Secret 6
Oleh: Veronica Za
Azan subuh terdengar dari ponsel Mayang. Sengaja ia meng-instal aplikasi itu untuk mengetahui waktu salat saat di tengah hutan seperti sekarang ini. Beberapa anggota lainnya juga ikut terbangun. Rani yang berada di sampingnya mengerjapkan matanya berkali-kali demi mendapat fokus untuk penglihatan karena masih sangat mengantuk.
Udara pagi hari dari ketinggian 2.211 meter di atas permukaan laut itu terasa amat sangat menusuk tulang. Satu per satu anggota mulai meninggalkan tenda. Rani mengitarkan pandangannya ke seluruh penjuru. Ada seseorang yang sejak ia membuka mata, tak tampak sama sekali. Bahkan, selimut yang dikenakannya pun sudah terlipat rapi.
“Yang, kamu lihat Tasya nggak?” tanya Rani cemas. Ia merasa punya tanggung jawab atas diri Tasya setelah Dodi menitipkannya, kemarin.
Mayang menggeleng. Ia tampak mengingat sejenak, “ Waktu aku bangun tadi, aku sudah tidak melihat ada Tasya di sampingmu. Mungkin dia ke toilet.”
“Ngaco kamu! Mana ada toilet di atas gunung begini!” Rani menoyor kepala Mayang. Gadis itu malah cengengesan tidak jelas. “Temani aku nyari Tasya, yuk!”
Mayang mengangguk. Tangannya sibuk melipat selimut yang ia pakai semalaman tadi, kemudian membawa tas mukena untuk sekalian salat subuh berjamaah.
Dingin yang ia rasakan saat berada di tenda ternyata tak seberapa jika dibandingkan ketika berada di luar. Terasa menusuk tembus hingga ke dalam tulang, membuat ngilu di beberapa bagian tubuh. Seandainya bukan karena kewajiban menjalankan salat, maka ia tak mau susah-payah berwudhu dengan air yang sedingin air dari frezzer.
Selesai berwudhu, Mayang mengetatkan kembali resleting jaketnya hingga ke pangkal. Tak lupa juga ia melilitkan syal cokelat ke lehernya. Sambil menunggu Rani, matanya melacak keberadaan Tasya. Biar bagaimana pun, gadis itu adalah penyelamatnya. Ia berhutang nyawa padanya.
Pandangannya terhenti pada anggota yang menyiapkan tempat untuk salat berjamaah. Di sebuah batu besar di belakang mereka, tengah duduk gadis manis yang sejak tadi ia cari-cari. Matanya bersinar dengan senyum yang tak henti-hentinya terkembang di wajahnya. Kepalanya mendongak seakan sedang berbicara pada seseorang yang tak bisa dilihat Mayang, karena terhalang orang-orang yang berdiri.
“Lihat apa?” Rani menepuk pundak Mayang. Matanya mengikuti arah pandangan gadis itu.
“Itu Tasya! Ia bersama seseorang. Siapa ya?” Mayang menunjuk arah yang ia tuju.
Orang-orang itu sudah mulai merapikan shof-nya. Maka, tampaklah dengan jelas jika Tasya tengah berbincang dengan Dodi. Entah apa yang mereka bicarakan, tetapi cukup ampuh untuk mengoyak perasaan Mayang menjadi serpihan rasa yang hancur.
“Syukur deh kalau dia baik-baik saja. Aku pikir dia pergi diam-diam. Yuk ah, salat!” ajak Rani yang tak mengerti bahwa sahabatnya itu sedang disulut api cemburu.
Selesai salat, mereka mulai mencari spot terbaik untuk mengabadikan moment-moment saat matahari terbit dari ufuk timur. Handphone dan kamera sudah tergenggam erat, seolah siap kapan saja untuk menangkap peristiwa yang belum tentu mereka dapatkan lagi di kemudian hari. Begitu pula dengan Mayang. Meski hatinya sedang kacau-balau, tapi ia tak rela melewatkan waktu untuk melihat sunrise.
Mayang dan Rani duduk di tengah barisan yang menunggu sang surya menampakkan sinarnya. Sedikit demi sedikit kegelapan tergantikan oleh cahaya terang. Semua anggota bersiap dengan handphone di tangannya. Dengan antusias, Mayang merekam tiap detik peristiwa alam yang membuatnya terpukau.
Layar lima inchi itu merekam semua pemandangan beserta antusiasme para pendaki. Mayang terkesiap kala melihat lagi kebersamaan Dodi dengan Tasya. Masih sama seperti subuh tadi. Sangat akrab. Semua tawa dan canda mereka tanpa sadar terekam dalam kamera ponsel Mayang.
Dengan lunglai, gadis itu menghentikan aktivitasnya kemudian kembali ke tenda. Ia berbohong pada Rani bahwa ia masih mengantuk dan meminta untuk dibangunkan saat selesai. Sebenarnya, ia sangat butuh seseorang mendengarkan keluh-kesahnya. Namun, ia tak tega jika harus mengganggu kekaguman Rani yang terlukis jelas di wajahnya.
Di dalam tenda, ia menumpahkan segala kekecewaan yang sejak kemarin dipendam. Air mata mengalir membasahi jaket yang ia jadikan bantal.
“Kamu sakit?” Tepukan lembut terasa di punggung Mayang. Suara itu sangat familiar di telinganya. Ia semakin dalam membenamkan wajahnya semakin dalam.
Dodi mencoba meraba kening Mayang yang tersembunyi dengan susah payah. Sama sekali tidak panas. Ia semakin penasaran karena Mayang tak kunjung bangun meski tahu ada dirinya di sana. Biasanya gadis manis itu selalu membombardirnya dengan sejuta cerita, pun pertanyaan absurd.
“Kamu marah, ya? Kalau sebegitu tak sukanya, aku keluar sekarang.” Dodi beranjak dari tenda itu, meninggalkan Mayang yang masih dirundung kesal.
Setelah puas dengan pemandangan alam di pagi hari itu, para pendaki mulai mempersiapkan alat memasak mereka. Para pria bertugas mengambil air dan menyalakan perapian, sedangkan para wanita mengurus bahan makanan.
Beruntung bagi mereka, karena di Puncak Gunung Salak itu ini memiliki mata air yang melimpah dekat makam keramat Mbah Salak. Air ini juga merupakan salah satu sumber yang memberi pasokan pada pabrik air minum yang cukup terkenal di Indonesia. Berbeda dengan Puncak Gunung Salak Dua, yang sangat rimbun, susah mendapatkan air dan jarang dijamah oleh para pendaki karena aura mistis yang terlalu kuat. Itulah alasan masuk akal bagi Dodi yang begitu ketat mengawasi Tasya yang bertekad untuk menjelajahi gunung ini sendirian.
Mayang dan Rani disibukkan dengan hidangan yang sudah matang dan membaginya dalam beberapa wadah. Tasya ikut membantu mereka menyusun wadah-wadah tersebut menjadi beberapa kelompok di atas alas besar semacam terpal berwarna biru.
“Yang, kamu kok jadi pendiam?” tanya Rani menyelidik.
“Tidak apa-apa. Hanya kurang enak badan saja,” jawab Mayang sekenanya.
“Kalau ada masalah, kamu boleh cerita padaku. Aku siap mendengarkan!” kata Tasya menimpali obrolan dua sahabat itu.
Mayang hanya menanggapi dengan senyuman yang sangat kentara dipaksakan, kemudian berlalu begitu saja sambil membawa mangkuk berukuran sedang untuk masakan selanjutnya. Rani dan Tasya saling berpandangan, bingung.
Sarapan sederhana ala pendaki memberi kesan tersendiri bagi mereka. Meski hanya lauk seadanya, tapi nikmatnya tidak kalah dengan masakan Ibu di rumah. Apalagi ditambah dengan pemandangan berupa lukisan alam yang Tuhan buat demi memanjakan mata dan hati mereka. Tentu saja, hal ini tidak akan mereka lupakan dengan mudahnya. Bahkan, beberapa di antara mereka mulai membicarakan tujuan selanjutnya untuk mendaki usai ujian semester nanti.
Sisa hari itu, mereka melakukan kegiatan bebas sesuka hati mereka. Sebagian memilih ber-selfie ria, bersantai di bawah pohon sambil menikmati pemandangan alam, bahkan ada juga yang tidur saja.
Mayang menggelar alas duduk di bawah pohon yang rindang. Tempatnya agak menjorok tertutup pohon besar lainnya. Sesekali menyendiri untuk menenangkan perasaan yang tadi sempat berkecamuk merusak suasana.
Jemarinya terus mengutak-atik kamera yang tengah ia pegang. Ratusan foto dirinya bersama Dodi membuatnya kembali merasa nyeri. Apa mungkin pria itu menyukai Tasya yang baru sja mereka temui? Masa-masa yang ia lewati bersama Dodi ternyata hanya ilusi semata. Perhatian itu sekadar bagian dari persahabatan mereka.
“Kenapa kamu ajak aku ke sini, Kak?” Suara wanita di balik pohon yang berada di depan Mayang, membuatnya terkejut sekaligus penasaran.
“Ada yang perlu aku omongin sama kamu,” timpal suara berat yang berasal dari pria yang sangat ia kenal.
Mayang menajamkan indera pendengarannya. Tasya di bawa Dodi ke balik pohon membuatnya curiga. Apa mungkin, dia akan menyatakan cintanya pada Tasya?
“Sebenarnya aku –,”
Hening. Tak ada lagi kata yang terdengar oleh Mayang dari persembunyiannya. Penasaran, gadis itu nekat mengintip dari balik pohon. Mata bulatnya terbelalak dan memerah melihat adegan yang sedang terjadi di hadapannya.
Posisi pasangan itu membelakangi Mayang, sehingga tak melihat ada seseorang yang tengah menyaksikan perbuatan mereka. Kedua tangan Dodi menempel pada dua sisi kepala Tasya yang tengah menengadah. Jarak muka mereka teramat dekat untuk ukuran orang yang sedang berbincang.
Bibir pemuda itu hanya berjarak beberapa sentimeter lagi dari wajah si gadis. Hanya ada satu adegan yang akan tersaji selanjutnya dan Mayang tak akan sanggup untuk terus melihatnya. Gadis itu berniat pergi, meski dengan air mata yang sudah mengalir di kedua pipinya dan juga kaki yang masih bergetar saat melangkah. Ia benar-benar shock.
KRAK!
Suara ranting terinjak mengalihkan pandangan kedua orang yang tadi Mayang perhatikan. Dodi melihat Mayang berdiri menatapnya dengan linangan air mata. Refleks, mereka berdiri dan mencoba menjelaskan perihal salah paham itu. Mereka berdua tampak panik melihat reaksi Mayang saat ini.
Baru saja Dodi melangkah untuk mendekati Mayang, tetapi gadis itu lebih dulu berlari sekuat tenaga. Masuk ke dalam hutan yang mengarah ke Puncak Gunung Salak Dua. Dodi semakin panik saat kehilangan jejak Mayang.
Ia berteriak memanggil nama gadis itu dengan frustasi. Namun, tak ada jawaban. Ia takut jika gadis bandel itu berlari serampangan menuju sisi gunung ini yang sangat ia hindari. Ia menyapu kasar wajahnya, bingung sekaligus takut. Ia tak mau kehilangan Mayang.
Dengan sekuat tenaga, Dodi kembali berteriak, “MAYANG!!”
Hening.
Bersambung ….
Tangerang, 03/06/2018
Veronica Za, penulis amatir yang bermimpi menjadi seorang novelis. Bisa dihubungi melalui,
Fb : veronica za
Email : veronica160.vk@gmail.com
Blurb:
Pendakian ke Gunung Salak oleh dua belas mahasiswa pecinta alam dari ibukota diwarnai dengan kisah-kisah romantis serta menegangkan. Dodi–ketua pecinta alam– berjuang menahan gejolak di hatinya saat harus menerima kenyataan jika Mayang menyukai Erik, sahabat baiknya. Berbagai peristiwa membuatnya menyerah secara perlahan untuk mendapatkan hati Mayang.
Trek yang ekstrim ternyata sama dengan hati Mayang. Di saat Dodi berusaha ikhlas, Mayang menunjukkan perhatian mendalam padanya. Ditambah hadirnya sosok gadis misterius yang mereka temukan di tengah pendakian.
Akankah Dodi mendapatkan cintanya? Atau malah berakhir dengan cinta yang baru?
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita