Black Bell 3
Oleh: Lily Rosella
Aku menyeka tubuh Paman Robert. Sudah hampir sebulan separuh tubunya lumpuh. Pria berusia lima puluh dua tahun ini masih memiliki beberapa bekas luka cakar yang samar, pun di punggungnya terlihat jelas tato bergambar bulu elang. Dulu dia adalah seorang letjen angkatan darat di negeri bagian barat.
“Hati-hati,” titahnya saat aku menyeka bagian sikut.
Sebenarnya aku sudah hafal bagaimana cara menyeka bagian ini. Aku lebih sering melewatkannya dan membersihkan dengan air yang baru agar boroknya tidak bertambah parah nanti.
“Kau sudah mendapat kabar dari pemuda itu?” tanyanya.
Aku menggeleng. Albert benar-benar tidak memberi kabar sama sekali, membuatku terkadang berpikir, mungkin pemuda tersebut sudah mati saat menginjakkan kakinya kembali di desa. Tempat semengerikan tersebut … seharusnya dia tidak ke sana.
“Bagaimana kabar orang tuamu?”
“Entahlah,” jawabku singkat.
Paman Robert tentu mengenal kedua orang tuaku. Pria ini juga bekerja di bawah komando Jenderal Baldric sama seperti Ayah dan Ibu. Bedanya Ayah dan Ibu adalah seorang ilmuwan, bukan prajurit perang. Mereka bekerja di sebuah laboratorium besar yang ada di kota. Itu adalah laboratorium negara yang berada di bawah wewenang Jendral Baldric. Aku pernah datang ke sana sekali dan kebetulan bertemu dengan Paman Robert yang tengah mengawasi orang-orang yang mendorong peti besar. Entah apa isinya.
Aku sudah mendengar cerita yang beredar di desa ini. Anak-anak gadis seusiaku sering kali membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan kejadian Bulan Purnama Berdarah. Aku tidak begitu memerhatikan apa yang sedang mereka bicarakan, hanya terkadang satu-dua cerita terdengar jelas olehku. Termasuk tentang Paman Robert yang kabur dari pangkalan angkatan darat dua hari sebelum tragedi mengerikan itu terjadi, dan … sesuatu yang lain.
“Kau sudah mendengar berita di radio tadi malam?” ucap seorang gadis berambut pendek yang sedang asyik merendam kakinya di anak sungai saat itu.
“Berita apa?”
“Berita tentang siapa dalang di balik kejadian Bulan Purnama Berdarah.”
Aku mengabaikan apa yang mereka ucapkan. Tetap fokus mengerjakan tugas mencuci baju para manual yang sama-sama berstatus pengungsi sepertiku. Aku tidak berminat mengetahui apa pun, apalagi jika ada seseorang yang bertanya padaku seperti apa rasanya berada dalam situasi mengerikan tersebut. Aku enggan menanggapinya.
“Dari yang aku dengar di berita, Profesor Lorenzo dan istrinya, Profesor Shin, yang menjadi dalang dalam kejadian tersebut!” jelas gadis berambut pendek tadi sambil melipat kedua tangannya di dada.
“Dan katanya, anak mereka adalah salah satu bahan percobaan atas penelitian besar itu. Itulah kenapa para polisi dikerahkan untuk mencari anak semata wayang Profesor Lerenzo dan Profesor Shin yang mendadak hilang saat kejadian Bulan Purnama Berdarah,” lanjutnya.
“Lalu bagaimana jika anak itu tiba-tiba muncul di hadapan kita?”
Semua gadis di sana saling menjerit. Menatap satu sama lain sambil mengusap-usap lengan masing-masing.
“Kau baik-baik saja?” bisik Anastasia begitu mengetahui raut wajahku yang tak bersahabat.
Aku menghela napas, memilih untuk menyelesaikan cucianku lebih cepat agar bisa kembali ke desa daripada mendengar gosip tidak penting tersebut.
“Bukankah bagus jika kita menemukannya?” Aku menghentikan gerakan tanganku, melirik sekilas pada gadis berambut pendek yang sekarang sedang membenarkan bando cokelatnya.
“Kenapa? Bukankah dia bisa saja membunuh kita?”
“Kita bisa kaya hanya dengan menyerahkannya kepada polisi,” sahutnya sambil tersenyum miring.
Anastasia menggenggam tanganku. Di desa ini hanya beberapa orang saja yang tahu identitasku yang sebenarnya, seperti Anastasia, Paman Robert, Bibi Rose, dan mungkin beberapa tetua yang ada di pedepokan. Sejak datang ke sini Bibi Rose selalu mengingatkanku untuk tidak mengatakan kepada siapa pun tentang siapa dan dari mana asalku. Bahkan menyebutkan namaku saja tidak boleh.
“Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Paman Robert membuyarkan lamunanku.
Aku tersenyum simpul, lantas menggeleng. Melanjutkan menyeka tubuh letjen di hadapanku ini.
“Aku yakin orang tuamu akan selamat. Dan dari yang kudengar, Jendral Baldric tidak akan berani melakukan sesuatu terhadap ibumu. Dia adalah aset yang paling penting,” ujarnya.
Lengang. Aku tak berkomentar apa-apa. Sungguh, aku tidak ingin tahu apa pun lagi mengenai kedua orang tuaku. Bagiku, mereka berdua telah lama mati sejak sebulan lalu. Membuatku merasa perlu untuk mengubur dalam-dalam siapa diriku sebenarnya.
“Aku bisa menjelaskannya nanti, tapi, sekarang kita harus pergi terlebih dahulu meninggalkan desa ini,” kalimat itu kembali terngiang.
Entah kapan Albert akan menjelaskan semuanya. Aku bahkan sudah meninggalkan desa tersebut, tapi tetap saja dia tidak mengatakan sesuatu padaku. Dia hanya pergi begitu saja setelah meninggalkanku di perbatasan, membuatku menunggunya hingga sekarang tanpa kabar apa pun.
Paman Robert menyentuh punggung tanganku. Membuat gerakan tanganku yang tengah menyeka tangan kirinya terhenti. “Kau baik-baik saja?” tanyanya.
“Aku tidak apa-apa,” jawabku sembari tersenyum. Lantas kembali menyeka tangan Paman Robert, untuk kemudian mengganti air guna mengobati borok di tangan satunya.
***
“Alison! Alison …!” seru Anastasia sembari mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
Aku mengangkat alis kananku. Setidaknya itulah namaku di tempat pengungsian ini. Paman Robert yang memberikannya sembari memintaku untuk melupakan nama yang pernah diberikan kedua orang tuaku. Katanya semua ini hanya akan berlangsung sampai keadaan menjadi lebih baik.
Tidak masalah. Lagi pula mendengar nama Charol hanya akan membuatku teringat masa lalu yang benar-benar ingin kulupakan. Tentang Ayah dan Ibu, Albert, juga kilasan malam itu. Aku ingin melupakan semuanya.
“Alison!”
Aku melambaikan tangan mendengar seruannya yang entah sudah keberapa kali. Ia berlari menghampiriku. Bisa aku lihat dari anak tangga ini kalau gadis yang biasa dikepang dua itu memegang sesuatu.
“Ada apa?”
“Tunggu dulu,” ucapnya. Anastasia menunduk dan memegang kedua lutut, kemudian mengatur napasnya yang terengah-engah.
Aku menunggunya hampir lima menit, penasaran kenapa gadis itu berlari dengan ekspresi wajah yang cemas bercampur senang.
“Ada apa?” tanyaku sekali lagi.
Ia menatap kedua bola mataku lekat-lekat. Sebaris senyum terlukis di wajahnya yang cantik, pun lesung pipinya juga terlihat jelas.
“Ini,” ucapnya sambil menyerahkan amplop berwarna cokelat.
“Apa ini?”
Dia tersenyum cerah. Kepalanya sedikit ditelengkan, pun tangannya yang berisi menepuk bahuku.
“Apa yang sedang kau lakukan?” tanyaku bingung.
“Itu surat dari Albert,” jawabnya cepat.
Deg!
Jantungku berdegup kencang. Pun mataku berkaca-kaca. Rupanya pemuda bermata cokelat almond tersebut masih hidup setelah menghilang tanpa kabar 3 tahun lamanya. Syukurlah!
“Bacalah! Aku ingin tahu apa isi surat itu,” pinta Anastasia.
Aku menatap gadis tersebut. “Kau belum membacanya?”
“Bagaimana aku dapat membacanya jika aku tidak bisa membaca?”
Ah, benar juga. Ini desa terpencil, jarang sekali ada orang-orang yang bisa membaca. Apalagi setelah aku melihat isi surat yang tengah kupegang. Ini surat rahasia. Albert menggunakan tulisan lain yang biasa ia tunjukan padaku. Surat ini berisi simbol-simbol yang dibuatnya sendiri. Jadi, kalaupun Anastasia bisa membaca, ia juga tidak akan mengerti isi surat ini.
“Lain kali aku akan membacakan sesuatu untukmu.”
“Kenapa?”
Aku menggeleng, tersenyum kecil padanya.
“Apa itu rahasia?”
Aku mengangguk.
“Baiklah. Kau bisa membacakan padaku sebuah cerita kalau begitu,” jawabnya.
Aku mengangguk sekali lagi. Di desa ini aku lebih suka bermain bersama Anastasia dibanding yang lainnya. Wanita berambut merah yang berdiri di hadapanku ini sangat ramah dan ceria. Dia juga tidak suka mencampuri urusan orang lain, berbeda dengan gadis-gadis yang biasa kutemui di anak sungai. Mereka lebih suka bergosip sepanjang hari.
“Oh, iya!” seru Anastasia mengagetkanku.
“Kenapa?”
“Paman Robert menyuruhku menyampaikan pesan padamu untuk datang ke tempatnya nanti malam. Ada hal penting yang hendak ia sampaikan.”
“Hal penting apa?”
“Jika aku tahu maka itu bukan penting lagi namanya,” sahut Antastasia yang memonyongkan bibirnya.
Aku tertawa kecil. Mengantongi surat beramplop cokelat tadi dan pergi bersama Anastasia ke hutan seperti biasa. Kami hendak mencari kelinci hutan, sama seperti yang dilakukan pemuda-pemuda di desa ini. Bagi kami hal seperti memasang jebakan, mengintai, dan memanah lebih menyenangkan ketimbang memasak dan mencuci.
“Kau membawa panah lagi?” tanyanya.
Aku mengangguk, berjalan di belakangnya sambil memegang erat busur.
“Nanti biar aku saja yang memanah.”
“Kenapa?”
“Kau belum bisa memanah, Alison. Sejak kecil kau selalu di rumah dan melalukan eksperimen, tanganmu belum benar-benar terlatih untuk melakukan hal seperti ini meski sudah belajar selama dua tahun. Jika kau yang memanah, maka aku ragu kalau kita bisa mendapatkan kelinci hutan untuk makan malam nanti,” ucapnya seraya tertawa senang.
Aku mengendus, tak berkomentar apa-apa. Tentu saja aku bisa memanah meski tak semahir dia. Gadis bermata biru tersebut sudah belajar setahun lebih dulu dariku dengan Paman Robert. Itulah kenapa dulu dia sangat antusias sekali hanya dengan menyebut atau mendengar nama Paman Robert.
***
Di dalam kamar, ditemani penerangan dari lentera yang sengaja kuletakan di meja kecil samping ranjang, aku membaca surat tersebut. Mengamati setiap simbol yang ditulis Albert, mencoba mencerna maksud pesan tersembunyi yang ingin ia sampaikan padaku.
“Kenapa ia menggunakan simbol-simbol ini?” Aku masih memegang kertas berwarna putih kecokelatan tersebut. Menghela napas.
Setengah jam sudah aku berpikir. Mencari simbol-simbol penting yang ia sisipkan di antara simbol lainnya. Jika ia menulis surat seperti ini mustahil tidak ada sesuatu yang penting di dalamnya.
Aku kembali memerhatikan setiap goresan yang terukir di atas kertas, mencoba mencari sesuatu yang berbeda, pun menerka-nerka, hingga akhirnya mataku terbelalak saat menemukan beberapa simbol dengan bentuk yang tak biasa. Menggabungkan satu per satu arti simbol-simbol tersebut sampai membentuk sebuah kalimat.
“Apa yang sebenarnya hendak dia sampaikan padaku?”
Aku menaruh surat itu di bawah bantal. Beranjak untuk menggantungkan lentera pada paku yang tertancap di kayu samping pintu, lantas kembali ke ranjang. Merebahkan tubuhku yang masih terasa sakit, kemudian menengok ke samping. Nenek Rose belum juga kembali dari rumah Paman Robert. Mungkin mereka masih mendiskusikan banyak hal setelah aku pulang lebih dulu.
Aku menggelengkan kepala, membuang setiap pertanyaan demi pertanyaan yang mengakar di otak kecilku.
“Hindari bulan purnama. Tarik lurus lima puluh kilometer buntut Scorpio,” itulah kata-kata yang tertulis dengan simbol yang berbeda.
“Apa maksud kalimat itu?” batinku.
Aku menghela napas, menatap langit-langit juga kabang-kabang yang merekat di sela-sela kayu.
“Ah, kenapa dia tidak datang saja ke sini dan mengatakannya langsung padaku. Kenapa harus menyampaikan sesuatu yang penting lewat surat,” gerutuku sebelum akhirnya memejamkan mata.
(Bersambung)
Lily Rosella, gadis berdarah Sunda – Betawi yang kerap disapa Lily ini lahir dan besar di Jakarta. Penyuka dongeng dan cerita bergenre fantasi. Ia juga menyukai warna-warna pastel.
FB: Aila Calestyn / Lily Rosella
Email: Lyaakina@gmail.com
Blurb:
Makhluk mengerikan berwujud srigala itu ditangkap di hutan perbatasan. Setelah diamankan oleh pasukan angkatan darat, ia dibawa ke laboratorium kota. Di bawah wewenang Jendral Baldric, makhluk bertubuh besar dan bercakar tajam itu diteliti oleh Profesor Lorenzo dan Profesor Shin.
Oleh sang Jenderal, hasil dari penelitian tersebut rupanya disalahgunakan. Mutasi gen monster itu diujikan ke beberapa warga sebagai kelinci percobaan dan berdampak fatal bagi negeri bagian barat. Lebih dari itu, kematian kedua professor tersebut menjadikan anak mereka, Charol, berada dalam bahaya. Ia dikejar pasukan Jendral karena disangka mampu mengatasi amukan makhluk itu.
Dibantu oleh Albert, sahabat baik sekaligus pemuda yang dicintai Charol, mereka melarikan diri. Malangnya, Albert telah terinfeksi virus manusia serigala itu, yang membuatnya lama-kelamaan kehilangan kendali atas dirinya. Ia pun menjadi pelindung utama, sekaligus bahaya besar yang mengancam Charol.
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita