Salah Sasaran
Oleh: Noery Noor
Maling! Maling! Maliiiing!
Terdengar riuh teriakan memecah keheningan malam. Jarum jam menunjuk di angka sebelas. Suara gemerudug kian mendekat. “Ke arah rumah ini!” batinku. Sebenarnya ini hal yang sudah biasa terjadi, rumah ini berada di ujung desa, agak jauh dari jalan raya. Sehingga susasana sepi selalu menemani hari-hariku, terlebih saat Mas Rahman tak ada di rumah.
Baru saja aku mau menuju ke ruang tamu, kudengar hiruk pikuk suara beberapa orang memasuki rumah melalui pintu yang memang tidak terkunci. Beberapa warga sipil dan dua orang berseragam polisi masuk, mulai memeriksa ruang demi ruang dalam rumah. Tanpa di komando mereka menyebar dan mengecek setiap ruangan yang ada.
Aku berdiri di sudut ruang tamu menahan napas. Kaget, takut dan was-was, tentu saja!
“Periksa semua ruangan!” suara lantang polisi muda itu diikuti masuknya beberapa warga yang lain ke dalam rumah.
Aku menyisih, memberi ruang agar mereka bergerak leluasa. Lebih cepat lebih bagus. Toh aku tidak menyembunyikan siapa pun di rumah ini. Begitu mereka selesai dan pergi, aku bisa segera menyelesaikan pekerjaanku yang sempat tertunda dengan tenang.
“Semua ruang sudah kami periksa, tak ada yang mencurigakan,” warga yang tadi masuk memeriksa ruangan datang melapor.
Polisi berwajah ganteng itu memberi isyarat kepada temannya untuk ganti memeriksa.
Dengan lutut gemetar aku berdiri menanti yang selanjutnya akan terjadi, hingga keduanya kembali ke ruang tamu.
“Mohon maaf sudah mengganggu istirahat Ibu. Silahkan kembali istirahat, pintu sebaiknya dikunci saja,” kata polisi ganteng yang sejak tadi memerintah meminta maaf dengan hormat kepadaku.
Aku menghela napas lega, kemudian mengantar mereka hingga ke pintu. Menatap bayang mereka menghilang di telan kegelapan malam.
Kembali sunyi.
Langkah mereka menjauh menuju hutan kecil di belakang rumah. Para pencuri memang sering menggunakan tempat itu untuk bersembunyi dari kejaran petugas keamanan atau warga. Kecuali itu ada jalan besar yang membelah hutan di belakang rumah dan menghubungkan desa kecil kami dengan kota terdekat. Bisa jadi lalu lalang kendaraan akan membantu mereka untuk melarikan diri.
Masih dengan jantung berdetak kencang, aku kembali ke ruang kerja. Laptop masih menyala. Satu slide lagi pekerjaanku akan selesai dan file materi diklat siap kukkirim lewat email ke panitia agar bisa diprint dan digandakan.
Belum sempat aku duduk terdengar ketukan di pintu. Aku berharap itu Mas Rahman atau Akmal anakku yang hingga selarut ini belum pulang.
“Gimana, Bu? Kau tidak apa-apa kan?” wajahnya yang kuning langsat sedikit pias tersaput kabut cemas saat menatapku.
“Aku baik-baik saja, Mas. Tapi Akmal belum juga pulang,” suaraku berbalut gelisah sambil menatap Mas Rahman.
“Tadi sudah telepon, dia pulang agak terlambat. Malah aku sarankan untuk nginap di rumah Mas Farid saja, kondisi sedang tidak aman,” sambung Mas Rahman sambil mengganti baju. Ia akan segera ke balai warga untuk berjaga. Malam ini ia bertugas ronda.
“Mas Rahman mau pergi juga?” tanyaku sedikit khawatir. Entahlah, perasaanku tidak enak.
“Iya, Wik … nggak enak kalo warga yang lain sedang gelisah gini kok aku malah enak-enak tidur di rumah. Ndak lumrah itu?” katanya sambil memegang kedua bahuku yang masih bergetar. Laki-laki yang sudah sembilan belas tahun bersamaku itu mengerti, aku sedang cemas dan ketakutan.
“Tak akan terjadi apa-apa, Wik. Semua akan baik-baik saja. Kau tidurlah, menjelang dini hari aku pasti pulang,” katanya pelan kemudian diakhiri sebuah kecupan di kening sebelum kemudian benar-benar melangkah ke pintu.
Kutatap kepergiannya seperti seorang gadis yang baru diapeli, melihatnya ia menghilang dalam kegelapan malam. Mas Rahman membawa kunci serep sehingga aku bisa mengunci pintu dari dalam.
Semalaman aku nyaris tak dapat memicingkan mata. Berkali-kali aku terbangun dan hilir mudik dari ruang yang satu ke ruang yang lain. Berkali-kali ku tengok kamar Akmal, namun anak lelakiku itu belum juga pulang.
Malam terus merayap menyajikan sunyi yang mencekam. Merasa stres oleh tekanan sunyi yang tak kumengerti. Gelisah … takut … dan entah apa lagi. Malam terasa begitu panjang, seolah ia akan mengantarkanku pada suatu keadaan yang sulit aku lalui. Bayangan gelap memasung anganku di lembah ketakutan.
Hingga dini hari Mas Rahman belum juga pulang.
Pagi-pagi buta, sehabis subuh akhirnya aku memutuskan berangkat menuju bale warga yang letaknya tak begitu jauh dari rumah. Jalanan lengang dan sunyi, rasa cemas dan gelisah terus saja melilit jiwaku saat kian mendekati tujuanku.
Aku tertegun saat melihat warga masih berkumpul di bale warga. Bahkan ada beberapa perempuan juga masih ada di sana.
Kugegas langkah dengan ribuan tanya dan jantung berdegup kian kencang.
Mereka saling pandang saat melihat aku datang. Sekilas kudengar bisik-bisik di antara mereka.
“Ada apa ini? Apa yang terjadi?” tanyaku penuh rasa ingin tahu sambil bergegas mendekat.
Dengan cepat kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, tak kulihat Mas Rahman. Ah barangkali ia sedang melakukan tugas lain. Beberapa meja disusun berjajar dan ada tiga kantong jenazah ada di atasnya.
Dadaku berdegup kian kencang melihatnya. Jangan-jangan …. Bayangan-bayangan buruk berkelebatan di kepalaku.
Kudekati kantong jenazah yang sedikit terbuka. Keduanya tak kukenal. Dua orang pria, yang satu berwajah persegi, dengan kumis dan berewok tebal, berkulit sawo matang. Di sebelahnya seorang dengan muka tirus dan dahu lancip berkulit sama. Keduanya di penuhi bercak darah mengering pada bagian kepala hingga lehernya.
Polisi muda itu membantu membuka kantong jenazah ketiga. Debar jantungku terasa semakin kencang. Rasa sakit mengiris ulu hati. Dengan cemas kuperhatikan gerakan polisi muda itu hingga tampak seraut wajah yang sangat aku kenal. Remaja berusia delapan belas tahun, dengan kulit jernih dan kumis tipis yang baru tumbuh. Wajah itu tampak tersenyum tenang, namun tidak membuatku bahagia … senyuman yang justru menarikku ke dalam luka yang paling sakit yang pernah kurasakan.
Kutarik paksa retsluiting yang meyembunyikan tubuh penuh bercak darah itu.
“Akmal!” jeritku tertahan.
Dia Akmal anakku. Diakah pencuri itu? Kugelengkan kepala meski tak seorang pun bertanya. Tidak mungkin dia pelakunya. Kalaupun itu benar, aku tetaplah ibunya.
Kutatap polisi muda yang sejak tadi menemani dengan tatapan penuh tanya.
Ia memberi hormat, dengan penuh rasa sesal ia berkata, “Maaf Ibu, putra Ibu telah menjadi korban saat kami melakukan pengejaran semalam. Sebutir peluru dari senapan pencuri mengenai sepeda motor yang dikendarai putra Ibu, sehingga putra Ibu terjatuh.”
“Anakku …,” bisikku dalam tangis tertahan.
Kuciumi wajahnya yang masih terasa hangat. Tangannya terkulai tidak lagi menyambut pelukanku seperti biasanya. Wajahnya pucat dan beku tanpa ekspressi, meskipun senyum itu sama seperti tadi. Tapi mata itu tetap tak mau terbuka.
“Anakku …,” sekali lagi aku merintih pedih. Ribuan pedang tak terlihat seolah mencacah isi dadaku! Seluruh otot tubuhku terasa layuh lunglai, sungguh aku tak sanggup menerima semua ini, ini terlalu berat bagiku, Nak.
Aku benar-benar tak sanggup menerimanya, kehilangan yang begitu tiba-tiba … merenggut semua cinta dan harapan dalam hidupku.
Ya Allah… kuatkanlah aku, karena Engkaulah pemilik dan pemberi kekuatan bagi segala segala jiwa.
Masih sempat aku tersenyum pilu …, tanpa menyalahkan apa pun dan siapa pun. Bukan kisah tragis itu yang kini ingin kudengar. Tapi aku lebih ingin agar bisa menerima kenyataan ini, bahwa Akmal sudah pergi. Kadang kita merasa menjadi satu-satunya pemilik dari semua yang saat ini bersama kita, namun sesungguhnya semua itu hanyalah titipan-Nya semata. Entah dengan cara apa Dia akan mengambilnya, entah berapa lama ia akan ada di sisi kita. Biarlah bunga cintaku itu kini pergi, kuharap kelak mekar di surgaku, meskipun hari ini telah layu di hidupku.
Hanya itu yang sempat terlintas di akhir titik kesadaranku, kemudian gelap, aku tak melihat dan merasakan apa pun.(*)
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita