303
Karya : Respati
Aku masih berdiri mematung di balik jendela kamar. Di luar sana hujan turun membasahi bumi sejak fajar. Aku memandang langit yang warnanya tak kusukai. Hitam, warna yang memberi pesan lara hampir di etiap rinainya jatuh.
Aku kembali ke tempat tidurku, meletakkan botol infus di tiang sisi kiriku. Ini botol ke enam sejak aku terpasung di rumah sakit ini. Penyakit sialan ini menghalangi seluruh pekerjaanku. Jadwalku kacau, dan sebagian perjanjian harus batal karena penyakit menyebalkan ini. Parahnya lagi dalam tiga hari ini aku hanya ditemani asistenku sekaligus sahabatku. Hmm, aku menarik napas dalam. Sementara kamu entah di mana. Dan tanpamu sejak aku masuk kamar 303 tiga hari lalu.
Setiap hujan turun aku punya banyak cerita yang mungkin kamu sendiri tak pernah ingat lagi karena aku tahu kamu sudah tak peduli denganku. Kamu tak pernah mau tahu lagi tentang aku. Buktinya kamu tak ada tiga hari aku terbaring di kamar serba putih ini. Kamu benar-benar membuktikan bahwa kamu bisa pergi jauh meninggalkan aku.
Air hujan bepercikan menyentuh kaca jendela. Tempias membasahi kaca sepanjang lorong rumah sakit sebelah barat. Menyenandungkan nada rindu di setiap tetesannya. Harapan memunculkan sosokmu adalah sebuah kesia-siaan.
Ketukan lembut di pintu kamar membuyarkan lamunanku. Seberkas harap akan sosok pengetuk itu adalah kamu, yang membawa sekeranjang rindu buatku. Senyum manjamu, lenggokan jalanmu menyongsongku dan berucap lembut.
“Aku kangen kamu. Kamu cepat sembuh, Ya.”
Aku memelukmu erat, tanganmu kugenggam dan tak ingin aku lepas. Aku belai rambutmu yang hitam dan membiarkan pelukan kita semakin lama semakin erat. Kurasa kamu tahu jawabannya karena kamu juga tak ingin jauh dariku lagi. lengkungan di bibirku terbit seiring bisikanmu.
“Sudah baikan, Pak?”
Aku terkesiap mendengar ucapan itu begitu dekat. Dan beberapa detik barulah aku tersadar dokter jaga sudah di sampingku. Kunjungan dokter di pagi ini rutinitas pekerjaan seorang dokter. Prosedur standar pelayanan terhadap pasien. Dan kamu dulu juga selalu melakukannya.
Bahkan lebih sering dari jadwal seharusnya dan itu pasti karena aku. Kalau aku tanyakan, kamu hanya tersenyum dengan pipimu merona merah.
Ah, itu pernah terjadi dulu. Saat kamu masih pengabdian di rumah sakit ini. Saat kamu masih mau bicara rindu denganku. Saat ini aku ingin sebaliknya, aku ingin pulang. Memandang hujan yang sama di tempat yang berbeda. Tetapi masih dengan rindu yang sama.
Aku bahkan belum tahu kapan dokter cantik itu membiarkan aku pulang. Wajahku sudah terlalu tirus dan kulitku mulai menghitam. Untuk becermin saja aku enggan. Aku sudah tak peduli dengan apa yang ada di tubuhku. Menarik atau tidak bukan hal penting lagi bagiku. Karena hal penting dalam hidupku sudah sirna. Lenyap seperti pelangi yang hadirnya sesaat saja setelah hujan turun. Hadirnya yang cuma sekejap tapi mampu memberikan keindahan pada langit-Nya. Persis sama denganmu yang mampu memberikan warna dalam hidupku biarpun hanya sesaat saja.
Hingga hujan menyambut siang rinainya masih cukup membasahi kaca kamarku. Gemericiknya menjadi satu-satunya melodi yang mengisi kamar 303 selain suara hatiku. Suara yang masih sama yaitu senandung rindu buatmu. Ah, tapi kamu tetap tak ada di kamarku. Padahal aku ingin kita bersama menikmati simfoni yang menuturkan nada-nada rindu yang sudah tiga hari ini aku nikmati sendiri.
Dokter cantik yang bertugas siang tadi hanya menanyakan keadaanku. Jelas-jelas keadaanku secara fisik sehat tidak ada yang terluka, tapi cuma aku yang tahu aku sesungguhnya terluka. Luka yang teramat dalam dan sukar sembuh. Dokter tadi tak bisa membuatkan resep buatku. Yang bisa cuma kamu. Yang punya resep obat buatku ya hanya kamu. Racikan obatmu sesuai dosis yang aku butuhkan. Kamu selalu pandai menakarnya. Lagi-lagi aku kecewa, karena kamu tidak ada bersamaku waktu dokter tadi menuliskan resep buatku.
Aku merebahkan kepalaku di bantal memandangi jemari kananku. Di sana ada jari manisku yang terikat sebuah cincin perak. Cincin yang sama yang kamu juga pakai di jari manismu. Kita memilihnya untuk mengikat cinta kita dan berjanji saling menjaga. Tapi apa yang terjadi. Kamu pergi. Kamu yang tak setia dan tak bisa menjaga cinta kita. Kamu bahkan berujar akan mampu hidup tanpaku. Ah, kamu berubah menjadi wanita yang berbeda setelah pulang ke kotamu. Kamu seperti bukan kamu yang kukenal. Aku susul kamu, tapi sambutanmu begitu dingin. Kamu tak mengenalku. Aku tunjukkan foto-foto kebersamaan kita, cincin kita dan cerita rindu kita. Kamu hanya diam dan mendengarkanku. Kamu aneh seperti tidak pernah ada ikatan antara kita.
Aku kembali terpejam dan hanyut bersama aliran cairan obat yang disuntikkan melalui selang infusku. Aku hanya merasakan sesuatu telah memasuki aliran darahku. Aku merasakan usapan lembutmu setiap kali obat itu mengalir lembut seperti juga desiran asmaramu yang halus merasuki relung jiwaku. Aku terhipnotis dengan belaian yang kamu berikan. Melenakan dan membawaku terbang.
Aku tak mendengar apapun saat sekarang dan sudah berapa hari serta berapa botol infus sudah kuhabiskan. Dan aku tetap seperti ini.
Saat aku tersadar, ada seorang suster sedang membereskan tempat tidurku. Bukan kamu yang melakukannya seperti yang sudah-sudah. Apa kamu sengaja menghindari aku?
Tangan suster itu aku tahan. Aku ingin tahu tentangmu dari suster itu.
“Dokter Clara gak dinas, Sus?”
Suster itu memandangku dengan wajah keheranan. Alisnya beradu. Suster itu gugup dan pucat ketika kusebut namamu. Lalu pergi tanpa menghiraukan pertanyaanku tadi.
Setelah banyak hari kuhabiskan di kamar 303 ini tanpamu, rinduku sangat menggelisahkan sanubari. Kamu benar-benar tak peduli lagi padaku. Ada gundah dibalut amarah saat membicarakanmu. Dan anehnya setiap orang yang masuk kamarku, 303 bersikap sama setiap kutanya tentangmu. Ada apa ini? Atau kamu sengaja menyuruh mereka bersikap serupa kalau aku bertanya tentangmu. Kamu keterlaluan.
303 tetap merupakan kamar serba putih tempatku merebahkan diri, memejamkan mata juga menanti hadirmu setiap hari. Aku tak lagi sanggup menghitung hari berlalu tanpamu.
Sebulan, setahun atau lima tahun terlewati. Hujan dengan rinainya masih setia menghiasi lorong sebelah barat rumah sakit ini. Yang tak lagi setia itu kamu. Kamu biarkan aku sendiri di kamar 303.(*)
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita