Black Bell (episode 5)

Black Bell (episode 5)

Black Bell 5

Oleh: Lily Rosella

Hari Penangkapan

1937 M.

Menjelang fajar, saat para prajurit—negeri bagian barat—berjaga di Grauewald, daerah perbatasan, sekelebat bayangan hitam melintas cepat, tak lama kemudian semak-semak yang berjarak beberapa puluh meter dari camp bergerak-gerak. Salah satu prajurit yang tengah berpatroli langsung memegang pistolnya, berjalan tegap dengan tatapan awas.

“Siapa di sana?” tanyanya.

Tinggal beberapa langkah lagi, tapi pria berpakaian cokelat kayu tersebut langsung terperanjat. Kaki kanannya mundur selangkah, pun tangannya yang tengah memeganag pistol kini gemetar.

“Si—siapa itu?” tanyanya sekali lagi.

Tak ada jawaban. Hanya terdengar suara dengusan keras yang membuatnya bertambah gemetar. Apalagi saat ia melihat sorot mata menyala berwarna merah darah dari balik semak-semak yang perlahan mulai maju. Ia langsung menarik pelatuk, menembak ke semak-semak. Namun nihil, sosok bertubuh tinggi besar itu terus saja melangkah mendekatinya.

Kini, prajurit dengan tinggi 178 sentimeter tersebut terjengkang ketika hendak mundur lebih jauh lagi, sosok serupa serigala itu melompat dan berdiri tepat lima langkah di depannya. Pun begitu suara lolongan kencang yang membuat gagak-gagak bersahutan dengan cepat menyita perhatian para prajurit lainnya. Membuat mreka berlari menelusuri asal suara tersebut.

Nahas, saat mereka sampai di tempat, salah satu anggota mereka ternyata telah mati mengenaskan dengan tubuh dipenuhi luka cabik, pun dada yang berlubang.

“Cepat! Segera laporkan ini pada Jendral!” titah pria bertubuh kekar dan berkumis tebal kepada salah satu anggotanya.

Belum juga orang yang disuruh tadi pergi jauh, suara teriakan terdengar kencang. Membuat mereka saling pandang dan berlarian cepat.

“A—apa itu?”

Mereka semua terperanjat. Mematung dan menatap lurus ke depan. Tangan-tangan yang sedikit gemetaran itu bersiap dengan senjata masing-masing. Tanpa tahu apa yang mereka hadapi, seluruh mata itu tetap awas, terpusat pada sorot menyala berwarna merah darah yang terus menatap tajam ke arah mereka satu per satu. Mereka berusaha untuk tetap waspada.

“Cepat temui Jendral, dan minta padanya untuk mengirim bala bantuan segera. Kita tidak tahu seberapa kuat makhluk ini,” bisik Komandan Hans, pria berkumis tadi.

Seseorang bertubuh kurus di belakangnya berlari cepat ke camp, masuk ke dalam mobil jeep dan bergegas menuju Kota Lorg. Sementara itu prajurit lainnya sudah membentuk formasi sembari menodongkan pistolnya. Mereka tengah menunggu aba-aba komandan untuk bisa melesatkan tembakan sebelum kawan mereka yang masih diterkam makhluk tersebut mati mengenaskan juga.

Berbarengan dengan suara dengusan, juga bunyi tulang remuk, komandan mengangkat tangannya, membuat prajurit menarik pelatuk masing-masing dan menembak dengan perhitungan akurat. Namun makhluk serupa serigala dan manusia yang bisa berdiri dengan kedua kaki itu langsung bergerak cepat setelah membuang mangsanya—yang telah mati dengan keadaan patah tulang leher. Membuat peluru-peluru tersebut tak ada yang mengenai tubuhnya satu pun, dan begitu pula para prajurit, mereka hampir tidak dapat membaca gerakan makhluk itu meski matahari telah memancarkan sinar dari arah timur.

***

Kolonel Rambert dan beberapa pasukan dari Kota Lorg menghentikan kendaraan mereka. Pria dengan tanda lahir berwarna merah pudar di separuh wajahnya itu turun, kakinya melangkah pelan, melangkahi tubuh-tubuh yang terkapar tak bernyawa. Bau anyir menusuk indra penciuman seketika. Tubuh mayat-mayat itu sudah tak keruan lagi. Banyak daging-daging yang tercabik hingga terlihat jelas tulang-tulangnya, bahkan ada yang sampai keluar ususnya.

Di atas, matahari sudah hampir berada tepat di tengah. Dia melangkah sedikit lebih dalam memasuki hutan, untuk kemudian berhenti saat menatap sesuatu yang ada di hadapannya. Para prajurit yang hanya tersisa beberapa orang dengan tubuh luka-luka masih tetap sigap, pun Komandan Hans yang tangan kanannya merembeskan darah dan membuat bagian lengan bajunya menjadi merah, ia memegang pedang dengan tangan satunya. Mereka sudah kehabisan amunisi sejak dua jam lalu. Itu sebabnya mereka hanya bisa mempertahankan selematan masing-masing tanpa berbuat apa pun kepada prajurit-prajurit yang telah mati. Menatap teman mereka diterkam dan dicabik juga dimakani beberapa bagain tubuhnya.

Kolonel Rambert terdiam sejenak. Bola matanya yang berwarna cokelat terang terus saja memandangi makhluk buas tersebut untuk beberapa detik. Ini adalah kali pertama ia melihat makhluk seperti itu. Tubuh tinggi dan kekar, ditambah kekuatannya juga gerakan yang gesit.

“Bentuk formasi!” seru Kolonel Rambert.

Pasukan angkatan darat yang berjumlah seratus orang lebih kini mengambil bagian masing-masing, sebagian membentuk formasi melingkar—mengelilingi makhluk tersebut, dan sebagian lain berpencar mencari tempat yang strategis untuk melakukan penyerangan.

“Apa ada yang tahu tentang ini?” tanyanya pada Komandan Hans sembari membopong pria berkumis itu.

Komandan Hans menggeleng pelan. Tubuh kekar dengan tinggi 182 sentimeter itu masih saja moncoba untuk berdiri meski seluruh tenaganya sudah hampir terkuras semua, pun begitu luka-luka pada tubuhnya tak henti mengalirkan darah.

Kini Kolonel Rambert hanya bisa mengangguk. Ia baru percaya tentang desas-desus warga Trauernwald soal monster mengerikan yang meresahkan warga dan memangsa beberapa dari mereka saat bulan purnama bersinar.

“Tangkap dia hidup-hidup!” titah Kolonel Rambert.

Sama seperti fajar tadi, semua pasukan yang sudah membentuk formasi melingkar telah siap dengan senjata mereka. Kolonel Rambert menatap sekitar, melihat pohon-pohon yang menjulang pun tanah yang dipijakinya. Di hadapannya, pasukan angkatan darat telah melakukan perlawanan dengan menembakkan peluru, juga bergerak secepat mungkin untuk bisa menghindari serangan makhluk tersebut.

Makhluk berbulu lebar itu bergerak seperti kilat, melompat dan mendarat di tanah maupun batang pohon besar yang ada di sekitar. Instingnya yang bekerja cepat membuat ia mampu bergerak sangat gesit, apalagi saat ini orang-orang yang tengah mengepung dan mencoba untuk menyerangnya lebih banyak dari sebelumnya.

“Sudah berapa lama kalian bertarung?” tanyanya sambil melirik empat sampai lima prajurit perbatasan yang tersisa dan tengah ditangani oleh tim medis.

“Sejak fajar tadi,” jawab Komandan Hans yang sudah merebahkan punggungnya ke pohon dekat camp.

Mata cokelat terang itu langsung terbelalak ketika tangannya sedang membebat luka di sekitar bahu Komandan Hans. Ia tidak mengerti mengapa makhluk tersebut bisa begitu kuat.

Sedangkan hampir satu kilometer dari camp para prajurit dari pasukan angkatan darat Kota Lorg masih tetap bertarung. Beberapa dari mereka ada yang mengalami luka-luka, pun begitu ada yang mati. Meski tubuh mereka juga tinggi dan kekar, namun hanya dengan sekali hantaman saja mereka sudah terjerembap dan membentur pohon yang ada di sekitar. Pun begitu cakar yang panjang dan tajam itu mampu menyobek kulit hingga mengenai tulang hanya dengan sekali ayunan.

“Cepat tangkap dia sebelum pasukan perbatasan negeri bagian timur mengetahui ini!” Kolonel Rambert ikut bergabung bersama para prajuritnya. Tangannya juga memegang senjata dan sedang mengancang-ancang untuk menembak.

Mereka masih mengerahkan seluruh tenaga di Grauewald sejak siang tadi. Melawan sosok aneh yang ada di hadapan mereka. Berusaha menangkap makhluk tersebut sebelum diketahui oleh penduduk negeri bagian barat ataupun timur.

Pertarungan cukup sengit masih berlangsung. Beberapa prajurit sudah hampir kehabisan tenaga karena mahkluk tersebut rupanya sangat kuat. Dengan tubuh yang tinggi besar juga cakar yang tajam, ditambah lagi gerakannya yang sangat cepat membuat para prajurit harus tetap awas. Mereka tidak bisa menyerang sembarangan karena mendapat perintah untuk menangkap makhluk tersebut hidup-hidup.

Tubuh makhluk itu yang sudah mendapati beberapa luka gores dari pedang prajurit perbatasan, dan ada tiga peluru tembaga yang juga mengenai pergelangan, punggung, dan kakinya. Aneh memang. Biasa hewan sebuas apa pun akan mati jika tertembak, tapi makhluk ini tidak. Dia masih bisa berdiri dan melolong kencang, padahal ada sebuah peluru juga yang secara tidak sengaja meleset dan mengenai jantungnya.

Wush! Sosok bertaring tajam itu akhirnya tersungkur perlahan.

Tidak sulit bagi Kolonel Rambert untuk mengambil bagian tersebut melihat makhluk itu telah terengah-engah. Selain itu terlihat jelas kalau tangan kolonel paruh baya tadi mengokang senapan bius yang sempat diambilnya dari mobil jeep miliknya. Mengarahkan tepat ke jantung makhluk tersebut, sesenti dekat luka tembaknya.

“Cepat lepaskan sekarang!”

Jala yang terbuat dari tambang dengan batu penyanggah yang diikat di setiap ujungnya jatuh begitu saja saat tubuh makhluk aneh tersebut diam sejenak. Pun begitu ia masih merontak dan berusaha melepaskan diri.

“Kita akan membawanya ke kota,” serunya setelah menyuntikkan obat bius dengan dosis tinggi pada makhluk itu.

***

“Dari mana kau tahu tentang itu?” Aku melirik cepat pada wanita bermata biru itu.

Di sini, di dalam ruang rahasia di bawah kamar yang biasa kutempati, aku menceritakan tentang kejadian lima tahun lalu pada Anastasia. Tentu aku tak pernah melihatnya secara langsung atau dengan merasakannya—melihat kilasan—dari pepohonan di hutan perbatasan. Aku belum pernah ke sana sebelumnya. Aku mendengar kisah ini dari Paman Robert di pertemuan malam itu. Malam setelah surat dari Albert sampai ke tanganku.

“Lalu, dari mana kau tahu kalau surat itu berisi petunjuk?” tanyaku kemudian.

Anastasia yang sempat duduk sambil mendengarkan ceritaku dengan seksama akhirnya merebahkan diri lagi. Menatap langit-langit sebentar dan kembali memejamkan mata. Ia tak berkata apa pun hingga lima menit kemudian membuka suara.

“Albert yang memberikan surat itu padaku,” jawabnya.

“Albert?”

Anastasia membuka matanya. Menatapku sambil menghela napas. “Dia mengatakan padaku untuk memberikan surat itu padamu dan membawamu pergi dari tempat ini sesegera mungkin.”

“Kenapa?”

“Di sini sudah tidak aman lagi. Kau sudah melihatnya sendiri, bukan?”

“Tidak, bukan itu maksudku.” Aku menggeleng. “Kenapa dia tidak menemuiku dan mengatakannya langsung. Atau dia bisa membawaku pergi dengannya.” Aku menatap Anastasia lekat-lekat.

Ia mengangkat kedua bahunya. Lebih memilih untuk tidur ketimbang menjawab pertanyaanku yang mungkin tidak ia ketahui jawabannya.

(Bersambung)

Lily Rosella, gadis berdarah Sunda – Betawi yang kerap disapa Lily ini lahir dan besar di Jakarta. Penyuka dongeng dan cerita bergenre fantasi. Ia juga menyukai warna-warna pastel.

FB: Aila Calestyn / Lily Rosella

Email: Lyaakina@gmail.com

Blurb cerbung: Black Bell

Makhluk mengerikan berwujud srigala itu ditangkap di hutan perbatasan. Setelah diamankan oleh pasukan angkatan darat, ia dibawa ke laboratorium kota. Di bawah wewenang Jendral Baldric, makhluk bertubuh besar dan bercakar tajam itu diteliti oleh Profesor Lorenzo dan Profesor Shin.

Oleh sang Jenderal, hasil dari penelitian tersebut rupanya disalahgunakan. Mutasi gen monster itu diujikan ke beberapa warga sebagai kelinci percobaan dan berdampak fatal bagi negeri bagian barat. Lebih dari itu, kematian kedua professor tersebut menjadikan anak mereka, Charol, berada dalam bahaya. Ia dikejar pasukan Jendral karena disangka mampu mengatasi amukan makhluk itu.

Dibantu oleh Albert, sahabat baik sekaligus pemuda yang dicintai Charol, mereka melarikan diri. Malangnya, Albert telah terinfeksi virus manusia serigala itu, yang membuatnya lama-kelamaan kehilangan kendali atas dirinya. Ia pun menjadi pelindung utama, sekaligus bahaya besar yang mengancam Charol.

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita