa berbicara denganku.
Cepat pergi dari sini, atau aku akan meminta tolong pada tetangga untuk mengusirmu.
Aku mengancam Hadley melalui pesan singkat yang kukirimkan padanya. Beberapa saat kemudian ia membalas dengan hal yang sama. Mengancamku balik.
Jika kau tidak membukakan pintu untukku, maka aku akan menjemput Aaron sekarang juga. Aku tau di mana dia sekarang.
Lelaki berjas hitam itu tersenyum lega setelah usahanya berhasil. “Terima kasih.”
Ia langsung masuk ke dalam rumah sebelum aku mempersilakannya, lalu duduk di kursi dekat televisi. Setiap kali bertamu, Hadley selalu memilih tempat itu. Mungkin letaknya yang juga dekat dengan jendela membuat ia betah duduk di sana. Sama sepertiku ketika sedang membaca sesuatu. Entah majalah atau buku.
“Aku tidak punya banyak waktu, jadi cepat katakan.”
“Bisa kau ambilkan aku segelas air?” potongnya tanpa berhenti menatapku.
“Apa?”
“Aku haus, Em. Kau membiarkanku berteriak cukup lama tadi.”
“Siapa suruh berteriak seperti itu,” balasku dengan raut muka cemberut yang justru membuat Hadley terkekeh. “Ini.”
Ia meneguk habis minuman yang kuberikan padanya, lalu kami terlibat obrolan tentang keberadaan Aaron di rumah Alfred beberapa hari yang lalu. Ia nampak serius, dan sialnya tak ada raut kebohongan di wajahnya.
Bersambung….
Tentang Penulis:
Triandira, penyuka fiksi yang belum bisa move on dari mi ayam dan durian. Jika ingin menghubunginya bisa melalui akun FB dengan nama Triandira ( http://www.m.facebook.com/tri.w.utami.33/ ) Email: triwahyuu01@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita