Black Bell 2
Oleh: Lily Rosella
Perbincangan di Sungai
“Selamatkan Albert,” pinta Paman Eduard sambil mencengkeram kerah baju ayahku.
Mata Ayah yang nampak seperti menyala-nyala terus menatap tajam Paman Eduard. Pun gigi taringnya yang menyembul telah berwarna merah.
Ayah melirik sekilas ke arah Albert yang tengah memeluk tubuh Bibi Lauren. Wanita paruh baya tersebut telah mati beberapa menit lalu dengan tubuh tercabik-cabik. Pun di samping Albert, Ibu berdiri sambil menatap Ayah. Mata bulatnya yang serupa denganku berkaca-kaca, memerhatikan tangannya yang juga bersimbah darah.
“Selamatkan putraku.”
Ayah mengerutkan dahinya. Bola matanya yang kini berwarna merah darah menatap Paman Eduard dan Albert bergantian. Gigi-giginya digeretakan.
“Ayah …,” suara Albert terdengar samar namun jelas. Kedua lengannya yang tengah menopang mayat Bibi Lauren melemas seketika, juga tangannya yang sedikit agak besar terkepal kuat.
“Tetap di tempatmu,” titah Ibu.
Bola mata berwarna cokelat almond itu menatap Ibu. Terlihat jelas kalau ia tengah memelas iba, berharap kalau ayahnya dapat dibiarkan hidup. Namun sayang, darah segar mengenai wajah juga bajunya yang berwarna merah maroon, membuat pemuda itu mengalihkan pandangannya.
“Ayah …!” teriak Albert saat kuku-kuku tajam Ayah merobek dada pria berusia 40 tahun tersebut.
“Tidak!”
Aku mengucek kedua mataku, menatap sekilas jam dinding yang kini menunjukkan pukul 3 dini hari. Mimpi itu kembali muncul seperti malam-malam sebelumnya, membuatku berkeringat dingin.
“Apa kau bermimpi buruk lagi?” tanya Nenek Rose yang ikut terbangun.
Wanita tua itu langsung duduk dan mengonde rambutnya yang putih, beranjak meninggalkan kamar dan kembali sambil membawa segelas air.
“Minumlah,” ucapnya sembari menyodorkan gelas tersebut padaku.
Aku menyeka keringat yang mengalir membasahi pelipis juga bagian bawah mataku, menerima gelas yang disodorkan Nenek Rose serta meneguk habis air tersebut. Kemudian meletakkan gelas yang sudah kosong di meja samping ranjang.
“Jangan terlalu mencemaskan tentang hal itu,” seru Nenek Rose.
Hening. Aku tak menjawab apa pun karena sedang mengatur irama jantungku yang melemah, pun napasku juga sudah terasa berat. Membuatku terus mengelus-elus dada karena sesaknya.
“Apa sudah ada kabar dari Albert?” tanyaku samar.
Nenek Rose menggeleng. Wajahnya yang nampak lelah masih saja berusaha untuk menunjukkan senyum di hadapanku. Entah apa makna dari senyum itu, tapi dapat kupastikan ada kekhawatiran serupa dalam dirinya, sama seperti yang aku rasakan.
***
Di luar, matahari semakin meninggi. Pun lentera sudah mati sejak tiga jam lalu. Aku berdiri di samping ranjang, menatap mantel merah yang masih kukenakan sejak persembunyian sore itu. Memilih untuk melepasnya dan menaruh di keranjang. Mantel itu dulunya adalah barang kesukaanku, tapi sekarang sudah tidak lagi. Ibu yang merajutnya. Dia menyuruhku mengenakannya sebelum menarik tanganku dan mengajak ke ruang bawah tanah.
“Pastikan agar kau tidak melepasnya,” ucapnya saat itu.
Aku mengangguk. Mengenakan mantel tersebut, bahkan tidak melepasnya hingga beberapa menit yang lalu. Entah sampai kapan aku harus mengenakan mantel itu. Sampai Ibu yang menyuruhku untuk melepaskannya.
Ah, tidak! Wanita itu tidak akan pernah datang. Kalaupun ia datang, aku takkan sudi untuk bertemu dengannya. Apa pun alasannya, bagaimana bisa Ibu dan Ayah melakukan hal yang begitu tidak berperasaan. Membunuh keluarga sahabat baiknya sendiri, termasuk adik perempuan Albert yang bahkan belum bisa berjalan.
“Kenapa kau melepasnya?” tanya Nenek Rose yang masuk sambil membawa dua potong roti.
Aku tersenyum simpul tanpa menjawab satu kata pun ketika kedua bola mata itu melirik mantel yang ada di dalam keranjang rotan.
“Jangan membenci sesuatu yang kau sendiri tidak tahu.” Nenek Rose menghampiriku, lantas ikut duduk di tepi ranjang.
“Makanlah,” ucapnya sembari menyerahkan salah satu roti padaku.
Aku menerima potongan roti tersebut, memakannya perlahan sambil memikirkan Albert. Entah apakah pemuda tersebut sudah makan atau belum. Apakah dia melewati malam dengan tertidur nyenyak atau tidak. Apakah dia melewati harinya dengan baik. Aku tidak punya jawaban atas semua pertanyaan tersebut.
“Jika kau sudah makan, keluarlah. Kenakan mantelmu dan pergi bermain dengan yang lainnya.” Nenek Rose memegang bahuku, lantas beranjak keluar kamar.
Memang benar apa yang diucapkannya. Sudah dua hari aku tinggal di sini dan tak pernah sekalipun meninggalkan kamar. Tapi … rasanya pasti canggung jika harus bertemu dan berkenalan dengan orang-orang baru. Sejak dulu aku terbiasa di rumah, memerhatikan hasil-hasil penelitian Ayah juga Ibu, terkadang aku ikut serta membantu mereka.
“Ayo.” Seseorang sudah masuk begitu saja, menarik tanganku dan membawaku keluar.
“Si—siapa kau?” tanyaku kaget.
Gadis yang usianya mungkin sama denganku melepas tangannya, menatap wajahku lekat-lekat dan tersenyum lebar, membuat gigi-giginya yang putih bersih terlihat jelas.
“Ayo,” ajaknya sekali lagi.
Kali ini aku menepis tangannya. Bagaimana bisa orang asing ini datang tiba-tiba padaku dan bersikap seenaknya. Lagi pula tidak ada yang dapat menjamin apakah dia orang yang baik atau jahat.
Dia berdiri tegap, wajahnya dicondongkan ke wajahku, pun matanya menatapku penuh selidik.
“Apa yang sedang kau lakukan?” tanyaku bingung. Aku mundur selangkah, berpikir untuk kembali ke kamar.
Dia tersenyum sekali lagi, lantas mengulurkan tangannya. “Aku Anastasia,” ucapnya.
Aku tak langsung menerima ulurannya. Hanya diam mematung sambil memerhatikan tangannya yang sedikit berisi. Tanpa buang-buang waktu ia langsung meraih tanganku, menjabatnya, kemudian melepas begitu saja.
“Mulai sekarang kita berteman,” serunya.
Aku mendelik. Belum juga aku mengatakan apa-apa, tapi gadis di hadapanku telah mengatakan bahwa kami berteman.
“Aku adalah anak asuh Nenek Rose, dan aku akan menjadi teman yang baik untukmu,” ucapnya sekali lagi, “Jadi, ayo pergi!”
Aku menggaruk kepalaku yang sedikit gatal karena belum keramas hampir sepuluh hari. Memerhatikan gadis tersebut dari ujung kepala hingga ujung kaki. Membuat sebuah pertanyaan demi pertanyaan muncul di benakku.
“Ikut saja!” seru Nenek Rose tiba-tiba.
Gadis itu tersenyum, menarik pelan tanganku dan membuatku tak ada pilihan selain ikut dengannya.
***
Sudah sebulan lamanya setelah perpisahanku dengan Albert. Aku mulai terbiasa dengan suasana di desa ini. Segala kesibukan membuatku dapat melupakan sejenak kecemasan tentang kabar pemuda yang empat tahun lebih tua dariku itu.
Banyak yang harus kukerjakan di sini. Mulai dari mengurus para manual, merawat orang-orang yang sakit, juga melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh gadis sebayaku, dan meski begitu aku juga sering bermain dengan Anastasia. Gadis itu tak hanya pintar melakukan pekerjaan rumah, dia juga pandai membuat jebakan untuk menangkap hewan liar di hutan.
Di desa ini, hampir lebih dari separuh orang-orang yang sakit adalah korban dari Bulan Purnama Berdarah, begitulah kami menyebut tragedi sebulan lalu. Mereka berasal dari desaku dan desa-desa lain di negeri bagian barat. Beberapa mengungsi di sini, dan sisanya entah berada di mana. Mungkin mereka mengungsi atau mencari pertolongan ke desa lainnya yang lebih aman.
“Apa kau akan ke rumah Paman Robert?” tanya Anastasia.
Aku menggeleng, dan beberapa detik kemudian mengangguk.
“Jadi kau akan pergi atau tidak?”
“Aku akan pergi,” jawabku singkat.
Anastasia tersenyum lebar. Ia lebih bersemangat mencuci pakaian ketimbang tadi. Dengan cepat ia berusaha menyelesaikan pekerjaannya yang hanya menyisakan beberapa helai baju dan rok juga celana. Mereka berdua memiliki kesepakatan yang entah apa.
“Apa kau pernah melihat mereka?” tanya Anastasia tiba-tiba.
Aku mendelik, bertanya siapa yang dia maksud dengan mereka.
“Para pemburu.”
“Pemburu?”
Gadis bermata biru itu menatapku. Gerakan tangannya yang sejak tadi mengucek baju terhenti, pun raut wajahnya mendadak berubah serius.
“Aku dengar ada sekelompok orang yang sedang berusaha untuk menghentikan para manusia serigala. Mereka memburu makhluk mengerikan itu dan berupaya untuk memberantasnya,” ujarnya pelan.
“Ma—manusia serigala?” tanyaku kikuk. Mungkinkah yang ia maksud adalah orang tuaku.
“Apa kau belum pernah melihatnya? Mereka berasal dari negeri bagian barat, tempatmu dulu tinggal.”
Aku menelan ludah. Aku sudah pernah melihat mereka beberapa kali dalam perjalanan menuju perbatasan. Setiap kali aku merasakan aura gelap, Albert menyuruhku untuk bersembunyi, lantas tak lama muncul makhluk-makhluk mengerikan yang membuatnya harus melawan mereka satu per satu. Membuat tubuh pemuda berusia 21 tahun tersebut dipenuhi luka memar juga cabik, kakinya juga sempat tergigit. Itu mengapa jalannya agak pincang dua hari terakhir saat kami tiba di perbatasan.
“Da—dari mana kau mendapat informasi itu?”
Dia melanjutkan mengucek baju, berusaha menyelesaikan tugas mencucinya yang sudah hampir selesai. Tak lama ia menatapku sekilas. “Aku mendengar dari para manual yang ada di pedepokan.”
Belum juga aku membuka mulutku, tapi Anastasia langsung melanjutkan ucapannya, “Dan kabarnya kelompok pemburu itu dipimpin oleh cucu Bibi Rose. Dia seorang kolonel termuda di pangkalan angkatan darat, anak buah Paman Robert. Entah siapa namanya … aku lupa.”
“Ma—”
Sret!
Aku menoleh ke belakang, bangkit dan meninggalkan baju yang masih tergeletak di batu anak sungai.
“Mau ke mana?”
“Tunggu sebentar,” ujarku.
Anastasia memegang lengan bajuku, mencoba untuk menghentikan langkahku yang baru saja hendak beranjak meninggalkan anak sungai. Aku melepas genggaman tangannya, melangkah sedikit lebih jauh.
“Apa yang sedang kau lakukan?” tanyanya dengan suara yang bergetar.
Aku menatap sekitar; bebatuan, rerumputan, pepohonan, juga langit yang hampir tak terlihat karena tertutup lebatnya daun-daun dari barisan pohon yang menjulang tinggi. Aku dapat mengenalinya. Aura ini sama persis seperti yang aku rasakan di rumah Albert juga di tengah-tengah perjalanan. Membuatku berpikir untuk segera mencarinya dan mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi di hutan ini.
“Jangan,” cegah Anastasia yang langsung menghampiriku.
“Kemasi pakaian-pakaian itu dan pulanglah.”
“Lalu bagaimana denganmu?”
“Aku akan menyusul nanti.”
Anastasia menggeleng. Ia tidak setuju dengan instruksi yang baru saja kuberikan. “Bagaimana bisa aku meninggalkanmu sendiri? Apa yang harus kukatakan pada Bibi Rose jika sesuatu terjadi padamu?” bantahnya.
Aku menatap gadis itu, memegang lembut kedua tangannya, kemudian mengangguk mantap. Aku benar-benar akan memastikan padanya bahwa aku akan kembali dengan selamat.
“Ayo kita pulang bersama!” serunya. Ia tetap bersikukuh untuk mengajakku kembali ke desa.
Aku menghela napas, menatap tangan Anastasia yang menggenggam balik tanganku, pun kakinya juga gemetar. “Baiklah,” jawabku pasrah.
Sepertinya aku memang harus kembali ke desa. Tadi, saat Anastasia berseru kencang mengajakku pulang, perlahan aura tersebut memudar, lantas menghilang. Jadi tidak ada gunanya juga aku tetap bersikeras untuk menyuruh Anastasia pulang sendiri. Sepertinya gadis ini sudah ketakutan setengah mati, tangannya berkeringat.
(Bersambung)
Lily Rosella, gadis berdarah Sunda – Betawi yang kerap disapa Lily ini lahir dan besar di Jakarta. Penyuka dongeng dan cerita bergenre fantasi. Ia juga menyukai warna-warna pastel.
FB: Aila Calestyn / Lily Rosella
Email: Lyaakina@gmail.com
Blurb cerbung: Black Bell
Makhluk mengerikan berwujud srigala itu ditangkap di hutan perbatasan. Setelah diamankan oleh pasukan angkatan darat, ia dibawa ke laboratorium kota. Di bawah wewenang Jendral Baldric, makhluk bertubuh besar dan bercakar tajam itu diteliti oleh Profesor Lorenzo dan Profesor Shin.
Oleh sang Jenderal, hasil dari penelitian tersebut rupanya disalahgunakan. Mutasi gen monster itu diujikan ke beberapa warga sebagai kelinci percobaan dan berdampak fatal bagi negeri bagian barat. Lebih dari itu, kematian kedua professor tersebut menjadikan anak mereka, Charol, berada dalam bahaya. Ia dikejar pasukan Jendral karena disangka mampu mengatasi amukan makhluk itu.
Dibantu oleh Albert, sahabat baik sekaligus pemuda yang dicintai Charol, mereka melarikan diri. Malangnya, Albert telah terinfeksi virus manusia serigala itu, yang membuatnya lama-kelamaan kehilangan kendali atas dirinya. Ia pun menjadi pelindung utama, sekaligus bahaya besar yang mengancam Charol.
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita