Semua karena Waktu

Semua karena Waktu

Semua karena Waktu

Oleh: Yuliawanti Dewi

“Vira, inikah kau?”

“Ya, ini aku.”

“Subhanallah, kau cantik sekali, Vira.”

Aku menunduk malu. Baru pertama kalinya aku mendapatkan sebuah pujian dari seorang lelaki yang ternyata adalah Mas Ihsan, kakak kelasku waktu SMA.

“Kau terlalu berlebihan, Mas.”

“Aku serius, Ra. Kau cantik sekali dengan gamis yang menutupi auratmu.”

Aku tersenyum kepadanya, namun tak berani memandang langsung bola matanya.

“Vira …,“ panggil Mas Ihsan lembut

“Mas, jika kamu ingin berbicara banyak denganku, lebih baik kita duduk di taman kota itu. Tidak enak dilihat orang bila kita terus-terusan bicara di sisi trotoar sambil berdiri,” tawarku sambil menunjuk taman kota yang tak jauh dari tempat kami berada.

“Ah, kau benar. Mari ….“ Mas Ihsan mempersilahkanku untuk berjalan terlebih dahulu, kemudian ia menyusul satu meter di belakangku. Setahuku, Mas Ihsan merupakan orang yang taat beribadah. Ia senantiasa menjaga jarak dengan wanita yang bukan muhrimnya. Jadi, aku tak menaruh curiga sedikit pun terhadapnya.

“Apa yang hendak Mas bicarakan?” tanyaku mengawali percakapan.

Mas Ihsan tak langsung menyahut. Ia memilih duduk sebentar di samping tempatku duduk dengan jarak sekitar setengah meter.

“Ada banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan padamu.”

Aku memiringkan kepalaku memandang Mas Ihsan yang fokus terhadap objek di depannya. Ia tengah memandangi sekumpulan bocah yang asyik bermain bola dengan kaki telanjang.

“Apa itu, Mas?” tanyaku penasaran.

“Pertanyaan pertamaku, bagaimana kabarmu, Vira?”

Pfftt … Aku tak mampu menahan tawa, ”Hahaha, Mas ini lucu ya, tentu saja keadaanku baik, kau sudah melihatnya, kan?”

“Aku tahu. Tapi, kupikir tidak dengan nuranimu.”

“Maksud, Mas?”

“Fisikmu memang terlihat baik, tapi nuranimu sangat tertekan. Itu yang kulihat dari sorot matamu.”

“Aku baik-baik saja, Mas,” sahutku tenang.

“Jangan pernah menyembunyikan lukamu dariku!”

Aku tersentak. Mas Ihsan, sejak kapan ia peduli padaku.

“Aku ….“

“Vira ….“ Mas Ihsan menatapku tajam. Aku tak sanggup melihatnya. Kurendahkan pandanganku berusaha menghindari tatapan elangnya.

“Jangan menatapku seperti itu,” pintaku dengan suara bergetar

“Astaghfirullah, maafkan aku, Ra ….“

Mas Ihsan kembali ke posisi semula. Kemudian menatap lekat langit senja yang dilalui sekelompok burung camar.

“Vira, sejujurnya aku selalu memperhatikanmu. Aku tahu ini aneh, tapi inilah faktanya. Aku terpesona kepadamu. Seorang adik kelas yang berhasil menarikku ke dalam lingkaran cinta penuh kegelisahan. Waktu itu, aku ingin mengungkapkannya. Namun jarak tak pernah mengizinkan aku untuk bicara. Sampai lima tahun ini, aku masih menyimpan rapi perasaanku padamu. Dan aku tak menyangka mampu bertemu denganmu disini. Aku senang.”

Mulutku tak mampu berkata tatkala mendengar ungkapannya tersebut. Ternyata benar apa yang dulu temanku katakan, bahwa ada seorang lelaki alim yang menyukaiku. Dan lelaki itu adalah Mas Ihsan. Tapi, kenapa ia menyukaiku. Bukankah aku yang dulu sungguh nista? Rambut berwarna, rok diatas lutut, seragam ketat, bahkan aku termasuk dalam daftar siswa paling banyak bolos. Coba apa istimewanya diriku dahulu? Nothing!

“Jangan bercanda, Mas. Kau terlalu sempurna untuk wanita kotor sepertiku.”

“Tidak ada manusia yang sempurna, Ra. Semua sama dimata Allah. Kau juga bukan wanita kotor, kau wanita sholehah,”

“Tapi, aku tak bisa!” isakku pelan. Aku tak sanggup lagi. Hati ini terlalu kecil untuk menampung problema hidupku.

“Kau bisa, Vira. Buktinya, kau mampu memperbaiki masa lalumu dengan kain lebar yang menutupi rambut dan badanmu.”

“Semua karena waktu, Mas. Aku bisa seperti ini karena proses yang disediakan waktu untukku. Juga, karena Allah masih menyayangiku. Sehingga ia kembali menuntunku ke jalan-Nya yang benar,” jelasku berusaha mempertahankan pendirianku.

Kulihat Mas Ihsan tengah berpikir, lalu kembali kudengar suaranya.

“Apa kau mencintai Tuhanmu?”

“Kenapa Mas bertanya seperti itu?”

“Jawab saja, Vira. Apa kau mencintai Allah?”

“Semua ummat muslim pasti mengiyakan jawabanmu, begitu pula aku. Aku sangat mencintai Rabb-ku, ialah yang membuatku mampu bertahan dengan segala rintangan yang ada dalam hidupku.”

“Jika begitu, kau takkan menentang jika Allah menakdirkan kita untuk bersama.”

“Tapi, itu lain lagi, Mas. Aku tak bisa.”

“Kenapa, Vira? Apa alasanmu untuk menutupi hatimu dariku?”

Aku memalingkan wajahku. Tetesan air mata membasahi pipiku. Tanganku tiba-tiba bergetar. Begitu pula nuraniku. Mungkin inilah saatnya aku harus jujur. Tak ada gunanya aku terus memendamnya. Bukankah pepatah mengatakan, ”Serapi-rapinya bangkai tikus disembunyikan, maka akan ketahuan karena aromanya yang menusuk hidung”.

“Aku … telah melalaikan norma agama,” aku menjeda perkataanku, menunggu reaksi dari Mas Ihsan. Namun, ia tetap bungkam. “Pergaulan yang membuatku seperti itu, sehingga aku tak sadar telah melakukannya. Aku benar-benar salah, Mas. Aku khilaf! Aku sungguh berdosa kepada Tuhan dan kedua orang tuaku. Aku menyesal, Mas!!!”

Air mata menelan kosa kataku selanjutnya. Aku hanya mampu terisak menyesali perbuatanku dahulu. Seandainya waktu bisa kuputar kembali, aku sungguh ingin memperbaikinya.

“Ternyata apa yang aku takutkan menjadi kenyataan. Tapi semuanya telah terjadi, tak ada gunanya kamu menyesali segala perbuatanmu itu. Jadikanlah masa lalumu sebagai pelajaran agar bisa lebih baik dimasa depanmu. Sesungguhnya pintu taubat masih terbuka untuk hamba-Nya yang ingin bertaubat. Dan percayalah, Allah pasti memaafkanmu.”

“Terima kasih, Mas. Maaf, aku jadi curhat padamu.”

“Tak apa. Jangan segan untuk bicara padaku, sebab aku adalah calon imammu.”

“Mas ini ada-ada saja.”

“Kau masih tak percaya padaku?”

“Aku percaya padamu, Mas,” aku tersenyum, begitu pula Mas Ihsan.

“Jadi, maukah kau menikah denganku?” ucapnya dengan mata yang berbinar.

“Kita baru berbicara beberapa jam, Mas sudah mau menikahiku.”

“Tapi, aku sudah menunggumu hampir lima tahun, Ra.”

Aku tertawa melihat ekspresi wajahnya. Senja ini begitu indah. Aku tak akan melupakan pertemuan sekaligus pernyataan Mas Ihsan yang ingin menikahiku.

“Baiklah Mas, aku menerima suntinganmu karena Allah.”

Sekali lagi aku tersenyum. Ternyata benar, waktu tak pernah berbohong. Ia senantiasa menyelipkan kata indah di ujung proses yang dilalui para pengejarnya. Dan aku percaya, semua terjadi karena waktu. Waktu menyadarkanku dari perbuatan maksiat bumi. Waktu pula yang akhirnya mempertemukan aku dengan Mas Ihsan, calon imamku.(*)

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita