Secret – Episode 3

Secret – Episode 3

Secret 3

Oleh: Veronica Za

Mayang menepuk lembut bahu Dodi yang masih mengawang ke masa silam untuk segera kembali ke masa sekarang. Meski Mayang sudah berusaha perlahan tetap saja membuat Dodi tersentak.

“Di hutan nggak boleh melamun loh, Kak!” tegas Mayang yang melihat wajah Dodi yang terkejut.

“Iya. Aku nggak melamun, kok.” Mayang tersenyum sambil menatap tak percaya dengan tingkah seniornya itu yang pintar berkilah. Belum lagi ia sempat meledeknya, seruan Erik membuat keduanya beralih menatap sumber suara.

“Kita lanjutkan perjalanan, ya! Jangan lupa bersihkan semua sampah sisa makanan kalian dan cek kembali semua perlengkapan.”

Dodi membantu Erik mempersiapkan kembali perjalanan. Setelah berunding, diputuskan jika Erik tetap memandu di depan dan Dodi mendukung di barisan paling belakang.

Sebelum berangkat, Dodi menanyakan keadaan kaki Mayang. Namun, karena tampaknya tidak bermasalah, ia merasa lega.

Selanjutnya tujuan mereka adalah puncak bayangan dengan jalur yang semakin menegangkan. Jalur yang mereka lewati semakin menyempit diapit oleh jurang yang curam. Posisi mereka memang sudah berada di atas pegunungan sehingga jika sedikit saja berbuat kesalahan maka akan fatal akibatnya.

Dua belas pasang mata tampak berbinar mendapati pesona Kawah Ratu dari atas. Rasanya tak sia-sia bagi mereka menempuh perjalanan berisiko ini demi melihat keindahan alam Kuasa Ilahi yang tak mungkin didapatkan di kota.

Sayangnya, mereka tak bisa berlama-lama terpesona karena sudah menanti di depan sebuah trek yang membuat mereka harus fokus seratus persen.

Sebuah jembatan yang bermodalkan batang pohon besar dan seutas tali webbing dengan jurang menganga yang cukup dalam di bawahnya.

Dodi agak cemas dengan kondisi Mayang. Kakinya yang terluka akan sedikit menyulitkan gadis itu melewati jembatan itu. Seperti biasa, Mayang yang keras kepala tetap bersikeras melewatinya padahal ada alternatif lain yaitu melewati jalur bawah dengan jalur yang lebih berputar.

Satu persatu anggota melewatinya dengan konsentrasi penuh. Ketika giliran Mayang, Dodi sedikit ragu. Akhirnya Dodi memaksa Mayang untuk menempuh jalur yang lain. Ia menyuruh Erik dan yang lain menunggu sebentar.

“Kita nggak bisa bikin mereka nunggu cuma gara-gara aku, Kak!” protes Mayang.

“Tapi keselamatan mereka dan kamu adalah tanggung jawabku!” Dodi tak mau kalah.

“Kita coba saja dulu. Kakiku ini benar-benar tidak bermasalah.”

“Aku nggak mau mengambil risiko. Tunggu di sini! Aku akan memberikan ransel kita ke seberang sana kemudian aku kembali ke sini dan berjalan memutar ke bawah. Jangan protes!” tegas Dodi tak membiarkan Mayang melawan.

Gadis itu terdiam dengan wajah ditekuk. Ia menatap Dodi yang tengah berjalan melewati jembatan dari batang pohon itu menuju ke arah Erik yang sudah menunggu di ujung sana.

Ide gila tiba-tiba melintas di benak Mayang. Ia berniat tetap melewati jembatan itu dan menyusul mereka. Dengan begitu, tak perlu lagi jalan memutar. Ia menunggu Dodi berada di ujung sana dan bertemu dengan Erik. Setelah itu, baru ia mulai berjalan.

Benar saja, Dodi sampai di ujung dan memberikan dua ransel. Mereka tampak berbincang sebelum Erik tiba-tiba berteriak melihat Mayang yang tengah bersiap melangkahkan kakinya di jembatan.

Dodi panik dan ingin kembali ke jembatan tapi ia tahu itu berisiko. Tak mungkin batang pohon itu bisa menopang dua tubuh sekaligus. Dalam kekalutannya, ia melihat Mayang sudah mulai melangkah di atas jembatan. Teriakannya sudah tak lagi didengar oleh gadis bandel itu.

Apa yang Dodi khawatirkan terjadi. Baru beberapa langkah Mayang berjalan tiba-tiba ia kehilangan fokus akibat teriakan dari ujung jembatan yang begitu kencang.

Kakinya terpeleset lalu oleng hampir terperosok ke dalam jurang. Beruntung, sepasang tangan berkulit putih memegang erat salah satu lengannya, sedangkan lengan lainnya berusaha meraih batang pohon untuk pegangan.

Dodi dan Erik di ujung sana sudah bersiap membantu. Mayang terus berusaha meraih pegangan, pun tangan yang menolongnya itu juga membantu menarik Mayang ke atas. Hingga akhirnya berhasil naik kembali di atas jembatan.

“Alhamdullillah! Terima … kasih!” ucap Mayang penuh syukur menatap sosok penyelamat hidupnya. Seorang gadis yang ia perkirakan seusia dengannya. Rambutnya hitam sebahu dengan mata yang bulat dan besar layaknya boneka barbie.

“Sama-sama.” Senyum terukir di bibir pucatnya. Mungkin ia pun sama takutnya dengan Mayang yang hampir jatuh ke jurang.

Mayang dan gadis itu merayap di atas batang pohon itu hingga tiba ke ujung jembatan. Mereka segera dibantu oleh Erik dan Dodi yang sudah sangat panik tapi tak bisa membantu lebih jauh. Anggota yang lain memberi mereka air minum supaya lebih tenang.

Dodi menarik Mayang ke dalam pelukannya demi meredakan perasaan takut yang sejak tadi menyelimutinya. Beberapa saat lalu, hampir saja ia ikut bertindak gila dengan menjemput Mayang. Meski ia tahu, batang pohon itu tak mungkin menopang berat badannya. Di saat kritis, seseorang yang bertubuh sama kecilnya dengan Mayang tiba-tiba datang menolong.

“Kamu gila, ya! Aku kan sudah bilang untuk menunggu sebentar! Bisa nggak sih kamu dengerin apa kataku?” teriak Dodi cemas seraya merenggangkan pelukannya. Erik dan anggota lainnya ikut bingung melihat reaksi ketua pecinta alam itu.

“Ma … maaf!” Mayang tergagap, dua bulir bening mengalir dari sudut matanya yang memerah menahan tangis sejak tadi.

Melihat itu, Dodi semakin merasa bersalah dan kembali memeluk gadis itu lebih erat. Ia hanyut dalam perasaan takut kehilangan sebelum akhirnya indera pendengarannya menangkap suara Erik yang berbicara pada seseorang asing itu.

“Terima kasih sudah membantu kami,” ucap Erik pada gadis itu.

“Sama-sama. Aku hanya kebetulan mau ikut menyeberang jadi refleks membantu.”

“Aku Erik dari Jakarta.” Erik mengulurkan tangannya ketika Dodi dan Mayang ikut bergabung.

“Aku Tasya dari Jakarta juga.” Gadis bernama Tasya itu menyambut uluran tangan ketiganya serta beberapa anggota lain.

“Kamu sendirian?” tanya Mayang yang sejak tadi mulai bertanya-tanya di mana anggota kelompok yang lain.

“Ooh … aku menyuruh mereka pergi duluan sejam yang lalu. Tadi aku meninggalkan kamera di pos belakang jadi aku balik lagi.”

“Kok bisa teman-temanmu itu nggak nungguin atau setidaknya nemenin kamu balik ke pos?” Kali ini Dodi yang bertanya dengan nada yang naik setenah oktaf, tak terima ada anggota pecinta alam yang begitu tak peduli pada anggotanya.

“Bukan salah mereka, kok. Aku yang menyuruhnya. Aku bilang pada mereka kalau aku akan ikut rombongan kelompok yang tadinya ada di belakang kami. Eh, malah ketemu kalian,” jelasnya. Gigi gingsul yang mengintip dari balik bibirnya itu menambah manis parasnya.

“Ya sudah, kamu ikut kelompok kami aja. Jangan pergi sendirian, berbahaya! Apalagi kamu cewek.” Dodi melihat sifat keras kepala yang sama dengan Mayang ada pada diri Tasya. Ia mengembuskan napas berat mengingat satu orang gadis keras kepala saja sudah membuatnya hampir mati. Sekarang ia harus mengurus dua gadis keras kepala! Erik menatap Dodi seolah mengerti apa yang tengah dipikirkannya, lalu pecahlah tawa mereka berdua diiringi pandangan bingung semua anggota.

Setelah dirasa yakin semua baik-baik saja, perjalanan berlanjut menuju puncak bayangan yang tak jauh dari tempat mereka sekarang. Setelah melewati puncak bayangan yang merupakan punggungan yang tepat berada di bawah puncak Salak satu. Jalur berubah menjadi semakin ekstrim, diawali dengan trek yang menurun untuk menuju puncak Salak satu lalu berupa tanjakan tebing yang hampir memiliki sudut sembilan pulh derajat. Tanjakan yang terjal dan juga licin. Kali ini Dodi benar-benar mengawasi tingkah kedua gadis bandel di depannya.

Banyak kendala yang mereka alami terlebih lagi Mayang yang memang sejak awal kakinya terluka. Memanjat tebing tentu menjadi trek tersulit baginya. Untung saja Dodi dengan sigap selalu membantu setiap langkah yang ia ambil sehingga bisa sampai pada puncak Salak sath. Dari atas terlihat jelas lembahan puncak Salak satu dan dua yang memiliki pesona keindahan yang menyeramkan.

Loh? Iya tentu saja. Lembah itu begitu rimbun. Di dalamnya tentu menyimpan berjuta cerita dan kisah mistis yang menyertai.

Sembilan jam pendakian membuahkan hasil yang memuaskan. Pemandangan yang eksotis memanjakan mata anggota pecinta alam. Ada beberapa kelompok pendaki yang sudah sampai lebih dulu. Namun, Tasya tak menemukan kelompoknya.

“Apa kelompokmu itu lanjut ke puncak salak dua, ya?” tanya Dodi yang tak juga mendapat petunjuk keberadaan kelompok Tasya.

“Nggak tau. Bisa saja memang begitu. Lalu apa aku meneruskan saja sekalian ke sana, ya?” Tasya tampak bingung.

“Jangan! Kamu di sini saja. Biar nanti anggotamu saja yang mencari. Sekarang sudah hampir jam lima,” tegas Dodi.

Ia menarik lengan Tasya untuk pergi bersamanya ke tenda yang berisi para gadis.

“Mayang, tolong jaga dia supaya tidak pergi menyusul anggotanya yang kemungkinan menuju puncak dua,” perintah Dodi pada Mayang dan Rani yang sedang membuat tungku untuk mulai memasak.

Mayang mengangguk. Senyum di bibirnya memudar melihat tangan Dodi yang tak sadar jika masih menggenggam jemari Tasya. Ada nyeri yang menusuk di dalam dadanya.

“Emang aku anak kecil apa? Sampai harus dijagain segala!” protes Tasya.

“Kamu sama seperti seseorang yang aku kenal. Dia nekat dan keras kepala. Jangan sampai aku hampir mati untuk kedua kalinya karena kalian.”

Rani tertawa geli mengerti orang yang dimaksud Dodi. Mayang dan Tasya sama-sama mengerucutkan bibir mereka ketika pria itu berlalu dan kembali membantu mendirikan tenda.

Bersambung ….

Tangerang, 18/05/2018

Veronica Za, penulis amatiran yang menyukai segala hal yang berbau romance. Penggila donat dan drama Korea. Bisa dihubungi melalui,

Fb: veronica za

Email : veronica160.vk@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita