Setiap Purnama

Setiap Purnama

Setiap Purnama
Oleh : Respati

Malam itu langit berhias bulan penuh. Sinar lembutnya masuk jendela kamar D29 yang dibiarkan gelap. Penghuninya seorang lelaki yang selalu memeluk sebuah foto dan diam mematung jika bulan penuh seperti malam itu.

Setiap menjelang purnama kamarnya dibiarkan gelap tanpa cahaya. Ia seperti ingin membiarkan sinar tipis itu menerangi kamarnya dan dia akan duduk bersandar pada sebuah kursi reyot di balkon kamarnya.

Kamar D29 berada di lantai tiga sebuah hunian elite-paling tidak pada zamannya. Walau kini sebagian penghuni memilih pindah dari sana, tapi tidak untuk lelaki itu. Dia tetap bertahan.

Malam purnama untuk kesekian kali ia habiskan dengan duduk di kursi reyot itu sambil bersandar. Pandangannya nanar. Langit malamnya menyimpan banyak cerita untuknya sehingga ia akan rela duduk berlama-lama di sana.

Dan malam itu bulan demikian indahnya terlukis di cakrawala. Membuatku tergerak membuka pintu balkon dan keluar. Mataku menata takjup pada langit yang berhias dengan cantiknya bulan.
Angin malam mulai menyentuh kulitku. Aku berpegangan besi pagar pembatas balkon.

Mataku masih memandang ke langit. Bulan belum sempurna tapi indahnya memesonaku.
Tiupan bayu sedikit lebih kuat menerpa vas bunga plastik di sisi kiriku. Prraak! Vas terjatuh. Aku terkejut. Tapi aku lebih terkejut dengan siluet hitam di balkon kamar sebelahku. Mataku mengerjap memastikan siapa yang kulihat tadi. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya sebuah kursi reyot.

Aku kembali ke kamar. Menutup tirai dan kembali ke meja kerjaku. Melanjutkan alinea yang tadi kutinggalkan sejenak karena tergoda keluar kamar sekadar melihat bentuk bulan penuh.

Aku menyeruput kopi yang mulai dingin dan melanjutkan kerjaku. Kubaca ulang alinea terakhir yang sudah kutulis. Ada baris yang aneh yang aku yakin bukan tulisanku.

Pada malam purnamalah aku mengiba, menunggu fajar menyampaikan kabar baiknya. Aku rindu hadirnya. Rindu wanginya. Dan rindu cintanya.
Dan pada setiap purnama aku merasakan hidupku yang sebenarnya. Yang tumbuh dan tetap lestari karena sinaran kasihmu.

Aku terkesiap. Tiba-tiba angin berhembus kencang menutup pintu depan. Aku terperanjat. Seingatku seluruh pintu sudah kukunci.

Aku melangkah ke depan. Dan benar saja pintu depan apartemenku terbuka lebar. Masih dengan kebingungan aku buru-buru kembali menguncinya. Aku berlalu ke meja kerja. Kembali menyeruput kopi yang dingin. Mataku kembali ke layar monitor.

Malam ini, aku merasakan aromamu hadir. Menghiasi malam-malam penantianku.

Aku kembali terkejut. Sontak aku berdiri dan memandangi layar laptop yang kembali bertambah jumlah barisnya itu. Kututup paksa layarnya dan aku kembali ke tempat tidurku. Menarik selimut dan tidur.

*

Malam berikutnya aku kembali bercengkerama dengan laptopku. Deadline tulisanku memaksaku kembali berkutat menyelesaikan naskah yang tak kunjung kelar. Diksiku macet beberapa malam sebelum purnama. Belum lagi alinea misterius yang aku yakin bukan tulisanku itu. Beberapa baris sudah kuhapus tadi. Dan aku kembali merangkai kata dengan ditemani sinar mentari pagi yang menyapanya.

Jariku menari menyusun aksara bermakna indah. Kalimatnya sangat puitis. Berisi rindu yang teramat dalam dari seorang pria kesepian.
Pada malam purnamalah ….

Tok…. Tok….Tok!
Pintu depan diketuk tiga kali. Aku mengernyitkan keningku. Berpikir siapakah tamunya sepagi ini, sambil berjalan ke pintu. Pintu kubuka dan seorang kurir menyerahkan sebuah amplop tipis. Nama pengirimnya D29. Aku kembali ke mejaku. Kubuka amplop tipis yang baru saja kuterima itu.
Sebuah rangkaian sajak ditulis tangan dengan sangat rapi.

Pada malam purnamalah aku mengiba, menunggu fajar menyampaikan kabar baiknya. Aku rindu hadirnya. Rindu wanginya. Dan rindu cintanya.
Dan pada setiap purnama aku merasakan hidupku yang sebenarnya. Yang tumbuh dan tetap lestari karena sinaran kasihmu.

Kembali aku terperanjat. Ini seperti sajak beberapa larik yang tadi malam muncul dalam layar monitorku. Mataku beralih ke layar monitor dan untuk kedua kalinya pagi ini aku terkejut. Merasa kebingungan dengan tulisanku sendiri. Mataku kembali membaca ulang kertas di tanganku. Di bagian bawah tertulis,

Selesaikan naskahmu sebelum purnama.

Di tengah kebingungan ponselku berdering.

“Ra!” Aku sudah hapal pemilik suara itu.
“Jangan telat lagi kirim naskahmu. Mas Hen bisa ngamuk lagi. Aku gak bisa terus terusan membelamu.“

“Ya. Aku selesaikan tepat waktu.“
“Jangan Cuma janji-janji, Ra! Buktikan!”

“Siap komandan!”

Aku menutup ponselku untuk mengakhiri pembicaraan kami. Rima, akan berceloteh terus tentang kebiasaanku terlambat.

Ya, aku akui sering terlambat mengirim naskah cerpenku untuk dimuat mingguan. Aku masih keteteran menyelesaikan naskah novelku yang sudah enam bulan mandeg. Celakanya cerpen mingguanku menjadi tertunda. Belum lagi masalah yang kualami tadi malam. Ceritaku seperti bernyawa kali ini. Aku hanyut dalam cerita fiksiku dan kenyataan yang menimpaku pagi ini.

Aku mencoba focus dan kembali merangkai aksara membentuk kata yang mengalir deras dalam larik-larik ceritaku. Aku tetap di kursi dengan jari jemari menari lincah di papan huruf. Hingga putaran waktu penggalannya bersisa separuh, aku masih duduk dengan pandanganku pada layar monitor.

Aku menghentikan jariku saat perutku mulai berdendang. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 1. Pantaslah perut berbunyi, menyiratkan aku sudah sangat lapar.

Aku beranjak ke dapur, membersihkan sisa makan malamku dan menyiapkan makan siangku. Seperti biasa sarapan pagiku terlewati dengan sukses. Kulihat kulkasku hanya menyisakan sebutir telur. Sepertinya telur dadar menjadi menu makan siangku kali ini.

Selesai menyantap makan siang, aku pun kembali ke meja kerja. Menjadi penulis cerbung tetap sudah kujalani hampir dua tahun. Cerita yang kuangkat adalah fiksi misteri. Genre tulisan kegemaranku sejak SMA. Nanti malam adalah purnama, naskahnya sedikit lagi selesai.
Dan lelaki itu tetap setia dengan kesendiriannya berteman purnama yang datang setiap kali hatinya juga rindu. Bercengkerama dengan malam yang ramah membelainya seperti belaian kekasihnya.
Lelaki itu akan menunggu purnama datang lagi padanya. Karena setiap purnama dia menghadirkan kekasihnya kembali.(*)

Pekanbaru, 30.03.2018

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita