Liburan Bersama Moci

Liburan Bersama Moci

Liburan Bersama Moci

Oleh: Triandira

 

Hari ini Mona sedang berlibur ke rumah Kakek. Ia bersedia ikut setelah Ayah dan Ibu membujuknya dengan mengatakan bahwa desa tempat Kakek tinggal sangatlah indah. Awalnya Mona enggan untuk pergi ke sana dan tidak percaya pada ucapan mereka. Namun akhirnya, ia berubah pikiran juga.

Kata Ayah, jika Mona tidak mau ikut maka ia harus tinggal sendirian di rumah. Tentu saja hal itu membuatnya takut. Lagi pula sudah lama ia tidak berkunjung ke rumah Kakek. Terakhir kali mereka bertemu ketika ia masih berumur 2 tahun. Kala itu Ibu masih belum bekerja seperti sekarang. Jadi tidak begitu sulit meluangkan waktu untuk bepergian.

“Percaya deh sama Ibu, Mona pasti betah di sana,” rayu Ibu saat Mona merengek agar diajak jalan-jalan saja ke taman hiburan atau kebun binatang. Dua tempat yang belum pernah ia kunjungi sama sekali.

“Tapi jangan lama-lama ya, Bu, menginapnya.”

Ibu mengangkat sebelah alisnya. Ternyata membuat Mona setuju untuk berkunjung ke rumah Kakek bukanlah sesuatu yang mudah. Ada saja alasan yang ia lontarkan agar Ibu membatalkan rencananya.

“Lho, kenapa begitu? Liburan sekolahnya kan lama. Lagi pula ada Ayah dan Ibu juga yang akan menemanimu.”

“Terus nanti Mona mainnya sama siapa? Kalau di sini masih ada Amel, Dito, Nara, sama Laras,” bocah berambut panjang itu kembali bersuara sambil menatap Ibu dengan wajah memelas. Hal yang biasa ia lakukan agar perempuan tambun itu mengabulkan permintaannya. Tapi sayang, Mona malah tak mendapat jawaban yang memuaskan dari Ibu.

“Wah, sayang sekali kalau kamu tidak mau ikut,” Ayah yang sedari tadi diam saja, akhirnya turut berpendapat. “Padahal Kakek punya banyak hewan peliharaan, lho.”

“O ya?” seru Mona kemudian. “Hewan apa saja, Yah?”

“Rahasia, dong.”

“Ah, Ayah. Mona kan ingin tahu.”

Ayah terkekeh menahan geli. Begitupun Ibu yang sedang sibuk menata baju, juga perlengkapan lain yang akan mereka bawa nanti. Seperti biasa, ketika hendak bepergian Ibu selalu menyiapkan semua keperluan dengan baik. Obat-obatan pun tak lupa ia bawa agar nyaman saat melakukan perjalanan. Terlebih jarak tempat tinggal mereka dengan rumah Kakek cukup jauh. Butuh enam belas jam untuk bisa sampai ke tempat tujuan jika ditempuh melalui jalur darat. Belum lagi jika terkena macet, bisa memakan waktu yang lebih lama dari itu.

Setelah selesai memasukkan barang bawaan ke dalam tas, Ibu kembali duduk di hadapan Ayah dan Mona. Memerhatikan keduanya yang tengah asyik berbincang.

“Makanya kamu harus ikut,” balas Ayah tak mau menyerah. Berharap agar Mona berubah pikiran. “Atau begini saja. Jika ternyata kamu tidak betah tinggal di sana, besoknya kita langsung pulang ke rumah. Bagaimana?”

“Oke!” seru Mona kegirangan. Ia senang mendengar ucapan Ayah. Pun Ibu yang melirik sekilas ke arah suaminya. Hm… sepertinya liburan kali ini akan sangat menyenangkan. Mereka jadi tidak sabar untuk segera pergi, termasuk Mona yang berpikir bahwa Ayah akan menepati janjinya.

“Jika pulang nanti, aku kan bisa mengajak Ayah ke kebun binatang. Hihi,” bisiknya dalam hati.

***

“Wah, aku juga mau, Kek! Aku juga mau!” seru Mona saat ia sedang berada di halaman belakang rumah. Menemani Kakek yang sibuk memberi makan kelinci. “Ayo, kelinci kecil. Makanlah ini.”

Gadis berbaju merah itu menyodorkan sebuah wortel pada hewan bertelinga panjang yang ada di hadapannya. Kelinci putih yang lucu. Saking senangnya pada hewan tersebut, Mona sampai menamainya Moci.

“Bagaimana dengan yang itu? Kamu tidak ingin memberinya makan juga?” Kakek menunjuk kelinci lain yang berbulu cokelat.

“Kakek lupa, ya? Kan, sudah Kakek beri makan tadi.”

“O ya?”

Mona menggelengkan kepala. “Dengar, Moci. Kamu harus makan yang banyak biar sehat dan tidak menjadi pelupa seperti Kakek.”

Sontak Kakek tertawa dibuatnya. Mona memang gadis yang lucu. Lelaki tua itu pun merasa terhibur dengan kedatangannya. Kakek sangat bersyukur karena akhirnya Mona tak lagi merajuk minta pulang. Seperti saat baru saja tiba di rumahnya.

“Kakek, kenapa kelinci suka wortel?” tanya Mona. Ia nampak heran melihat Moci yang begitu lahap memakan sayur tersebut.

“Karena rasanya enak. Wortel juga menyehatkan.”

“Ibu juga bilang begitu, tapi aku tidak suka.”

“Lho, kenapa tidak suka?”

Mona tidak membalas pertanyaan Kakek. Ia hanya menggelengkan kepalanya lagi sebagai jawaban. Sejak dulu Mona memang tidak suka makan sayuran. Baginya, ayam goreng buatan Ibu jauh lebih lezat.

“Lihatlah mata Moci,” pinta Kakek sembari mengeluarkan hewan tersebut dari kandangnya. “Bagus, bukan? Matanya bulat dan terlihat sehat. Itu karena Moci suka makan sayuran.”

“Begitu, ya, Kek?”

Kakek mengangguk. Tak lama kemudian Ayah datang menghampiri mereka. Hendak mengajak Mona ke sawah seperti yang ia minta sejak kemarin. Mona ingin tahu dan melihat secara langsung pemandangan di sana. Kata Ibu, di dekat sawah milik Kakek ada sebuah gubuk yang bisa mereka gunakan untuk berteduh. Dari gubuk itu jugalah mereka bisa menikmati keindahan alam. Ada gunung, sungai, dan pepohonan yang menyejukkan.

“Hore! Ayo, Kek, kita ke sawah.” Mona menarik lengan Kakek agar lekas berdiri, lalu pergi menyusul Ayah yang sudah keluar lebih dulu.

***

Sudah seminggu Mona tinggal di rumah Kakek. Berbagai pengalaman seru pun telah ia lewati. Mulai dari memberi makan hewan peliharaan, melihat Ayah memancing di sungai, dan menyaksikan Kakek menggiring bebek-bebeknya di sawah. Semua hal menyenangkan yang tidak bisa ia temui di kota.

“Jangan sedih, ya, Moci. Jika liburan lagi aku pasti kemari.” Mona mengelus-elus tubuh Moci. Gadis itu tidak tahu jika ada yang memerhatikan tingkahnya dari kejauhan.

“Sekarang Ayah saja yang membujuknya,” ujar Ibu. Ayah menghela napas sejenak dan beberapa saat kemudian, beliau menghampiri Mona yang belum beranjak dari halaman.

“Ayo, Sayang. Ibu sudah menunggu di dalam,” ajaknya pada gadis kecil itu.

“Ayah, bagaimana kalau kita pulangnya besok saja.”

“Tidak bisa, besok kan Ayah dan Ibu sudah harus bekerja. Kamu juga harus sekolah.”

Mona terdiam dan matanya mulai berkaca-kaca. “Kalau begitu ajak Moci pulang, ya, Yah. Aku mau memeliharanya di rumah.”

“Memangnya Mona bisa merawat Moci?” tanya Kakek yang mendadak muncul dengan sekantung makanan di tangannya. Dua bungkus roti, cokelat, permen, dan snack  kesukaan cucunya. “Ini, Sayang, buat bekal pulang.”

“Terima kasih, Kek.” Mona menghambur ke pelukan Kakek. “Mona bisa, kok, merawat Moci. Hanya perlu dikasih wortel saja, kan?”

“Tentu saja tidak. Selain memberinya makan, Mona juga harus membersihkan kandangnya dari kotoran.”

Glek!

Mona menelan ludah. Ia kaget mendengar penjelasan Kakek. Ternyata merawat hewan peliharaan itu tidak semudah yang ia bayangkan. Jangankan menjaga kebersihan kandang, merapikan kamarnya sendiri saja belum terbiasa Mona lakukan.

Bagaimana ini? Mona jadi berpikir ulang untuk membawa Moci pulang ke rumah. Ah, seandainya rumah mereka berdekatan, pasti menyenangkan bisa mengunjungi Moci setiap hari.

“Sebaiknya biar Kakek saja yang merawat Moci. Jika libur panjang, kamu bisa menginap lagi di sini.”

Mona terdiam. Ia sedang memikirkan sejenak ucapan Kakek. “Ya, sudah. Kamu di sini saja, ya, Moci. Aku akan sering-sering menemuimu,” ujarnya sambil memasukkan kembali kelinci tersebut ke dalam kandang.

Ayah dan Ibu terkejut. Mereka tidak menyangka bahwa Mona sangat betah tinggal bersama Kakek. Sampai-sampai ia lupa dengan keinginanya yang dulu. Dan itu semua karena Moci. Si kelinci putih yang menawan hati.(*)

Tentang Penulis:

Triandira, penyuka fiksi yang belum bisa move on dari mi ayam dan durian. Jika ingin menghubunginya bisa melalui akun FB dengan nama Triandira                                                  ( http://www.m.facebook.com/tri.w.utami.33/ ). Email: triwahyuu01@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita