Suamiku Bukan Suamiku 7
Oleh: Tutukz Nury Firdaus
Hari ini aku sangat gembira karena besok sudah diperkenankan pulang oleh dokter. Dan lebih senang lagi karena Nina datang berkunjung menjengukku. Tidak hanya Nina, banyak kerabat dan handai taulan datang berkunjung memberiku doa dan semangat supaya lekas pulih.
Mas Pras pulang lebih awal, selepas salat Jumat dia tidak kembali ke kantor tapi langsung ke rumah sakit untuk menjagaku, menggantikan Mama yang sudah menjagaku sejak pagi saat Mas Pras bekerja.
“Assalamualaikum,” suara beberapa orang mengucapkan salam secara serempak.
“Waalaikumsalam,” Mas Pras menjawab salam itu. Ternyata teman-teman sekantor Mas Pras yang datang.
Mas Pras menyambut dan mempersilakan mereka masuk. Mereka semua berenam, empat orang pria dan dua orang wanita.
“Apa kabar, Ibu? Kenalin saya Aca,” ucap salah satu gadis manis dengan wajah khas Jawa. Dia menyalami dan mencium pipi kiri dan kananku. Padahal aku risih karena beberapa hari belum mandi, hanya seka saja.
“Dan ini Bu Nadia.” Orang yang di perkenalkan Aca datang menyalamiku, tak lupa dengan cipika cipiki juga.
“Kalo yang berlesung pipit itu Pak Firman, trus yang kurus itu Pak Andi, yang agak-agak black sweet itu Pak Rio, yang paling sehat itu Pak Reza,” gadis bernama Aca memperkenalkan teman-temannya satu per satu dengan gayanya yang tengil namun terkesan kocak. Sedangkan orang yang diperkenalkan hanya tersenyum melihat tingkahnya.
“Mbak Aca ini kelihatannya kalem, ya. Tapi ternyata…,” aku menggantung kalimatku.
“Ternyata nyenengin ya, Bu,” timpalnya dengan percaya diri sambil terkekeh. Disambut ucapan “Hu” dari teman-temannya.
“Aca itu nama lengkapnya acakadul,” celetuk Pak Reza disambut tawa oleh orang-orang di ruanganku.
“Akhirnya, Aca bisa ketemu Bu Ratih.” Aku hanya tersenyum saja mendengar celoteh Aca.
“Pak Pras sih, ga pernah ngajakin Ibu Ratih kalau ada acara,” lanjutnya.
“Diajak, kok. Cuma orangnya ga mau,” ucap Mas Pras membela diri.
“Bukan gitu, Mbak. Saya yang tidak mau. Anak-anak masih kecil. Takut ruwet di acara nantinya,” sanggahku secara halus. Walaupun apa yang dikatakan Aca itu benar adanya, tapi bukankah aku harus menjaga nama baik dan wibawa suamiku pada bawahannya.
“Eh… Bu Lily kemana, ya? Kok, ga datang,” Bu Nadia yang dari tadi hanya senyum-senyum mendengar candaan Aca dan temannya yang lain tiba-tiba bersuara. Hatiku mencelos mendengar nama itu. Aku dapat melihat perubahan ekspresi pada raut wajah Mas Pras. Yang tadinya santai berubah menjadi agak kikuk. Aku berpikir apa berani wanita itu datang menemuiku?
“Ini dia WA sama aku, katanya ban motornya bocor,” ucap Aca sambil memasukkan HP ke dalam tas hitamnya.
“Alasan!” batinku berteriak. Aku berdoa supaya dia tidak datang saja.
“Trus gimana ini, kita nunggu Lily atau pulang duluan?” tanya Pak Andi meminta pendapat pada teman-temannya yang lain.
“Tunggu ajalah, kasian,” ucap Pak Reza.
Setengah jam berlalu. Yang ditunggu belum juga datang, Bu Nadia tampak gelisah.
“Duh, saya lupa. Anak saya gak ada yang jemput pulang dari madrasah,” Bu Nadia buka suara.
“Saya juga, ada acara kondangan habis ini,” Pak Firman menimpali.
“Ya sudah deh, kita pulang aja duluan. Biarin dah Lily nanti sendiri. Toh, ada Pak Pras yang…,” ucapan Aca terhenti karena lengannya disikut oleh Bu Nadia yang membuat Aca menjadi salah tingkah.
Mereka berenam pamit. Sebelum mereka semua keluar dari ruanganku, perempuan itu datang. Mas Pras menyambutnya dengan kaku. Dia tersenyum manis, tapi bagiku terlihat seperti seringai serigala yang licik. Punya nyali juga rupanya dia.
Lily melangkah dengan mantap menuju ke arahku. Dia terlihat anggun dengan setelan blazer merah muda berpadu dengan rok hitam panjang. Jilbab kotak-kotak merah muda kombinasi hitam serasi dengan baju yang ia kenakan, membuat wajahnya terlihat semakin manis. Mata lentiknya terlihat bercahaya, bibir tipisnya menyunggingkan senyum. Dan aku paling suka dengan alis ulat bulunya.
Dia mengulurkan tangan dan aku menyambutnya, bagaimanapun saat ini dia adalah tamuku yang harus aku hormati.
“Bagaimana keadaanmu, Mbak? Aku turut gembira saat Mas Pras memberitahuku, kalau Mbak sudah sadar,” ucapnya basa-basi.
“Seperti yang kau lihat. Ternyata aku masih diberi kesempatan untuk bersama suami dan anak-anakku,” jawabku dengan penuh kemenangan. Mas Pras diam saja, duduk di sofa dengan wajah tegang.
“Ya… alhamdulillah banget, ya.” Dia duduk di kursi yang ada di dekat ranjang tanpa ada rasa canggung.
“Iya, berkat doamu. Aku tidak mati,” ucapku dibuat seramah mungkin.
“Mbak, jangan ngomong gitu, ah,” ucapnya sambil membenahi jilbabnya.
“Kenapa? Bukankah kamu ingin aku mati, supaya jalanmu bisa mulus,” ucapku sinis
“Maksud Mbak?” tanyanya sambil mengernyitkan dahi.
“Supaya jalanmu menikah dengan suamiku menjadi semakin mudah.” Mata lentiknya terbelalak mendengar kata-kataku. Raut wajahnya berubah menjadi sedikit kesal.
“Rupanya kedatanganku di sini tidak tepat. Aku pergi dulu.” Dia beranjak dari kursi dan melangkah menuju pintu.
“Tunggu!” ucapku dengan nada memerintah. Dia menghentikan langkahnya, “bisa aku minta tolong padamu?”
“Apa?” tanyanya tanpa memalingkan wajahnya padaku. Namun lirikan mata lentiknya menunjukkan bahwa dia sangat terganggu oleh kata-kataku.
“Tolong jauhi suamiku. Pergilah jauh-jauh dari kehidupan kami. Kau bisa minta apa pun padaku. Apa pun itu. Tapi jangan suamiku,” pintaku dengan tegas.
“Ratih, apa-apaan kau ini,” Mas Pras mendesis.
“Kau tak usah ikut campur, Mas. Ini urusan wanita. Antara aku dan dia.” Mas Pras tercekat mendengar kata-kataku. Dia diam mematung di dekat sofa. Aku berusaha keras untuk mengendalikan emosi. Bagaimanapun ini adalah saat yang tepat untuk membuatnya pergi.
Lily berbalik, tampak air mata sudah membasahi kedua pipi mulusnya. “Mbak, aku tau, Mbak pasti benci padaku. Mbak pasti marah padaku. Tapi hari ini aku datang kemari benar-benar ingin tau keadaaan Mbak. Aku merasa bersalah atas ini semua.”
“Akting yang sempurna,” ucapku sinis.
“Mbak beruntung ada di posisi yang selalu dianggap benar, dan dianggap sebagai korban dari keadaan ini. Mbak tau rasanya jadi yang kedua? Ga, kan?” tampaknya dia bukan orang yang mudah mengaku kalah.
“Seluruh dunia menyalahkan aku, karena aku datang di saat kalian sudah ada dalam sebuah ikatan pernikahan. Yang bahkan aku sendiri tidak ingin berada di posisiku saat ini. Apa Mbak tau rasanya dituduh melakukan sesuatu yang tidak pernah kita lakukan, Mbak tau rasanya?” ucapnya berapi-api. Aku diam saja menyimak kata demi kata yang keluar dari bibir tipisnya.
“Aku juga tidak pernah berpikir ingin merusak rumah tangga orang. Tidak, Mbak. Aku juga tidak ingin. Karena… karena…,” dia ragu meneruskan kalimatnya.
“Karena…,” aku menirukan kata terakhirnya sebagai perintah agar ia segera menuntaskan kata-katanya.
“Karena aku tahu rasanya mempunyai orang tua yang tidak lengkap. Ayahku hanya datang satu bulan sekali itu pun hanya tiga hari. Dan aku tidak ingin ada anak-anak mengalami hal serupa, apalagi akulah penyebabnya,” kali ini dia berkata dengan nada sedih dan tatapan yang sendu.
“Lalu kau pikir aku akan bersimpati dan percaya semua kata-katamu?” sinisku padanya.
“Aku tak minta Mbak untuk itu. Aku hanya ingin Mbak tau. Percaya atau tidak itu adalah hak Mbak.”
“Lalu bagaimana jika kau di posisiku. Apa kau tau bagaimana rasanya jika suamimu meminta ijinmu untuk menikah lagi? Bagaimana perasaanmu jika suamimu berkata dia lebih mencintai orang lain daripada kau, istrinya.”
“Sekarang Mbak tahu sakitnya, kan? Untuk itu jaga Mas Prasku baik-baik. Betapapun dia mencintaiku. Kami tak akan bisa bersama. Karena aku hanya memiliki hatinya tapi tak memiliki takdir Tuhan untuk bersama,” dia berkata dengan lirih diiringi air mata yang berlinang.
Kalimat terakhirnya benar-benar terasa menghujam ulu hatiku. Apakah itu artinya dia sadar bahwa aku tak akan pernah membiarkan suamiku jatuh ke tangannya? Dan dia akan pergi meninggalkan Mas Pras.
Hening. Aku membisu menelaah kata-kata Lily. Sedangkan Lily masih berdiri mematung dengan tatapan kosong.
“Lily, sebaiknya kamu pulang,” akhirnya Mas Pras buka suara. Memecah kebisuan di antara kita bertiga. Lily segera menghapus air mata di pipi mulusnya dan beranjak pergi meninggalkan aku dan Mas Pras.
Selepas kepergian Lily, aku dan Mas Pras masih membisu untuk beberapa saat lamanya. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Dia menatap kosong ke arah pintu. Mungkin dia sedang kepikiran Lily, namun tak tega meninggalkan aku sendiri di sini. Sedangkan aku berusaha setenang mungkin agar tak terbawa emosi. Aku ingat pesan Ibu.
***
Malam itu….
Ada suara motor berhenti di depan rumah. Aku tak segera keluar, takut karena ini sudah lewat jam sembilan malam. Aku mengintip dari balik tirai jendela. Dua orang perempuan. Ternyata itu adalah Ibu dengan salah satu karyawan toko yang selalu mengantarkan Ibu. Aku pun segera membuka pintu pagar.
“Ibu, kok malem banget?” tanyaku pada Ibu sambil mencium punggung tanggannya takzim.
“Mana Pras?”
“Ehm… anu itu lembur, Bu,” ucapku sedikit gugup. Aku mempersilakan Ibu dan Mbak karyawan itu masuk. Ibu langsung menuju ke ruang tengah. Sedangkan Mbak karyawan itu duduk di ruang tamu.
Di ruang tengah aku duduk di kursi yang berseberangan dengan Ibu. Tatapan Ibu yang teduh membuat aku merasa bersalah telah berbohong padanya.
“Nak, Ibu tanya sekali lagi, Pras kemana?”
“Lembur, Bu.”
“Jujur?” pertanyaan Ibu seperti menikam ulu hatiku. Aku tak kuasa membendung air mataku.
“Nak, ada apa sebenarnya antara kamu dan Pras? Mengapa setiap malam dia ada di toko. Kalau Ibu yang tanya dia hanya bilang sibuk. Makanya Ibu tanya kamu. Ada apa, Nak?” tanyanya lembut.
“Ibu, Mas Pras punya wanita lain dan dia bilang ingin menikahinya.” Aku terisak, kurasakan sesak di dada harus mengatakan ini semua. Mungkin ini saatnya Ibu mengetahui keputusanku untuk berpisah dengan Mas Pras.
“Lalu? Apa kau mengijinkannya?”
Aku menggeleng lemah. “Ratih memilih untuk mengalah, Ibu,” jawabku lirih dengan suara parau.
“Hmm… tak kusangka menantuku ini wanita yang lemah. Menyesal aku menuruti suamiku menikahkan Pras denganmu, Nak,” kata-kata ibu menohok perasaanku.
“Ibu pikir kau adalah wanita yang tangguh saat kau meminta segera dinikahkan dengan Pras dulu, walaupun kau tau Pras menentang pernikahannya. Tapi, cuma segini nyalimu. Kau mati-matian ingin menikahi Pras tapi ada godaan sedikit kau menyerah. Mana Ratih yang dulu? Mana Ratih yang gigih mengejar Pras? Mana?” Ibu berucap setengah berbisik dengan nada tegas.
“Lalu Ratih mesti gimana, Ibu?” Air mataku tumpah di pelukan Ibu, ia membelai lembut kepalaku.
“Nak, Ibu dulu juga pernah berada di posisimu. Ibu mengerti rasa sakitmu. Berjuanglah, Nak. Perjuangkan hakmu demi anak-anakmu, cucu Ibu. Buat Pras tak bisa lari darimu. Ibu selalu bersamamu. Ibu juga akan memperingatkannya nanti.” Ibu melepaskan pelukannya.
“Kau ingat, janjimu pada mendiang ayah mertuamu? Apa kau sudah lupa? Bahwa kau tak akan meninggalkan Pras apa pun keadaannya. Kau ingat?” Ibu memegang kedua bahuku dan menatapku dengan penuh keyakinan.
“Lakukan apa saja supaya Pras tetap bersamamu. Jangan hanya menangis. Menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Kau harus bangkit, harus kuat. Menantuku hanya Ratih, tidak yang lain.” Ibu menghapus air mataku. Senyum dan kata-kata Ibu seperti memberi kekuatan baru padaku.
Bersambung….
Tutukz Nury Firdaus, lahir di Banyuwangi. Ibu beranak dua ini adalah seorang guru yang saat ini aktif mengajar di pulau antah berantah. Dia menulis, untuk membunuh rasa sepinya yang harus hidup sendiri tanpa anak dan suami di tempat tugas.
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita