Black Bell 9
Oleh: Lily Rosella
“Kau tidak tidur?” tanya Walton. Dia, pria bersuara serak yang sempat merangkulku tadi malam.
Saat fajar kami memutuskan untuk beristirahat di sebuah rumah yang sepertinya sudah lama tidak dihuni. Semua perabotan tertata rapi. Ada sofa merah, meja kayu berbentuk persegi dan empat buah kursi. Di dekat tungku juga terdapat tumpukan kayu bakar yang tidak terlalu banyak. Mereka sudah sangat lapuk, mungkin karena perubahan musim yang terus berganti. Di tembok bercat kuning yang warnanya sudah pudar terdapat beberapa bingkai foto.
Aku berjalan pelan, masih memerhatikan setiap orang yang terdapat dalam foto berwarna hitam putih itu. Menerawang seperti apa tempat ini dulunya. Dari ekspresi-ekspresi yang ditunjukan terlihat jelas kalau mereka bahagia tinggal di sini. Hanya saja aku tidak mengerti mengapa mereka pergi dari rumah ini, tempat yang mungkin menyimpan banyak kenangan bahagia dan tempat mereka menghabiskan waktu bersama dibiarkan terbengkalai.
Walton mengambil salah satu bingkai foto itu. Menurunkannya dan menatap lekat-lekat seorang gadis kecil yang mengenakan dirndl dan rambut yang dikepang dua. Matanya berkaca-kaca.
“Apa ini rumahmu?” tanyaku begitu saja.
Dia menatapku. Warna bola matanya yang serupa denganku seolah sedang memintaku untuk menjelaskan apa maksud pertanyaan yang kulontarkan barusan.
“Sepertinya kau tidak asing dengan tempat ini,” ucapku sambil mengangkat kedua bahuku.
Ia melirik ke ruang tamu. Di sana teman-temannya ada yang sedang merebahkan diri atau duduk bersandar sambil memeriksa senjata yang mereka bawa, seperti senapan, pistol, dan juga belati. Sedangkan Albert sedang ke sumur untuk mencuci mukanya agar terasa lebih segar. Anastasia, aku menyuruh wanita sebayaku itu untuk tidur di kamar. Ia terlihat sangat kelelahan karena sudah berlari dan berjalan cukup jauh.
“Apa yang sebenarnya ingin kau tanyakan?” ia balik bertanya padaku.
Belum juga aku membuka mulut, sekadar bertanya siapa dia sebenarnya. Suara derit pintu terdengar. Albert telah selesai membasuh wajahnya. Ia menutup kembali pintu kayu yang catnya sudah terkelupas, berjalan ke arahku dan menarik salah satu kursi yang berdebu tebal sama seperti meja juga ketiga kursi lainnya..
“Dia adalah cucu Nyonya Rose,” ucap Albert yang langsung duduk tanpa mengelap kursi tersebut.
Aku melirik langsung pada pria bernama Walton. Ia mengangkat kedua bahunya, lantas menarik kursi dan ikut duduk bersama Albert.
“Kenapa kau mengatakan padanya?” tanyanya.
“Berhentilah mengganguu Charol.”
Aku ikut duduk dan bergabung bersama keduanya. Membiarkan teman-teman Walton yang masih terjaga menatap ke arah kami, juga membiarkan lengan bajuku yang berwarna putih berubah jadi sedikit hitam keabu-abuan karena debu tebal yang menempel.
“Benarkah?” tanyaku penasaran. “Jadi … kalian adalah pasukan pemburu?”
Dia menarik lurus sudut bibirnya. Kedua alisnya terangkat. “Lebih baik kau juga tidur agar kita bisa melanjutkan perjalanan,” serunya.
“Jadi kalian memburu makhluk mengerikan yang sedang berkeliaran itu?” tanyaku sekali lagi.
Di hadapanku, Albert melirik sekilas. Ia menghela napas. Membuatku menutup mulut rapat-rapat dan tak melanjutkan pertanyaan-pertanyaan yang masih bersarang di otak kecilku. Hening seketika.
“Lalu, bagaimana kau bisa langsung mengetahui kalau semalam itu adalah Albert?” tanya Walton.
Aku mengernyitkan dahi. “Itu … terjadi begitu saja.”
Pria beralis tebal itu mengangguk. Jika ia benar-benar cucu Nenek Rose, aku yakin ia sudah tahu jawabannya tentang bagaimana cara aku dapat mengenali Albert meski ia tidak berwujud seperti sekarang.
“Jadi kau sudah mengingatku?” tanyanya lagi. Aku menggeleng. Tidak yakin bahwa aku benar-benar mengenalinya.
“Sayang sekali.”
“Kenapa?”
“Tidurlah,” seru Albert menyela perbincangan kami.
Melihat ekspresi Albert yang berubah lebih lesu, aku memutuskan untuk bangkit dan beranjak ke kamar. Melihat sekilas padanya sebelum menutup pintu. Tidur di ranjang kecil yang agak reot di samping Anastasia.
“Kau belum menjawab pertanyaanku,” Aku dapat membayangkan malam setelah aku bertemu dengan Albert. Itu adalah saat aku meminta untuk diberitahu tentang kabar kedua orangtuaku.
“Lebih baik kita pergi dulu dari sini sebelum yang lain berhasil menyusul atau menemukan kita,” sahut Walton.
Aku menggeleng. Pasti ada sesuatu yang buruk terjadi sehingga mereka menunda-nunda atau mengalihkanku dari rasa ingin tahu tentang keadaan orangtuaku.
“Apa mereka …?”
Albert mengangguk. Ia tidak mengatakan apa pun, hanya sekadar mengangguk. Aku sendiri bahkan tidak tahu apa arti dari anggukannya itu. Apakah kedua orangtuaku telah mati, atau tertangkap dan ditahan oleh polisi-polisi yang waktu itu mengepung rumah kami. Dia tetap tidak mengatakan apa pun, bahkan setelah setengah jam kami sampai di sini atau aku berbaring di ranjang ini.
***
Albert yang baru saja pulang setelah berhasil mendapatkan dua ekor kelinci langsung menaruh hewan hasil buruannya di samping pintu belakang. Ia duduk di lantai yang agak tinggi, melepas tali sepatunya.
Matanya yang berwarna cokelat almond menatap ibunya yang sedang membuat sweter untuk Emma, adiknya yang belum genap berusia lima belas bulan. Belum juga sepatu kirinya selesai dilepas, dari depan seseorang menggedor-gedor pintu.
“Siapa?” tanya Bibi Lauren. Wanita berambut pirang itu menaruh bahan juga benang rajutannya ke meja kecil di samping kursi, beranjak untuk membuka pintu.
Sementara itu Albert melepas sepatu kirinya dan mencuci tangan. Ia ingin bergegas menghampiri ayahnya yang sedang berada di kamar sambil mengajak adik kecilnya bermain. Namun belum apa-apa suara jerit ibunya terdengar. Membuatnya meninggalkan ember kecil berisi air bersih yang baru saja diambilnya dari sumur.
Orang-orang berseragam polisi setempat masuk begitu saja ke rumahnya. Sedangkan di dekat pintu Bibi Lauren tersungkur. Tangan kanannya mencengkram kaki salah satu orang berseragam itu. Mencegah agar mereka tidak masuk dan menyakiti yang lainnya.
“Ada apa ini?” tanya Paman Eduard yang baru saja keluar kamar sambil menggendong Emma. Sementara di belakangnya Albert menatap ibunya yang bermata sayu.
Bibi Lauren menggeleng. Meminta Albert pergi dan membawa Emma bersamanya. Ia terus mengatakan itu berulangkali, sampai akhirnya salah satu polisi memegangi tangan Paman Eduard, merebut Emma dan menyuntikkan sesuatu kepada mereka berdua.
“A—apa yang kalian lakukan?” Bukannya menjauh, Albert malah menghampiri ayahnya yang kini tubuhnya melemas setelah disuntikan sesuatu yang tidak ia ketahui apa itu.
Tanpa berkata apa-apa, hanya dengan isyarat mata saja, salah satu polisi yang sedang menggendong Emma meminta polisi lainnya untuk memberi tindakan kepada Albert. Menyuntikkan sesuatu juga kepada pemuda berusia 21 tahun tersebut yang tengah merontak-rontak minta dilepaskan. Lantas mereka pergi setelah meletakkan Emma di sofa ruang tamu.
Entah cairan apa yang disuntikan padanya, tapi hanya dalam waktu sekejap saja tubuhnya terasa lemas dan seolah terbakar secara bersamaan. Ia merasakan panas yang sangat di jantungnya yang membuatnya terus meraung sambil merebahkan diri di lantai. Memukul-mukul dadanya dan mencoba untuk mengatur napas. Tapi tetap saja, panas yang ia rasakan tak kunjung reda, malah menjalar ke seluruh tubuh.
Dan hanya butuh waktu satu-dua jam, setelah ia pingsan dan sadarkan diri, sosok bertubuh tinggi-besar dan berbulu lebat datang bersama seorang wanita paruh baya yang dikenalinya. Iya, itu adalah ayah dan ibuku!
Ia tidak ingat apa pun selain tubuhnya terasa seperti terbakar, sampai ia dapati dirinya terbangun dengan Bibi Lauren yang sudah terbujur kaku di sampingnya. Tubuh wanita berusia sebaya dengan ibuku itu merembas darah segar. Di lehernya terdapat bekas gigit. Sementara di sofa, sama seperti ibunya, Albert juga mendapati Emma sudah tidak bernyawa.
“A—apa yang terjadi?” tanyanya pada ibuku.
Ibu tak menjawab. Ia hanya meminta Albert untuk tenang, tangannya yang berwarna merah—bekas darah Bibi Lauren—memegang bahu pemuda yang sudah seperti anaknya sendiri. Mata bulatnya membesar, pun begitu ia menggeleng pada makhluk bertubuh besar yang hendak menghampiri Albert.
“Tidak!” ujarnya.
Sosok seperti serigala yang bisa berdiri dengan kedua kaki itu mundur perlahan. Matanya yang berwarna merah darah menatap Paman Eduard yang terlihat masih terkejut dengan semua ini. Menyandarkan punggungnya di pintu ruangan berwarna hijau lumut yang besarnya tidak lebih dari 3×2 meter persegi.
Di tengah kepanikannya menghadapi kematian oleh sahabat karibnya sendiri, bibir Paman Eduard yang terus bergetar saat Ayah mendekatinya dengan sosok yang berbeda berusauha menyampaikan sepatah-dua patah kata. Memberanikan diri meski sesekali ia terus saja menelan ludah.
“Selamatkan Albert,” pintanya sambil mencengkeram kerah baju ayahku.
Mata Ayah yang nampak seperti menyala-nyala terus menatap tajam Paman Eduard. Pun gigi taringnya yang menyembul telah berwarna merah.
Ayah melirik sekilas ke arah Albert yang tengah memeluk tubuh Bibi Lauren. Wanita paruh baya tersebut telah mati beberapa menit lalu dengan tubuh tercabik-cabik. Pun di samping Albert, Ibu berdiri sambil menatap Ayah. Mata bulatnya yang serupa denganku berkaca-kaca, memerhatikan tangannya yang juga bersimbah darah.
“Selamatkan putraku.”
Ayah mengerutkan dahinya. Bola matanya yang kini berwarna merah darah menatap Paman Eduard dan Albert bergantian. Gigi-giginya digeretakan.
“Ayah …,” suara Albert terdengar samar namun jelas. Kedua lengannya yang tengah menopang mayat Bibi Lauren melemas seketika, juga tangannya yang sedikit agak besar terkepal kuat.
“Tetap di tempatmu,” titah Ibu.
Bola mata berwarna cokelat almond itu menatap Ibu. Terlihat jelas kalau ia tengah memelas iba, berharap kalau ayahnya dapat dibiarkan hidup. Namun sayang, darah segar mengenai wajah juga bajunya yang berwarna merah maroon, membuat pemuda itu mengalihkan pandangannya.
“Ayah …!” teriak Albert saat kuku-kuku tajam Ayah merobek dada pria berusia 40 tahun tersebut.
Aku menghela napas. Memilih untuk bangkit dan duduk di tepi ranjang. Kilasan yang kulihat saat tubuh Albert yang bersosok serupa dengan Ayah saat itu menubrukku muncul begitu saja. Menyempurakan separuh puzzles yang selama tiga tahun menghantui pikiranku.
Mungkin belum sepenuhnya aku mengerti tentang hal tersebut. Tapi untuk pergi ke tempat yang ditunjukkan Albert mungki tidak dapat memberiku jawaban apa pun. Jalan satu-satunya untuk mengetahui semuanya adalah kembali pada tempat kejadian itu berlangsung. Negeri bagian barat, tepatnya Kota Lorg.
(Bersambung)
Lily Rosella, gadis berdarah Sunda – Betawi yang kerap disapa Lily ini lahir dan besar di Jakarta. Penyuka dongeng dan cerita bergenre fantasi. Ia juga menyukai warna-warna pastel.
FB: Aila Calestyn / Lily Rosella
Email: Lyaakina@gmail.com
Blurb cerbung: Black Bell
Makhluk mengerikan berwujud srigala itu ditangkap di hutan perbatasan. Setelah diamankan oleh pasukan angkatan darat, ia dibawa ke laboratorium kota. Di bawah wewenang Jendral Baldric, makhluk bertubuh besar dan bercakar tajam itu diteliti oleh Profesor Lorenzo dan Profesor Shin.
Oleh sang Jenderal, hasil dari penelitian tersebut rupanya disalahgunakan. Mutasi gen monster itu diujikan ke beberapa warga sebagai kelinci percobaan dan berdampak fatal bagi negeri bagian barat. Lebih dari itu, kematian kedua professor tersebut menjadikan anak mereka, Charol, berada dalam bahaya. Ia dikejar pasukan Jendral karena disangka mampu mengatasi amukan makhluk itu.
Dibantu oleh Albert, sahabat baik sekaligus pemuda yang dicintai Charol, mereka melarikan diri. Malangnya, Albert telah terinfeksi virus manusia serigala itu, yang membuatnya lama-kelamaan kehilangan kendali atas dirinya. Ia pun menjadi pelindung utama, sekaligus bahaya besar yang mengancam Charol.
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita