Tentang Anakku
Oleh: Noery Noor
Pulang sekolah Viko menangis. Ada semburat warna merah di telinganya. Seseorang mungkin baru saja menjewer-nya.
Viko memang sedikit nakal. Setiap hari selalu bikin ulah. Di sekolah maupun di rumah sama saja. Aku sendiri sering dibuat jengkel karena ulahnya. Bagaimanapun anak adalah anak. Siapa lagi yang akan menyayangi dan melindungi kalau bukan aku, orangtuanya.
“Kau kenapa,Vik?” tanyaku penasaran.
“Tadi di-jewer sama Bu Wening,” jawabnya di sela isak tangisnya. Darahku rasanya mendidih. Meskipun setiap orang mengatakan anak semata wayangku ini nakal, tapi tak seorangpun boleh menyakitinya, apalagi sampai melukainya.
“Kau salah apa?” cecarku lagi. Tak sabar dan penasaran.
“Tidak salah apa-apa, tadi cuma telat masuk setelah istirahat,” jawabnya lagi sambil menangis.
Rasa marahku kian memuncak. Segera aku putuskan untuk menemui perempuan itu. Kebetulan rumahnya tak jauh dari rumahku. Bergegas aku melangkah, tak perlu ganti baju dan segala macam, toh rumahnya tidak terlalu jauh.
“Ke mana, Par?” tanya Sumi saat melihatku berjalan tergesa-gesa dengan langkah panjang di sore menjelang Ashar.
“Ke rumah Bu Wening,” jawabku pendek.
“Ngapain?” tanya perempuan bertubuh semok itu. Ada rona keheranan di wajahnya yang lonjong persegi.
“Pengin ngelabrak. Hari ini dia sudah mencubit telinga anakku, aku saja yang sudah mengandung, melahirkan dan membesarkannya dengan susah payah serta ngasih makan dia tiap hari tak pernah sekalipun menyakitinya …! Lha ini kenal juga baru saja sudah bikin perkara. Beraninya dia menyakiti anakku!” suaraku lantang di sore dengan terik yang masih garang.
“Meskipun sekolah gratis tidak berarti dia seenak udelnya memeperlakukan anak-anak,” lengkingku karena marah. Tentu disertai gerak bibir kanan kiri atas bawah tak karuan.
“Kamu yakin Par? Setahuku Bu Wening orangnya baik, lembut, jarang sekali memarahi anak-anak, terkecuali dia memang kelewat nakal,” bela Sumi.
Aku hanya menjeb tak peduli, itu wajar hampir semua anak mengidolakan dia.
Saat itu melintas Ninin yang baru pulang dari mengaji.
“Nin, tadi ada kejadian apa di sekolah?” tanya Sumi pada anaknya yang kebetulan satu kelas dengan anakku.
“Em …” mata bocah berusia sepuluh tahun itu mengerjap-ngerjap mencoba mengingat kejadian hari itu. Binar matanya menyurut saat bertemu tatap denganku.
“Tadi Viko diapain sama Bu Wenaing?” tanyaku sambil menarik bahu Ninin dengan kasar. Walhasil, bocah itu makin ketakutan.
Ninin undur beberapa langkah, bersembunyi di balik tubuh ibunya. Memeluk pinggang ibunya dari belakang. Hanya kucir dakocannya yang terlihat.
Sumi berbalik lalu berjongkok di depan anaknya yang nomer tiga, lalu bertanya pelan, “Tadi siang di kelas ada kejadian apa?” Matanya menatap bocah itu. Meyakinkan bahwa ia akan melindungi anaknya.
“Tadi Viko tidak mau mengerjakan tugas yang diberikan Bu Wening. Malah ngganggu kami yang sedang belajar. Terus PR-nya juga tidak pernah di kerjakan. Lalu …,” Ninin menjawab setelah terdiam cukup lama. Sesekali berhenti sejenak. Mencoba mengingat kejadian tadi siang. Mata kelincinya terus menatap emaknya.
“Lalu apa?” tanya emaknya pelan, meskipun ia tahu, aku sudah tidak sabar menunggu kelanjutannya.
“Lalu Bu Wening menjewer Viko, begitu, ‘kan?” teriakku emosi. Tak sabar menunggu lanjutan cerita bocah berusia sepuluh tahun itu.
“Bukan!” teriak Ninin sambil menggelengkan kepalanya berulang-ulang.
“Tadi Bu Wening cuma bilang, kalau Viko mau pinter harus belajar, memperhatikan guru, rajin ngerjain PR. Tapi Vikonya marah, terus memukul meja Bu Guru. Saat itu Bu Kepala Sekolah masuk ruangan, Viko di tegur sama Bu Kepala Sekolah,” papar Ninin sambil menatapku ragu.
“Lalu kenapa kupingnya kemerahan?” tanyaku sambil menatap Ninin yang ketakutan bersembuyi di balik bokong Sumi yang semok.
“Berkelahi sama Dian, mereka jewer-jeweran,” jawab Ninin masih dengan ketakutan.
“Tidak mungkin!” bantahku sengit, “Sekarang mereka sedang bermain sepeda di belakang rumah,” jawabku tak percaya. Saat aku berangkat tadi kedua anak itu sedang bermain sepeda, bergantian mengayuh dan mendorong sepeda.
“Sebaiknya kamu tidak usah ke sana, Yem. Kalau itu memang benar kau bisa mendatangi sekolah besok pagi, saat sekolah buka,” saran Sumi.
O, tidak! Tentu saja aku tak akan pernah menerima saran siapa pun. Viko itu anakku satu-satunya, siapa lagi yang akan membela kalau bukan aku ibunya?
“Aku akan ke sana, sekali-sekali aku yang ngasih pelajaran dia, bukan cuma dia saja yang boleh kasih pelajaran anakku,” sambutku pongah.
Tak kudengar lagi teriakan Sumi yang berusaha mencegahku. Dengan langkah panjang aku bergegas menuju rumah Wening. Semua orang tahu, dia seorang wanita yang baik, tutur katanya selalu lembut, jarang terlibat pertikaian denga warga di dusunku. Tapi setiap orang bisa saja khilaf dan melakukan kesalahan. Aku harus menemuinya demi anakku.
Tak kusangka Sumi dan Ninin mengikuti di belakang.
“Aku capai, Mak …,” kudengar suara Ninin memanggil emaknya.
“Ayo Nin! Siapa lagi yang kan meluruskan masalah ini kalau bukan kamu,” terdengar suara Sumi menyemangati.
“Tapi aku lelah, Mak …,” rengek Ninin meskipun ia terus berjalan.
Lalu sunyi, waktu aku menoleh, kulihat Ninin sudah berada di punggung Sumi. Dalam hati aku mencibir, sampai segitunya ia membela guru perempuan itu.
“Ada apa, Bu?” tanya perempuan bertubuh tinggi itu saat aku sampai di rumahnya. Tubuhnya tertutup rapat oleh hijab dan gamis panjang. Beberapa anak tampak duduk di tikar, dengan buku pelajaran yang masih berserakan terbuka.
“Tadi Viko pulang menangis, katanya dijewer Bu Wening,” kataku sambil mengatur nafas yang ngos-ngosan karena datang dengan setengah berlari.
“Bukankah tadi berkelahi dengan Dian?” perempuan itu tampaknya mencoba menenangkan aku. Mencoba mempengaruhiku agar aku tahu yang salah dalam hal ini bukan dirinya, tapi Viko.
Beberapa anak yang tengah belajar ikut berkerumun. Mereka bergumam tak jelas, namun hampir semuanya menunjukkan sikap yang kurang suka terhadap Viko.
“Bukan begitu, Bu. Awalnya saya hanya menanyakan PR pada Viko, tapi dia belum mengerjakan. Setelah itu saya kasih tugas, tapi dia juga tidak mengerjakan. Waktu saya suruh, dia malah marah, bahkan sampai memukul meja guru. Lalu saya tegur, sikapnya itu tidak sopan, saat itu Bu Kepala Sekolah masuk dan ikut menegur Viko, sekalian memperingatkan anak-anak yang lain agar tidak mencontoh perbuatan Viko. Saat pulang, ia berkelahi dengan Dian, saya hanya melerai,” pelan dan jelas keterangan yang diberikan Bu Wening padaku.
Aku masih tak percaya.
“Maaf, Par. Kalau boleh berpendapat sebenarnya hasil pendidikan itu yang merasakan manfaatnya kita, para orang tua. Bukan sekolah dan juga bukan guru, kok Par,” Sumi yang baru datang ikut menimpali. Memang itu tujan dia datang ke sini, membela Bu Wening!
“Lha wong kalau mereka pinter kita juga yang seneng. Kalau dia nakal dan selalu bikin masalah kita juga yang harus tanggung jawab, Par. Bu Wening hanya tanggung jawab selama di kelas empat, sekolah juga hanya bertanggung jawab sampai lulus SD. Lha kita? Sampai kapanpun ketika dia ada dalam masalah, kita juga yang harus tanggung jawab, to?” suara Sumi lantang.
Semangatku yang semula berapi-api tiba-tiba lenyap entah ke mana. Kata-kata cercaan yang tadinya terbayang jelas di kepala menguap tak tentu rimbanya.
“Nah sekarang mau kau bikin seperti apa masa depan Viko, itu terserah kamu, Par. Itu pilihan kita sebagai orang tua. Tapi itu pendapatku, karena anakku tidak cuma satu, jadi aku bisa merasakan manis getirnya mengasuh anak dan pengaruhnya bagiku,” nada suaranya mulai merendah.
“Menurut saya yang dikatakan Bu Sumi itu benar,” tambah Bu Wening.
“Sekarang anak-anak dituntut memiliki banyak kemampuan, dan itu harus mereka pelajari dengan tekun dan sungguh-sungguh. Tanpa itu mereka tidak akan bisa bersaing saat dewasa nanti. Jadi saya mohon bantuan Ibu untuk mendampingi putranya dalam belajar dan mengerjakan tugas di rumah,” lanjutnya sambil menatapku, “semua dilakukan semata-mata untuk keberhasilan Viko, Bu. Sama sekali bukan untuk keperluan kami,” kata-kata itu meluncur pelan dari bibir Bu Wening.
Sikapnya yang sabar dan katanya yang tetap pelan dan lembut membuatku terdiam. Sebagai orang tua tentu saja aku ingin agar anakku menjadi anak yang lebih baik di masa mendatang. Sebenarnya sekolah secara berkala mengadakan pertemuan dengan wali murid, namun memang belum pernah sekalipun aku datang.
“Ngapain Emak ke sini?” tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku. Viko berlari dari halaman menuju ke arahku.
Anak itu?
“Mulai sekarang Viko akan ikut belajar bersama teman-teman di sini, boleh ‘kan Mak?” tanyanya polos tanpa dosa. Di belakangnya berdiri Dian. Aku tercengang! Rupanya anak ini menyusulku juga.
“Itulah anak-anak, Par. Kita orang tua yang selalu berlebihan,” sindir Sumi sambil mohon pamit pada Bu Wening.
“Boleh nggak Mak?” desak Viko sekali lagi.
Cepat-cepat aku mengangguk. Selama ini memang Viko sering meminta izin untuk belajar bersama di rumah Bu Wening, tapi belum pernah sekali pun aku ijinkan. Pikirku belajar cukup di sekolah.
Dengan malu aku tinggalkan halaman rumah mungil itu saat matahari sudah condong ke barat. Seharusnya aku berterima kasih pada sekolah dan para guru yang sudah mengasuh dan mendidik Viko. Jujur saja, selama ini aku tidak pernah sekolah untuk menjadi orang tua.
Ternyata menjadi orang tua di jaman ini tidak cukup kalau hanya sekedar memastikan anak punya pakaian dan kenyang perutnya saja, serta terpenuhi kebutuhan peralatan sekolahnya. Sebagai orang tua harusnya aku mengajarkan Viko agar bersikap lebih sopan dan menghormati. (*)
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita