Broken
Oleh: Veronica
Aku berlari kecil menembus padatnya ibu kota. Terik matahari seakan membakar sekujur tubuh yang kini mulai berpeluh. Tak lagi kupedulikan tatapan heran orang-orang yang melihat pemuda tanggung tengah berlari sekuat tenaga. Dengung kendaraan yang berlalu lalang pun tak mampu mengalihkan kegundahan hati yang sudah tak lagi pada tempatnya, seolah hilang sejak menerima telepon dari Ibu.
Kupercepat lagi langkah yang terasa melambat, saat teringat suara tangisan Ibu di telepon tadi. Beliau mengabarkan tentang kecelakaan yang dialami Fadil, si bungsu, yang baru berusia lima tahun. Sebuah motor tanpa sengaja menabraknya saat bermain hingga mengakibatkan luka yang serius.
Jarak dari sekolah sampai ke rumah sakit sebenarnya tidak begitu jauh. Namun, terasa menguras tenaga saat ditempuh dengan tergesa-gesa. Setibanya di rumah sakit, kudapati Ibu tengah tertidur di kursi yang berada di samping ranjang pasien sambil menggenggam erat jemari mungil milik Fadil.
Sarah, adik pertamaku, tampak terpukul atas kelalaiannya menjaga si bungsu. Gadis kecil itu duduk bersandar sambil memeluk kakinya. Dari mata sembabnya, aku tahu dia baru saja menangis.
Sarah kembali menumpahkan kristal bening yang berisi penyesalan dari manik hitamnya, sesaat sebelum kurengkuh tubuh kecil itu. Sama sekali tak ada niat untuk menyalahkannya, bagaimanapun ia hanya seorang gadis yang baru berusia dua belas tahun.
Didesak himpitan ekonomi dan sikap egois ayah kami, maka ia menerima beban yang tak seharusnya. Meski aku lelaki, tapi aku rela bergiliran dengan Sarah untuk menjaga Fadil. Beruntungnya, kami sekolah di waktu yang berbeda. Ia masuk siang sedangkan aku di pagi hari.
“Kamu sudah sampai dari tadi?” Suara parau Ibu mengagetkan kami. Wanita paruh baya itu menghampiriku dan ikut duduk di atas tikar kecil yang sudah tergerus masa.
“Iya, Bu. Gimana kondisi Fadil?” Aku menatap mata sendu ibuku yang terlihat berusaha tegar menerima cobaan ini. Setidaknya di depan kami!
“Fadil harus dioperasi. Ada pendarahan di dalam perutnya yang jika tidak segera diatasi, akan berakibat fatal.”
“Operasi?” Aku terhenyak, tak berani membayangkan jagoan kecil kami harus dibedah organ tubuhnya. “Pelakunya gimana, Bu?”
“Ia hanya bisa membantu seadanya saja. Itu pun setelah diancam akan lapor polisi. Ia bersikeras bahwa kita yang salah, karena membiarkan Fadil main sendirian. Sarah lupa mengunci pintu depan waktu mandi. Ibu bingung harus dapat uang dari mana lagi!” Setetes cairan bening kembali merembes dari sela-sela matanya.
Aku terdiam mencoba meredam amarah atas kelakuan si pelaku. Namun, emosi itu berganti dengan kekalutan. Bagaimana caranya bagi kami untuk membayar biaya yang pasti tak sedikit itu? Makan sehari-hari saja kami kesusahan, apalagi untuk operasi.
“Aku mau pulang dulu, ya, Bu! Siapa tahu ada yang bisa membantu kita.” Ibu mengangguk dengan raut wajah yang menyiratkan keraguan.
Bagi kami yang hidup jauh dari keluarga besar, tentu saja sangat mustahil untuk mendapat pertolongan di saat kritis seperti ini. Namun, tekadku sudah bulat untuk mencari solusi kali ini. Meski baru kelas tiga SMA, aku harus menjadi tempat Ibu berlabuh di saat rapuh.
Berbekal niat dan berusaha menebalkan muka di hadapan tetangga demi kesehatan adik tercinta, terkumpul sejumlah uang yang masih jauh dari kata cukup. Bahkan, nilainya tak mencapai setengah dari biaya operasi.
Malam sudah beranjak naik, menambah pekatnya kegelapan dalam hati yang sedang terpuruk. Aku terduduk di kursi taman belakang rumah sakit dengan gelisah. Bagaimana lagi cara mendapatkan uang? Andai saja pria busuk yang dulu kupanggil “ayah” itu masih bersama kami. Mungkin saja, aku tak perlu sekalut sekarang. Bukan! Malah mungkin saja kecelakaan ini tak akan pernah terjadi. Ah! Percuma rasanya berandai-andai saat ini, karena sama sekali tak mengubah keadaan. Ia sudah begitu terlena dengan gadis yang menurutnya lebih baik dibanding ibuku. Tak ada alasan untuk kembali pada kami.
Di detik-detik terakhir bulir bening dari sudut mata ini tumpah, aku teringat sosok yang selama ini selalu kujauhi di sekolah. Anwar, siswa bandel sekaligus pengedar obat haram dan sudah menjadi rahasia umum di SMA kami. Karena kelihaiannya sebagai kurir, guru maupun polisi tak pernah bisa mengungkap perbuatannya.
Seakan mendapat angin segar, aku berlari keluar rumah sakit dengan penuh harapan. Menempuh pilihan terakhir di saat hati sudah tak lagi bisa mencerna hal baik dan buruk.
***
“Kapan nikah, Di?” tanya Anton dengan mulut yang penuh berisikan makanan yang baru saja ia suapkan.
“Kalau makan jangan sambil ngomong!” sergahku kesal mendapat pertanyaan yang selalu menjadi topik utama dalam obrolan bersamanya dan beberapa teman lainnya.
Warteg berukuran kecil di samping pabrik garmen tempat kami bekerja, selalu tampak ramai di saat jam makan siang seperti ini. Aku dan dua orang sahabat sudah menjadi pelanggan tetap di sini sehingga tak khawatir kehabisan.
“Kenapa nggak dijawab?” Rudi yang duduk di sebelahku ikut menimpali. Bapak satu orang anak itu tampak menanti jawaban.
“Harus, ya?”
“Iyalah! Mau sampai kapan kamu jomblo begitu? Anton aja yang mukanya pas-pasan udah dapet jodoh, masa kamu yang ganteng gitu masih betah sendiriran!” cecar Rudi yang segera mendapat sikutan dari Anton.
“Nanti! jika waktunya sudah tepat,” aku menjawab sekenanya. Piring bening yang tadinya berisi nasi dan telur balado itu sudah tandas. Tak menunggu lama, segelas teh tawar pun ikut ludes tak bersisa.
“Seandainya nih, ya! Seandainya jodoh itu yang maju duluan, apa kamu mau?” Rudi menatapku serius.
Aku hanya mengedikkan bahu sambil tersenyum. Ini bukan kali pertama kaum Hawa duluan yang memintaku menjadi imamnya. Namun apa daya? Hati kecil ini masih belum menginginkan membangun rumah tangga sebagaimana mestinya.
Luka masa silam masih terasa amat menyakitkan, meski sudah bertahun-tahun berlalu. Trauma akan sebuah keluarga harmonis yang berujung pada perceraian dan mengakibatkan penderitaan bagi anak-anaknya.
“Kali ini bukan datang dari orang lain tapi dari aku!” Rudi kembali menegaskan kata-katanya yang membuatku dan Anton tercengang.
“Kamu mau nikahin Adi sama Tasya, anakmu? Dia baru berumur lima tahun!” Anton mulai histeris. Tanpa segan, Rudi menoyor kepalanya diiringi pekikan kesal.
“Sembarangan aja kalau ngomong! Bukan Tasya, tapi Adelia. Kamu tau, kan?”
Aku mengingat sosok Adelia, adik kandung Rudi. Usianya terpaut lima tahun dengannya. Gadis dengan hijab yang cukup besar dan selalu menjaga pandangannya dari kaum Adam. Apakah benar dia juga berharap aku menjadi imamnya?
“Aku tahu. Tapi, kamu pasti salah jika menjodohkan kami. Adelia tidak akan cocok bersanding dengan mantan napi sepertiku.”
“Itu, kan, masa lalu! Kesalahan itu selalu kamu jadikan alasan untuk menolak niat baik yang datang. Aku sudah menceritakan kisahmu itu pada Adelia dan ia tak mempermasalahkannya.” Rudi tetap ngotot dengan keputusannya. Ia adalah sahabatku sejak masa SMA, tentu saja ia tahu semua hal tentangku.
“Sampai kapan kamu terus melihat ke belakang?” Anton yang sedari tadi hanya mendengarkan, kini ikut angkat suara.
“Aku akan istikharah dulu. Semoga kami memang berjodoh.” Kali ini, aku mengakhiri obrolan itu dengan secuil harapan. Hati kecil ini pun memang pernah mengagumi sosok Adelia, tapi tak pernah berani untuk melangkah lebih jauh.
Sepulang kerja di sore hari, aku mampir di kios sembako milik Ibu. Dengan perasaan gugup, kuceritakan semua niat Rudi siang tadi. Wajah teduh wanita tangguh itu seketika berbinar setelah mendengar kata pernikahan. Itu merupakan impian Ibu sejak lima tahun belakangan ini. Beliau ingin jejaka tuanya cepat menikah dan memberinya cucu.
“Terima saja niat baik temanmu itu! Ibu sudah bosan menunggu cucu darimu. Sarah, adikmu itu malah sudah punya dua anak. Apa kamu nggak ingin membahagiakan ibumu ini?”
Tentu saja aku ingin beliau bahagia. Tak terbersit untuk membuatnya kembali merasakan kesedihan berkepanjangan setelah kepergian Fadil. Iya, adik lelakiku itu berpulang ke Rahmatullah akibat kecelakaan tujuh belas tahun silam. Biaya memang terkumpul setelah aku menempuh jalan yang salah dengan menjadi kurir obat haram perusak generasi muda. Namun, uang kotor itu tak mampu menyelamatkan nyawa Fadil. Air mata beliau juga tumpah saat seminggu kemudian aku dibawa polisi ke Hotel Prodeo.
Dua tahun mendekam di balik jeruji besi, membuatku sadar. Tak akan ada kebaikan yang terjadi jika jalan yang ditempuh sejak awal sudah salah. Sejak saat itu, aku merasa menjadi pecundang. Kebencianku pada lelaki yang pernah menikahi Ibu tiga puluh lima tahun lalu itu semakin membesar. Pernikahan yang berakhir dengan kekecewaan bagi kami, anak-anaknya.
“Insya Allah dengan restu Ibu dan setelah istikharah, aku akan segera meminangnya,” ujarku mantap. Bulir bahagia mengalir dari sudut matanya. Beliau memeluk erat tubuhku yang gemetar menahan haru.
***
Setahun pertama setelah menikah dengan gadis manis berhidung bangir itu, merupakan tahun terberat bagiku. Jeda antara taaruf sampai ke pernikahan terjadi dalam satu helaan napas.
Kecanggungan terasa menyelimuti malam-malam dingin yang menjadi saksi bisu bahwa istriku masih belum terjamah. Setiap menyentuhnya yang terbayang malah tangis dan derita Ibu akibat ulah Ayah. Hati ini masih takut untuk menjalin ikatan yang bahkan aku sendiri belum mengetahui akan seperti apa akhirnya.
Beruntung bagiku, Adelia tak pernah atau mungkin segan untuk meminta haknya itu. Kami sepakat menjalin hubungan secara perlahan sampai yakin untuk bisa membahagiakannya kelak.
Semua berubah saat memasuki tahun kedua pernikahan kami. Ibu mulai mendesak untuk memberikannya cucu. Dengan sabar, Adelia mengajakku berobat ke psikiater dengan alasan trauma masa lalu. Setelah beberapa kali dibujuk, aku menerima tawarannya itu.
Dengan telaten dan penuh kesabaran selama lima bulan ini, ia membantuku untuk sembuh. Dari mulai konsultasi, terapi dan obat-obatan rutin, semuanya ia yang mengurus. Sungguh bodoh diriku yang malah terus-menerus berkubang dalam ketakutan tak beralasan.
Selepas salat Isya dari musala, aku tak langsung masuk ke dalam rumah. Duduk di teras sambil memandang ke arah langit yang bertabur bintang sesekali memang menyenangkan. Hobi yang agak feminin memang, tapi aku tak peduli.
Terdengar bunyi pintu dibuka dari dalam disertai wangi kopi yang memanjakan indra penciumanku. Adelia sudah hafal kebiasaan ini, sehingga ia selalu membawakan kopi tanpa diminta.
Wanita dengan tubuh mungil itu hendak kembali ke dalam, membiarkan diriku bertemankan sendiri dan sunyi, seperti biasanya. Namun, malam ini terasa berbeda. Aku meraih tanganya dan menuntun tubuh berbalut gamis merah muda itu agar duduk di sampingku. Ada keraguan dalam gerakannya. Seolah tak percaya atas sikap yang tak biasa ini.
“Temani Mas, sebentar saja!” pintaku yang disambut senyum dari bibirnya yang merekah. Cantik.
Beberapa lama kami terhanyut dalam keheningan. Ada rasa hangat yang selama ini kurasakan jika bersamanya, meski tak pernah terucap. Jauh di lubuk hati ini sudah lama mencintainya hanya saja berat untuk mengutarakan langsung.
“Maafkan Mas, ya!”
“Untuk apa, Mas?” tanya Adelia polos.
“Untuk semua waktu yang terbuang karena tetap bersamaku selama ini. Juga untuk semua ketulusanmu. Kamu pasti menyesal?” Aku menatap manik hitam yang terlihat berpijar. Senyum terkembang menghias wajah ovalnya yang cantik walau tanpa make up.
“Nggak pernah ada kata menyesal, Mas. Kalau menyesal nggak mungkin aku minta Mas Rudi untuk menjodohkan kita. Aku percaya dari dulu, kalau kamu adalah imam yang mampu menuntun keluarga kita kelak ke Jannah-Nya.”
“Amin!”
Tanpa terasa malam kian larut dan mengembuskan angin dingin yang menyusup hingga ke tulang. Kami beranjak masuk meninggalkan kunang-kunang yang bersinar dalam pekatnya kegelapan.
Aku tersadar saat memegang tangannya tadi, jurang itu sudah hilang sepenuhnya. Palung luka di hati yang memberi jarak bagi kami, kini sudah lenyap berganti cinta yang teramat sangat. Dengan penuh keyakinan, kubimbing Adelia mengarungi malam dengan bahtera cinta yang seharusnya terlaksana dua tahun lalu.
***
Aku menunggu Adelia yang tak kunjung selesai mematut dirinya di depan kaca. Entah sudah berapa kali netra ini melihat ke arah jam di dinding, berharap ia segera keluar. Tak ada waktu lagi, aku hampir berteriak memanggil sebelum akhirnya pintu kamar terbuka.
Sosok wanita sederhana pendamping hidupku kini berubah menjadi wanita yang elegan dengan riasan wajah natural. Tubuhnya terbungkus gamis biru dan hijab yang senada. Senyumnya tak putus terkembang dari bibirnya yang dilapisi lipstik warna merah.
“Wah … istriku cantik sekali hari ini!” pujian mengalir begitu saja setelah memandangnya tanpa berkedip.
“Apaan, sih, Mas! Yuk, kita berangkat! Nanti kesiangan,” ucapnya sambil menyembunyikan rona merah dipipinya.
“Laaah … yang bikin telat itu siapa?’
“Udah, ah! Nanti Alif nungguin, lho!” Adelia berjalan mendahuluiku yang sebenarnya masih ingin menggodanya.
Hari ini merupakan hari bahagia kami. Alif, anak semata wayang kami akan wisuda dan mendapat gelar sarjana dengan nilai yang baik meski bukan yang terbaik. Ada kebanggaan besar dalam hatiku karena bisa mendidik dan membesarkannya sampai sekarang.
Dua puluh tujuh tahun berlalu dalam membangun rumah tangga, tentu saja tak seindah cerita dongeng. Namun, pengalaman di masa lalu mengajarkanku untuk selalu bersyukur. Onak dan duri dalam pernikahan adalah bumbu penyedap bagi hubungan kami. Tak mungkin tega membiarkan Alif merasakan pahitnya menjadi anak broken home, seperti diriku. Insha Allah, jika Allah mengizinkan. Amin!(*)
TNG, 21/01/2018
Raini Azzahra, penulis amatir yang tergila-gila pada drakor dan juga donat. Sampai detik ini belum bisa move on dari semua hal yang berbau romance. Bisa dihubungi lewat Fb : Raini Azzahra/Veronica Za.
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita