Adik Kecil
Oleh: Lily Rosella
Boneka beruangku masih menatap ke luar jendela. Entah apa yang sedang dia perhatikan dari sana, yang pasti aku masih belum bisa bermain dengannya. Aku harus menjaga adik kecilnya Bi Asih.
Dia menitipkan adik kecilnya kepadaku dan Kak Ratih, sehingga aku tak bisa bermain bersama boneka beruangku saat ini. Kak Ratih sedang sekolah, dan Mama sedang ke rumah sakit bersama Bi Asih. Sedangkan Papa, Mama bilang ia pergi ke suatu tempat yang jauh.
“Jangan keluar, aku harus mengerjakan PR,” ujarku saat melihat Adik Kecil merangkak mendekati pintu.
Aku langsung bangkit, menghampiri Adik Kecil dan menggendongnya pada bagian perut, lantas meletakannya di samping meja belajar lipatku. Sepertinya aku harus menutup pintu dan menguncinya agar Adik Kecil tidak bisa pergi ke mana-mana.
“Jangan dimainkan. Aku harus mengumpulkannya siang ini,” seruku.
Dengan cepat aku menarik pensil warna merah yang dipegangnya, tapi sayang, dia malah mengambil pensil warna yang lain dan kembali mencoret-coret buku gambarku.
Ah, sepertinya dia tidak mengerti apa yang sejak tadi kuucapkan padanya. Dia malah asyik dengan pensil warna juga buku gambarku yang ada di atas meja, merusak gambar bunga teratai yang baru selesai kubuat dua menit lalu.
Aku berjongkok, menatap bunga terataiku yang dihiasi warna-warna tak beraturan. Itu sudah tidak terlihat seperti bunga teratai lagi, melainkan hanya sebuah coret-coretan saja, dan nanti mungkin aku akan dihukum karena tidak mengerjakan PR.
Baru saja aku mengambil buku gambarku, tapi Adik Kecil malah mencoret-coret meja belajar. Ia juga menangis saat aku mengambil seluruh pensil warna agar dia tidak memainkan alat sekolahku. Mama bilang, peralatan sekolah tidak boleh dimainkan, itu sebabnya aku langsung menyimpan benda-benda tadi ke dalam tas.
Aku menggendong Adik Kecil, berusaha untuk membuatnya tidak menangis lagi, tapi dia tetap tidak mau diam. Masih menangis dan semakin lama malah semakin kencang.
“Apa kamu lapar?” tanyaku.
Dia masih tak menjawab, sibuk menangis terus sejak tadi. Membuatku meletakkannya di atas kasur.
Tidak. Dia tidak mengompol atau buang air besar. Ditanya lapar pun dia juga tidak menjawab. Hanya saja biasanya saat seorang adik kecil memangis, maka hanya dua kemungkinan. Dia lapar atau buang air, selebihnya mengantuk.
Aku menatap seragam putih-merahku yang tergantung di kapstok dan melirik jam beker. Sudah pukul dua belas siang, sepertinya Adik Kecil memang mengantuk, tapi kasihan dia. Dia tidak akan bisa tidur jika lapar. Dan aku biasa melihat kalau Adik Kecil selalu minum susu jika hendak tidur.
Tanpa menunggu lama aku langsung meletakkan bantal dan guling di setiap sudut kasur, lantas membuka pintu yang terkunci dan berlari menuju dapur. Tidak ada susu formula di sana, mungkin Bi Asih dan Mama lupa menyiapkannya sebelum pergi ke rumah sakit sebulan lalu, begitu juga Kak Ratih yang tadi pagi terburu-buru berangkat ke sekolah. Biasanya Kak Ratih yang menyiapkan dua botol susu untuk Adik Kecil.
Ah, aku jadi rindu Mama. Kapan kira-kira dia akan pulang. Mungkin tubuhnya dan tubuh Bi Asih belum sehat betul setelah kecelakaan bus kota waktu itu. Itulah alasan kenapa Bi Asih belum bisa menjemput Adik Kecil.
“Mulai sekarang, Papa yang akan menjaga Mama,” itulah yang diucapkan Kak Ratih saat tubuh Mama yang dingin kembali dibawa pergi oleh ambulance.
Aku bergegas kembali ke kamar, Adik Kecil masih saja menangis, suaranya juga terdengar parau. Sepertinya ia mulai kelelahan dan sangat mengantuk.
Aku berbaring di sampingnya, tidur menyamping setelah mengangkat tinggi-tinggi bajuku. Sama seperti Bi Asih, aku juga menggunakan cara serupa. Lihat saja, Adik Kecil mulai berhenti menangis dan memejamkan mata saat aku menyusuinya.(*)
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita