Namaku Hirosan
Oleh: Noery Noor
Namaku Hirosan. Aneh ya? Lebih aneh lagi karena aku tinggal di pegunungan, dengan bukit-bukit cadas yang gersang. Ibuku bernama Saminem dan bapakku bernama Paijo. Kata kakek, beliaulah yang memberi nama Hirosan padaku karena dulu pernah mengenal seorang serdadu Jepang yang bernama Hirozo, sehingga memanggilnya Hiro San. Untuk mengabadikan persahabatan mereka Kakek memberiku nama Hirosan, sebagai cucu laki-laki satu-satunya.
Aku bangga dengan nama yang Kakek berikan. Setidaknya namaku berbeda dengan yang lain. Tubuh mungil, mata sipit, kulit kuning dan rambut merah kecoklatan. Hampir setiap orang bertanya, kamu ini benar-benar anak Mbak Saminem, bukan?
Aku akan lari menjauh sambil tertawa nyengir, lalu bertanya pada Mbak Lela, “Bapak-Ibu kulitnya sawo matang, rambutnya hitam berombak, mengapa aku beda jauh dengan mereka?”
Berulang kutanyakan hal itu, karena hampir setiap orang selalu menatap aneh padaku.
“Itu namanya gen resesif,” Mbak Lela menjelaskan,”yaitu sifat keturunan yang tidak dominan. Warna kulit kuning ada pada Ibu dan Bapak, tapi kalah dengan warna cokelat. Demikian juga dengan warna rambut,” lanjut Mbak Lela menjelaskan.
Mataku mengerjap-ngerjap mencoba memahaminya, meskipun tetap saja aku tak paham.
Hari itu untuk ketiga kalinya aku dipanggil Bu Wening.
”Ini bulan apa, Hiro?” tanya Bu Wening saat aku sudah duduk di hadapannya.
“Bulan Desember, Bu.” Aku masih belum mengerti apa maksud Bu Wening menanyakan itu. Adikku yang masih kelas satu pun tahu, kalau bulan ini bulan Desember.
“Berarti sudah berapa bulan Hiro belum bayar uang sekolah?” tanya Bu Wening lembut, takut aku tersinggung. Di desaku hanya ada satu Sekolah Dasar, itu pun swasta sehingga setiap murid tetap dikenakan iuran pendidikan.
Aku hitung dengan jari, “Juli, Agustus, September, Oktober, November, Desember … enam bulan, Bu,” jawabku sambil menunduk.
Sedih.
“Apakah kalau tidak bisa mbayar tidak boleh masuk, Bu?” tanyaku khawatir namun guru idolaku itu menggeleng sambil membelai rambut merah kecoklatan milikku.
“Sampaikan saja pada ibumu kalau sudah enam bulan SPP belum dibayar.”
Aku mengangguk, lalu keluar ruangan dan kembali bermain dengan teman-teman. Sesekali terlintas di pikiranku apa yang dikatakan Bu Wening tadi.
Tapi sesampai di rumah aku tak tega menyampaikannya pada Ibu yang sedang terbaring sakit di ruangan yang hanya dibatasi tripleks.
“Ibu sakit lagi?” Aku duduk di sisi pembaringan Ibu. Aku mengelus dan memijit pelan kaki Ibu.
“Cuma capek, nanti juga baikan,” jawab Ibu sambil tersenyum. Ibu selalu tersenyum. Tapi aku tahu beban Ibu tidaklah ringan, terlebih setelah Bapak meninggal.
Aku urungkan niatku untuk minta uang pada ibu.
Hampir dua tahun ibu menderita kanker lambung. Penyakit itu ditemukan saat sudah parah. Sejak itu kami harus hidup prihatin. Meskipun sakit Ibu terus bekerja keras agar aku, Mbak Lela dan adikku Menik bisa sekolah. Setiap hari Ibu membuat kue untuk dititipkan di sekolah. Hasilnya lumayan bisa untuk makan kami sehari-hari, meskipun masih belum cukup untuk biaya sekolah kami. Uang saku kami bertiga pun tak sebanyak teman-teman yang lain, bahkan lebih sering tak ada sama sekali.
“Mengapa Ibu tidak berobat ke rumah sakit, biar cepat sembuh?” Berulang kali aku tanyakan hal itu kepada Ibu.
Aku ingin Ibu segera sembuh.
“Biayanya sangat mahal, Hiro. Kita tidak punya cukup uang,” jawab beliau sambil menghela napas panjang.
“Tapi bagaimana Ibu akan bisa sembuh?’ tanyaku gusar karena takut. Kata teman-teman banyak orang yang mati karena penyakit itu.
Aku ingin bersama Ibu lebih lama. Aku ingin Ibu merasa bahagia melihatku sukses dan kaya. Selalu juara kelas dan bisa membelikan obat untuknya. Itulah harapanku saat ini. Aku berjanji tidak akan menjadi beban Ibu.
Saat istirahat, guru lukis kembali memanggilku. Penuh ragu dan cemas kumasuki ruang kantor. Duduk dengan lutut gemetar dan tangan tak henti saling meremas karena gelisah.
Bu Wening menatap ramah dengan seulas senyum di bibirnya.
“Hiro, Ibu minta tolong. Besok kamu mewakili sekolah maju dalam acara lomba lukis. Waktunya mendadak, jadi hari ini dan nanti malam kau harus berlatih keras, agar besok bisa juara,” kata guru favorit di sekolah itu pelan. Matanya berbinar cerah tak henti menatap wajahku yang diliputi kecemasan.
“Tapi …,” jawabku ragu.
“Berlatihlah dengan baik! Segala sesuatu sudah Ibu siapkan, termasuk peralatan dan seragam untuk besok,” lanjut Bu Wening memotong keraguanku, dengan senyum ramah untuk meyakinkanku.
“Baik, Bu. Saya akan berusaha dengan baik.”
Aku merasa banggga mendapat tugas dari Bu Wening.
“Istirahatlah, Hiro … sudah larut malam. Kalau besok kamu sakit tidak jadi ikut lomba,” berkali-kali Ibu mengingatkan. Kujawab dengan senyuman penuh semangat karena berharap bisa menang besok pagi. Akan kujadikan kemenanganku sebagai kado ulang tahun buat wanita yang telah melahirkan dan membesarkanku. Beliau pasti akan bangga dengan prestasi yang aku peroleh.
“Adek jangan terlalu berharap, sainganmu pasti banyak dan hebat-hebat. Tetaplah optimis, tapi rendah hati dan jangan pernah sombong,” Mbak Lela mengingatkan dan kuiyakan saja meskipun belum paham maksudnya. Mbak Lela benar, sebenarnya aku hanya juara dua tahun ini. Namun karena setiap kecamatan harus mengirim dua orang peserta, jadi aku punya kesempatan untuk ikut lomba.
“Menang atau kalah, itu bukan masalah, Hiro. Kau sudah melakukan yang terbaik. Sekolah berterima kasih dan bangga atas prestasimu,” Bu Wening menenangkan aku yang gelisah saat menunggu pengumuman hasil lomba.
Tangannya tak henti mengelus dan membelai pundakku. Degup jantungku semakin kencang, dan tubuhku menjadi gemetar saat panitia menyebut satu per satu para juara.
Tapi namaku belum juga disebut.
Hingga juara ketiga, namaku belum juga disebut. Punah sudah harapanku. Tak mungkin aku menjadi juara pertama, batinku dalam hati.
Tubuhku terasa lemas. Terbayang wajah Ibu yang semalam menemaniku. Ibu pasti sangat kecewa. Tadi aku berharap bisa menjadi juara harapan, atau syukur kalau bisa juara ketiga. Tapi nampaknya keadaan tidak berpihak padaku.
Ahhh. maafkan aku, Ibu! Aku mengecewakanmu. Hiro gagal, Bu!
“Hiro, Ayo maju!” Tersentak aku oleh suara tepuk tangan dan tepukan lembut Bu Wening di bahu kananku.
Aku menatap bingung. Tadi tak kudengar panitia menyebut namaku. Semakin bengong saat ratusan pasang mata memandang takjub ke arahku.
“Ayo maju, kamu menang, Nak! Majulah! Terima hadiahnya!” bisik Bu Wening sambil menggamit tanganku.
“Aku?” jawabku masih tak percaya.
Namun tangan Bu Wening dengan pelan membimbing ke atas panggung. Ada rasa aneh yang mendesak-desak dalam dadaku yang tak dapat kuungkapkan, rasa senang yang tak dapat kuceritakan.
Dengan bangga dan bahagia kubopong piala kejuaraan lomba lukis dan kukantongi sejumlah uang pembinaan, cukup untuk membeli sepatu untuk aku, Mbak Lela, dan Menik. Sisanya bisa untuk membeli obat Ibu.
Ahh bahagia sekali rasanya bisa membuat Ibu tersenyum di tengah sakit dan deritanya. Kubayangkan Ibu pasti akan menangis bahagia karena prestasiku. Tak sabar rasanya aku ingin bertemu dengan Ibu!
Setengah berlari kuhampiri pintu rumah yang terbuka. Melewati halaman rumah yang sempit tetapi banyak orang. Mereka menatapku dengan trenyuh.
Kudekati Ibu yang terbaring tenang. Para tetangga dan kerabat berdiri menatapku dengan wajah pilu. Mbak Lela menangis di sudut ruangan, mendekap Menik erat-erat seolah takut seseorang akan merenggutnya.
“Hiro pulang, Bu! Hiro pulang dengan piala kemenangan yang Hiro janjikan,” teriakku sambil membuka kain penutup wajahnya. Ibu tampak tersenyum dalam tidurnya, meskipun tak ada embusan napas lagi.
“Hiro menang, Bu! Anak Ibu menang! Terima kasih telah merawat dan menjagaku. Hiro akan menjaga Adik dan Kakak dengan kasih sayang seperti yang Ibu ajarkan. Hiro janji, Ibu!”
Kuikrarkan janji di hadapan Ibu yang membisu bergeming.
Semua orang memandangku dengan wajah basah oleh air mata. Beberapa orang mendekat dan membisikkan pesan agar aku tabah dan sabar.
“Kamu, anak pintar, Hiro. Kamu anak yang hebat!” demikian kata mereka yang membuat dadaku terasa kian sesak. Ribuan jarum lembut seolah menusuk isi dadaku.
Bu Wening membimbingku menepi saat beberapa orang mendekat untuk merawat jenazah Ibu.
Guru kesayanganku itu berjongkok di depanku sambil memegang kedua bahuku, “Hiro, kau bukan hanya juara dalam lomba hari ini, tapi kau akan menjadi juara dalam kehidupanmu nanti, ibumu pasti akan bangga, Hiro,” katanya sambil mendekap erat tubuhku, wajah yang penuh air mata itu kuhapus pelan.
“Bu, terima kasih telah membantu Hiro membahagiakan ibuku meskipun terlambat,” kataku sambil tersenyum, meskipun dengan dada terasa sesak.
Aku yakin Ibu baik-baik saja. Ibu hanya terlalu lelah dan butuh istirahat, karenanya aku tidak berteriak atau meraung sedih. Aku tak ingin Ibu terbangun! Meskipun ada rasa sakit yang mencabik-cabik dalam dada. Air mata menetes deras tanpa dapat kutahan.
Kupanggil Ibu dalam rintih yang paling perih.
Biarkan Ibu istirahat dengan tenang, aku tak ingin Ibu terbangun!(*)
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita