Aaron Smith (Episode 6)
Oleh: Triandira
Sisi Lain Hadley
“Angin apa yang membawamu datang kemari?”
Alfred tak langsung menjawab. Ia malah sibuk membetulkan posisi duduknya sambil memerhatikan sekitar. Beberapa perabotan yang tertata rapi di depannya, juga benda-benda yang tergantung di dinding.
Melihat lelaki itu berada di sini benar-benar membuatku tak nyaman. Aku juga merasa curiga dengan kedatangannya yang tiba-tiba ke rumah kami. Ya, aku bisa menebak bahwa tujuannya berkunjung adalah untuk menemui Aaron. Tapi tetap saja sikapnya itu memunculkan berbagai pertanyaan di benakku.
“Aku ingin menemui cucuku. Apa itu salah?” balas Alfred dengan raut muka sinis. “Di mana dia sekarang?”
“Dia sedang makan di dalam.”
“Kalau begitu aku akan menunggunya di sini.”
“Tidak. Aku rasa kau tidak perlu melakukannya.”
Lelaki itu terkekeh. Mungkin ucapanku barusan terdengar seperti lelucon baginya. Sialnya lagi, ia malah duduk santai. Menyilangkan kedua kaki sambil menyandarkan punggungnya di kursi.
Sebenarnya bukan hal yang mengherankan lagi bagiku menyaksikan tingkahnya seperti itu. Aku bahkan masih ingat bagaimana dulu ia bersikap dingin terhadapku. Ketika George membawaku ke rumah mereka untuk diperkenalkan padanya.
“Sudahlah, Tn. Alfred. Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu,” tegasku kesekian kali. “Kau tidak usah khawatir, aku bisa menyampaikan pesanmu pada Aaron nanti. Jadi kau bisa pulang sekarang.”
“O begitu, rupanya. Jadi kau sudah berani mengusirku?” Alfred meradang. Wajahnya pun berubah tegang.
“Aku hanya tidak ingin menganggu waktumu yang berharga itu.”
“Jaga sikapmu, Emma. Apa sejak kecil kau tidak pernah diajarkan sopan santun oleh kedua orangtuamu?”
Aku mengernyitkan dahi. Berusaha mencerna setiap kata yang keluar dari mulutnya. Tapi di saat yang sama aku juga geli menahan tawa. Ah, yang benar saja. Lelaki itu mengingatkanku tentang sopan santun padahal ia sendiri tak memilikinya.
Keterlaluan. Kali ini aku tidak bisa tinggal diam, dan membiarkan ia mencela kedua orangtuaku begitu saja. Tidak! Sampai kapan pun aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Alfred… aku rasa ia lupa di mana ia berada sekarang.
“Dengar, Tn. Alfred. Sekali lagi kutegaskan—”
“Ibu,” panggil Aaron menyela ucapanku. Padahal aku baru saja hendak mengusir kakeknya dari rumah ini.
“Halo, Sayang. Bagaimana kabarmu?” Alfred mengulurkan kedua tangannya yang disambut tatapan bingung Aaron terhadapku. “Em?” gumamnya lagi.
Aku menatap tajam wajahnya, lantas mengangguk pelan pada bocah di sampingku. Memberinya isyarat agar menerima uluran tangan lelaki itu, “Ayo, berikan salam pada kakekmu.”
Aaron menuruti perkataanku, dan itu berhasil membuat Alfred tersenyum puas. Ia nampak gembira dan begitu antusias mengajak cucunya berbincang. Tanpa membuang kesempatan yang ada, ia langsung menunjukkan hadiah di atas meja.
“Lihat. Bagus, bukan? Kau bisa menggunakannya untuk belajar sekaligus bermain.”
“Wow, apa ini untukku?” tanya Aaron tak percaya melihat benda yang ia pegang. Sebuah laptop keluaran terbaru dengan harga mahal. Warna serta fiturnya yang menarik membuat bocah tersebut tak henti-hentinya berdecak kagum.
“Tentu saja. Kakek harap kau menyukainya.”
“Ya, aku suka. Terima kasih, Kek.”
“Sama-sama, Sayang.”
Aaron sangat senang, berbeda denganku yang justru merasa kesal. Aku tidak suka dengan cara Alfred memanjakan cucunya. Dan bukan tidak mungkin suatu saat ia akan meminta hal yang sama padaku. Barang-barang mewah yang takkan sanggup kubelikan untuknya.
Sejak awal aku dan George memang sudah berkomitmen, perihal membesarkan Aaron. Kami tidak selalu menuruti permintaannya, terlebih jika itu menyangkut benda yang ingin ia beli. Bagiku, mengenalkan Aaron pada teknologi di usianya yang masih sangat muda bukanlah keputusan yang bijak. George pun setuju dengan hal tersebut.
“Ibu harap kau tidak lupa dengan janjimu, Aaron,” ucapku mengingatkan bocah yang kini tengah sibuk mengutak-atik tombol di laptopnya dan tak mengalihkan pandangannya sedikit pun dari benda itu.
“Aku mau mencobanya sebentar.”
“Tidak, Sayang. Letakkan itu sekarang juga, dan pergilah menemui Jimmy.”
“Tapi ini seru, Bu. Jika sudah selesai—”
“Kau bisa melanjutkannya lagi nanti,” selaku cepat sebelum ia berubah pikiran dan membatalkan janjinya pada Jimmy.
“Ya, baiklah.”
Alfred menghampiriku begitu cucunya pergi ke rumah Mary, “Bagaimana kau bisa setega itu? Ia masih ingin bermain tapi kau melarangnya.”
“Aku tau bagaimana cara mendidiknya, jadi kuharap kau tidak ikut campur.”
“Terserah kau saja.”
“Jadi apalagi yang kau tunggu sekarang, Tn. Alfred?” Tanpa peduli dengan ucapanku, kakek Aaron tersebut mengeluarkan sesuatu dari dalam saku bajunya. Sejumlah uang yang terbungkus amplop berwarna putih.
“Aku tidak membutuhkannya, jadi simpan kembali uangmu itu.”
Alfred tersenyum kecut. “Aku lihat kau tidak mengurusnya dengan baik. Sekarang terima ini dan belikan Aaron pakaian yang layak untuk ia kenakan.”
“Cukup!” bentakku padanya. “Sebenarnya apa yang kau inginkan?”
“Kau akan mengetahuinya nanti.”
“Apa?” Lelaki itu tak menjawab lagi pertanyaanku. Ia pergi begitu saja sembari mengangkat telepon dari seseorang. Sedangkan aku masih tertegun dengan jantung yang berdegup kencang dan menatap nanar pintu rumah yang terbuka. Ulahnya usai keluar dari rumah.
***
Hadley menepati janjinya. Ia datang menemui Aaron yang sudah tidak sabar ingin menunjukkan sesuatu terhadapnya, hadiah yang Alfred berikan. Tidak hanya itu, tujuannya kemari juga untuk menyampaikan kabar mengejutkan padaku.
“Tempatnya bagus dan fasilitasnya pun lengkap. Jika kau tidak keberatan aku bisa mengurusnya. Bagaimana?” usulnya di sela-sela obrolan kami.
“Aku tidak akan sanggup membiayainya.”
“Kau tidak usah cemas, Tn. Alfred yang akan menanggung semuanya.”
Aku menatap sendu wajah Hadley. Waktu itu rasanya aku sudah tidak punya tenaga lagi untuk berdebat dengannya. Pikiranku sudah kacau. Setiap kali mengingat kejadian tadi pagi, perasaanku langsung dipenuhi oleh firasat buruk.
“Apa kau tau, Tn. Hadley?” lelaki itu menoleh ke arahku. “Aku merasa majikanmu ingin merebut Aaron dariku. Dia bahkan mengatakan….”
“Ssttt! Kau jangan berkata seperti itu.” Hadley membungkam mulutku dengan telunjuknya. Menyebabkan kami sama-sama salah tingkah. “Ma—maaf, Nyonya. Aku tidak bermaksud lancang terhadapmu.”
“Tidak. Ini bukan salahmu. Seharusnya sejak awal aku tidak melibatkanmu dalam permasalahan kami. Ehm, maksudku… aku….”
“Tidak apa-apa. Menangislah,” ucapnya seolah mengerti dengan kesedihanku.
Aku membuang muka sambil mengusap air mata. Entah mengapa ada banyak ketakutan yang aku rasakan saat itu. Tentang sikap Alfred yang tiba-tiba mendekati Aaron secara langsung, Hadley yang belum bisa sepenuhnya kupercaya, dan bayangan paling menakutkan yang sering muncul tanpa sebab—kepergian Aaron dari sisiku.
Saat ini kegelisahanku pun semakin bertambah karena bocah itu mulai membuka hatinya untuk Alfred, hanya karena hadiah yang ia dapatkan. Ya, aku tidak bisa menyalahkannya. Bagaimanapun juga ia adalah anak kecil yang belum mengerti banyak hal. Jadi wajar saja jika ia merasa senang.
“Aku menghargai kebaikanmu tapi ini sudah malam,” ujarku pelan meminta Hadley untuk segera pergi. Lagi pula aku juga tidak ingin membiarkan Aaron berlama-lama sendirian di kamar.
“Ya, tentu saja. Tapi, bolehkah aku menemuinya sekali lagi?”
“Dia akan marah jika aku tidak mengizinkanmu melakukannya.” Ia terkekeh, lantas mengikutiku yang berjalan menuju salah satu ruangan.
“Paman mau pulang?” tanya Aaron begitu Hadley berpamitan padanya. Aku yang sedang berdiri di dekat pintu, hanya bisa tersenyum melihatnya.
“Iya, karena ini sudah malam dan kau harus beristirahat.”
“Tapi Paman akan ke sini lagi, bukan?”
Hadley menganggukkan kepala. “Ya, lain waktu Paman juga akan mengajakmu jalan-jalan. Bagaimana, kau setuju?”
Aaron melonjak kegirangan. Ia memeluk Hadley sambil berulang kali membisikkan kata sayang. Tak mau kalah, lelaki berhidung mancung itu pun membalas pelukan buah hatiku. Mengecup kedua pipinya, lalu membaringkan tubuh Aaron di atas kasur. Memintanya agar segera memejamkan mata.
“Terima kasih untuk hari ini.”
Aku mengantar Hadley sampai ke depan pintu.
“Sama-sama, Nyonya.”
“Emma. Kau bisa memanggilku Emma.”
Hadley terkesiap, raut mukanya menegang sesaat. Mungkin ia terkejut dengan ucapanku barusan, namun tak lama kemudian ia kembali menyunggingkan senyum. Tepat ketika aku menyebut namanya seperti kami adalah seorang teman.
***
Lelaki bernama Hadley tersebut nampak bahagia. Ia duduk di dalam mobil sambil menatap rumah yang ada di depannya. Tentu saja, karena apa yang baru saja ia alami adalah bukti bahwa Emma mulai membuka hati. Hal yang sangat ia harapkan selama ini.
Semenjak kematian George, Hadley memang merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Ia bukanlah sosok yang suka ikut campur dengan urusan orang lain, tapi melihat penderitaan Emma dan anaknya, ia sangat ingin melindungi mereka berdua. Apalagi Aaron telah mengingatkannya pada masa lalu.
Sejak berusia 1 tahun, Hadley telah kehilangan kasih sayang ayahnya. Ia pun tumbuh dan dibesarkan oleh sang Ibu seorang diri. Hingga suatu hari, nasib mempertemukannya pada Alfred. Lelaki yang sudah menghancurkan hidupnya, sekaligus seseorang yang kini menjadi tujuannya untuk membalas dendam.
“Tenanglah, Bu. Suatu saat nanti aku pasti akan membalas perbuatannya,” gumamnya kala itu. Berjanji pada diri sendiri sambil menangisi jasad ibunya. “Dan kau, Tn. Alfred Smith. Akan kupastikan kau kehilangan segalanya. Kelak, ketika aku telah menjadi bagian dari kehidupanmu.”
Hadley menghela napas ketika bayangan menyedihkan itu kembali menyelinap. Meski ia telah memiliki tujuan lain dalam hidupnya, tapi tetap saja kebenciannya pada Alfred belum sepenuhnya menghilang.
Katakan, Aaron. Jika kau berada di posisi Paman saat itu, apa kau juga akan melakukan hal yang sama?
Ia memandangi wajah polos Aaron melalui layar ponselnya. Foto yang sempat ia ambil ketika Emma menitipkan bocah itu beberapa hari yang lalu. Saat perempuan cantik tersebut disibukkan oleh pekerjaan rumah, dan ialah yang menemani Aaron bermain.
Ah, sekarang pikirannya bahkan dipenuhi oleh tingkah lucu Aaron. Setiap hari sebelum tidur, ia selalu membayangkan banyak hal. Berbagai aktivitas yang bisa ia lakukan bersama bocah itu.
Selamat tidur, Paman. Aku menyayangimu.
Sebuah pesan singkat di ponselnya membuyarkan lamunan Hadley. Ia tersenyum samar sebelum akhirnya mengetikkan sesuatu sebagai balasan.
“Maafkan aku, George. Ini memang terlalu cepat, tapi aku tidak mau menghentikannya. Kuharap kau tidak keberatan dengan hal itu,” bisiknya dalam hati. Tak lama kemudian, ia pergi. Menerobos jalanan dengan mobil yang melaju kencang.(*)
Bersambung…..
Tentang Penulis:
Triandira, penyuka fiksi yang belum bisa move on dari mi ayam dan durian. Jika ingin menghubunginya bisa melalui akun FB dengan nama Triandira Email: triwahyuu01@gmail.com
Blurb: Aaron Smith
Keteguhan hati Emma diuji ketika mantan mertuanya, Alfred hendak merebut Aaron darinya–menukarnya dengan uang yang sangat besar. Bocah yang terlahir genius tersebut memiliki kemiripan fisik seperti ayahnya, George. Bertolak belakang dengan sang anak, Gorge justru terlahir sebagai penderita autis yang mengalami tekanan mental selama hidup bersama Alfred. Hal yang kemudian menjadi alasan Emma untuk membenci lelaki itu.
Hadley, tangan kanan Alfred diperintahkan untuk mendekati Emma supaya mau menyerahkan Aaron. Namun, selama misinya itu, Hadley semakin dekat dengan Aaron dan Emma. Apakah Hadley membantu Emma demi cinta, atau memilih uang dengan menghianati Emma dan menyerahkan Aaron kepada Alfred?
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita