Boneka di Bawah Pohon Tua

Boneka di Bawah Pohon Tua

Boneka di Bawah Pohon Tua

Oleh: Triandira

“Kau sudah pulang?” tanya Anne sembari meletakkan belanjaan—sayuran, gandum, dan telur—di atas meja. Setelah mengeluarkan beberapa bahan tambahan dari dalam kulkas, ia mulai memasak. Malam ini cuaca memang sangat dingin, karena itulah ia ingin menyajikan makanan yang bisa menghangatkan tubuh dan memulihkan stamina setelah seharian beraktivitas.

Sambil menunggu masakan yang ia buat matang, Anne menyeduh segelas susu hangat juga secangkir teh aroma melati kesukaannya.

“Minumlah ini selagi hangat,” ujarnya cepat, lantas kembali ke dapur untuk melanjutkan tugasnya. Sementara itu, seorang bocah perempuan yang ia ajak bicara hanya berdiam diri—duduk di kursi dengan kepala yang menunduk.

Sejak pagi memang tak banyak yang mereka bicarakan. Keduanya bertengkar hingga akhirnya Jessie memutuskan untuk pergi ke rumah Grace, bibinya. Hal ini sudah sering terjadi, dan Anne tahu betul bagaimana ia harus bersikap terhadap anak semata wayangnya itu.

“Jadi kau masih marah pada Ibu?” Tak ada jawaban. Anne menghela napas, lalu menghampiri Jessie yang masih bergeming sedikit pun. “Jess, dengarkan Ibu. Bukankah….”

Tok! Tok! Tok!

Anne menghentikan ucapannya lantas bergegas pergi setelah mendengar suara seseorang sedang mengetuk pintu. Sejurus kemudian ia sudah berdiri di teras sambil celingukan. Tak ada siapa pun di luar, padahal suara ketukan tadi terdengar jelas di telinga.

“Siapa…?” teriaknya keras.

Hening. Satu-satunya suara yang ia dengar saat ini hanyalah embusan angin yang terasa dingin menyentuh kulit. Setelah menyadari bahwa ia sendirian di tempat itu, Anne memutuskan untuk masuk ke dalam rumah. Namun baru saja melangkahkan kaki, tiba-tiba saja ia merasakan hal yang aneh.

Krak!

Terdengar sesuatu usai sekelebat bayangan muncul, mendekat ke arah Anne lalu menghilang begitu saja—tepat ketika ia menoleh ke belakang. Jantung Anne berdetak cepat, tubuhnya juga gemetaran seiring angin yang bertiup kencang.

Tak ingin diselimuti pikiran buruk, ia bergegas masuk dan mengunci pintu rapat-rapat. Setelah itu menghampiri Jessie yang tak lagi duduk di kursi, melainkan berdiri di dekat tembok sambil memainkan rambutnya yang panjang.

Tidak biasanya gadis berhidung mancung itu bersikap demikian. Mengabaikan minuman kesukannya yang selalu Anne buatkan menjelang tidur. Apalagi ada sepiring pancake dengan lelehan coklat di atasnya, seperti yang sering Jessie minta pada ibunya belakangan ini.

“Hei, apa yang kau lakukan?” ucap Anne sambil berjalan ke meja makan. Mengambil susu yang ia buat tadi lantas menyodorkannya pada Jessie. Bukannya menerima pemberian Anne, bocah bertubuh kurus itu malah menghadap ke tembok. Menggaruk-garukkkan kukunya hingga menimbulkan suara yang berisik.

Anne menggeleng. Sewaktu ia meletakkan kembali susu di atas meja, Jessie semakin menunjukkan kekesalannya.

“Hentikan itu, Jess!” bentak Anne setelah melihat Jessie membenturkan kepalanya ke tembok, berulang kali. “Kau tidak dengar apa yang Ibu ucapkan?”

Ketika Anne hendak menghentikan apa yang Jessie lakukan, tiba-tiba saja telepon berbunyi. Karena berulang kali berdering, Anne pun segera mengangkatnya. Tapi di luar dugaan, sesuatu yang mengejutkan terjadi.

“Anne, kau masih mendengarku?” ucap Grace dari seberang sana. Anne menelan ludah. Dengan jantung yang berdegup kencang ia menoleh ke arah Jessie. “Baiklah, mungkin setengah jam lagi aku dan Jessie akan sampai di rumahmu.”

Perlahan Anne meletakkan gagang telepon ke tempat semula. Meremas jarinya kuat-kuat tanpa melepaskan pandangan dari sosok misterius yang ada di dekatnya. Jarak mereka sekarang hanya lima meter, dan itu cukup membuat Anne berkeringat dingin.

Apa Ibu kira aku sedang berbohong?

Mendadak Anne teringat sesuatu. Jessie pernah mengatakan bahwa ada yang berbeda di rumah ini. Setiap malam, ia melihat seorang gadis seumuran dirinya sedang duduk di kursi ruang makan. Karena itulah Jessie sering merasa ketakutan. Tapi sayangnya Anne tak pernah percaya dan menganggap ucapan itu hanyalah omong kosong belaka. Baginya Jessie cuma mengada-ada agar mereka bisa pindah dari rumah ini secepatnya.

Putrinya itu juga sering bermimpi buruk semenjak membawa pulang sebuah boneka yang ia temukan di bawah pohon tua, di belakang rumah. Kondisinya yang masih bagus membuat Jessie ingin memilikinya.

“Tenanglah boneka cantik, nanti akan kubuatkan baju baru untukmu,” gumam Jessie. Jemarinya mengusap pelan kain kotor yang menutupi tubuh mainan temuannya itu. Ia tampak girang sebelum seorang lelaki berkumis tebal muncul, namanya Chris.

“Letakkan kembali boneka itu!” teriaknya sembari mendekat ke arah gadis di hadapannya.

Jessie menoleh. Menatap Chris dengan dahi yang berkerut. “Aku ingin membawanya pulang dan—”

“Kau tidak boleh melakukannya.”

“Kenapa, Paman?”

Chris menghela napas. Melihat raut muka Jessie yang memelas membuatnya kasihan, tapi membiarkan gadis itu membawa pulang boneka di tangannya, juga bukan pilihan yang tepat. Ia hanya tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk lagi.

“Pergilah, Nak, dan tinggalkan boneka itu di sini.”

“Tapi kenapa aku tidak boleh membawanya pulang?” tanya Jessie kesekian kali dengan tatapan memohon. Berharap Chris akan berubah pikiran dan mengizinkannya pergi bersama boneka yang kini ia peluk.

“Karena sudah ada yang menjaganya. Jika kau ambil, ia bisa marah nanti.”

Mendengar hal tersebut, Jessie langsung mengitarkan pandangan. Mencari sosok yang dimaksud oleh Chris. Tapi nihil, ia tidak menemukan siapa pun selain mereka berdua di sana.

“Ia siapa, Paman? Aku—”

“Kau tidak bisa melihatnya, Nak,” sela Chris. Menoleh sejenak ke sebelah kiri pohon besar yang ada di hadapannya. Mendadak angin berembus kencang. Menerbangkan dedaunan kering yang terjatuh di atas tanah. “Ayo, pulanglah. Kau lihat, bukan? Sebentar lagi akan turun hujan.”

Jessie menganggukkan kepala, menyetujui ucapan Chris. “Baiklah, aku akan pulang sebentar lagi.”

“Gadis pintar,” lelaki itu mengusap pelan rambut Jessie, lantas melangkah pergi dengan senyum di bibir. “O iya, jangan lupa dengan pesan Paman,” ujarnya. Memandang sekilas wajah Jessie sebelum kembali berjalan, pulang ke rumahnya.

Maafkan aku, Paman. Kasian boneka ini jika dibiarkan sendirian di luar. Jessie berlari tanpa menoleh lagi ke belakang dan membawa serta mainan cantik yang ia temukan. Tak lama kemudian, muncul sesosok gadis berwajah pucat dari balik pohon, tak jauh dari tempat di mana ia dan Chris sedang berbincang tadi. Menatap kepergian Jessie dengan sorot mata tajam.

Gadis itu pun kini muncul di hadapan Anne dengan wujud yang berbeda, menyerupai anaknya.

“Si—siapa kau?” ucap Anne dengan suara bergetar. Di detik berikutnya, gadis itu memutar badan hingga mereka saling berhadapan.

Anne menghela napas, lalu mundur perlahan ketika sosok di depannya mulai mendekat. Tapi sial, Anne terjatuh setelah kakinya menginjak lantai dengan posisi yang lebih rendah.

“Aw!” Anne meringis kesakitan. Saat ia mencoba untuk berdiri, hal yang lebih mengerikan terjadi. Gadis itu sudah berdiri tepat di hadapannya. Membungkukkan badan sambil menunjukkan wajah yang menyeramkan—mata melotot tajam, lidah menjulur keluar dengan gigi yang menghitam. Mulutnya juga mengeluarkan cairan yang berbau busuk, menetes pelan hingga mengotori lantai.

“Aaaa!!!” Anne menjerit sebelum akhirnya jatuh pingsan.(*)

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita