Keinginan Terpendam Nesa

Keinginan Terpendam Nesa

Keinginan Terpendam Nesa

Oleh: Dandelion Rindu

Beberapa menit yang lalu, benda tipis dan tajam berukuran tiga sentimeter itu masih menempel pada sebuah rautan berbentuk bintang. Sekarang, benda kecil itu sudah tidak pada tempatnya. Berpindah, tepat di genggaman Nesa. Sesekali ia pandangi dengan lekat, lalu dihempaskannya ke lantai dengan ekspresi gemas. Benda tajam itu terpelanting ke bawah tempat tidur.

Nesa panik.

Segera ia merangkak untuk mencarinya di tengah temaram lampu kamar. Beberapa kali kepala gadis berusia 13 tahun itu terantuk ranjang besi. Mengaduh dengan suara pelan, tapi tangannya terus aktif meraba keramik lembab berwarna cokelat. Tak berapa lama, ia dapatkan juga walau dengan susah payah. Sejenak ia kegirangan, lalu pilu menusuk.

Nesa menggenggam erat benda mirip silet itu di dada, seolah tak ingin berpisah dengan kesayangan. Beberapa detik kemudian, diletakkan kembali di atas meja belajar dengan hati-hati. Ia pandangi kembali lekat-lekat. Beribu pemikiran pun berkecamuk.

Ada sebuah suara berbisik, menyuruhnya untuk melakukan sesuatu.

“Sekarang saatnya Nesa, cepat! Sebelum mereka melihatmu.”

Secepat kilat Nesa meraih rautan yang mengkilat. Namun, tiba-tiba suara lain muncul.

“Tidak Nesa, ini salah. Kamu gadis baik. Masa depanmu masih panjang.”

“Aaarrrggghhh …,” teriak Nesa tertahan.

Kepalanya terasa semakin sakit mendengar bisikan-bisikan yang entah berasal dari mana.

“Dengar Nesa!! Kamu pikir sakit itu adalah derita? Kamu mana tahu sakit itu adalah kenikmatan, jika kamu tidak mencobanya barang sekali.”

Suara itu terdengar sangat menggoda.

Nesa beranikan diri untuk menatap lagi. Ia nampak berpikir sebentar, lalu tak lama menyematkannya di antara ujung ibu jari dan telunjuk.

Sesosok gadis belia yang kata orang berwajah ayu, berkulit putih dan selalu ceria, sekarang malah sedang terkunci dalam ruang bernama “sakit”. Ia nampak kacau dengan rambut yang acak-acakkan dan mata sembab. Tak mampu mengendalikan semua rasa di dada.

“Ayo Nesa, cobalah! Sakit yang kamu rasakan tidak akan terasa lagi jika kamu melakukannya sekarang. Percayalah!!”

Suara itu terus memburu.

Diayunkannya benda tajam itu perlahan tapi pasti ke arah tangan kiri. Sedikit demi sedikit cairan merah keluar, beberapa saat kemudian mengental. Perih mulai menyergap. Sejenak sakit itu teralihkan. Nesa tersenyum sinis.

“Inikah kenikmatan itu?” tanyanya lirih pada diri sendiri.

“Aku benarkan? Bagaimana rasanya? Itu belum seberapa. Ingin mencoba lagi? Buatlah sayatan di samping luka yang kau buat tadi, nikmatilah sensasinya!!” bisikan itu tak henti menggoda.

Luka pertama tidak begitu dalam. Ia pikir, selanjutnya harus dibuat lebih menyenangkan. Ini sesuatu yang baru untuk Nesa. Entah dari mana sumber bisikan yang memberinya ide bodoh itu, karena kini telah menjadi candu untuknya.

Suara-suara itu terus merayu hingga di goresan ke lima. Setelahnya senyap. Kunang-kunang terlanjur menari di atas kepala, seakan bersorak melihat sebuah kekalahan. Sayatan ke lima telah membuat Nesa setengah tak sadarkan diri. Ia sendiri syok melihat darah membanjiri meja belajar. Nesa tertunduk lemah.Tak ada lagi suara-suara merayu.

Sayup terdengar pintu diketuk.

“Nesa …,” seseorang memanggil.

Nesa masih mengenali suara halus milik Arin, kakak pertamanya yang sangat lembut. Usia mereka terpaut sepuluh tahun. Pemikiran Arin sangatlah dewasa. Karena itu, ia membiarkan adik kecilnya untuk menata hati setelah mendapatkan kabar buruk dari sang Papa.

Seharian ini Nesa memang tidak keluar kamar. Untuk sekedar mandi atau makan pun ia enggan. Sejak pagi sampai sore ini, sudah beberapa kali Arin memang mengetuk pintu kamar Nesa. Hanya untuk memastikan bahwa adiknya baik-baik saja. Nesa butuh waktu untuk menerima kenyataan.

Beberapa saat lalu, walau dengan malas Nesa masih bisa menjawab. Namun kali ini, ia tak mampu untuk sekadar mengeluarkan suara.

“Nesa …,” sekali lagi Arin memanggil. Ada nada khawatir dalam suaranya.

“Nesa, kamu baik-baik aja, Dek? Kakak boleh masuk?”

Tak ada jawaban.

“Dek, buka, Sayang! Kakak pengen ngomong. Kamu lagi tidur?”

Tubuh Nesa semakin lemah, namun masih bisa mendengar Arin berlari ke arah jendela kamar.

Arin memicingkan mata. Menyisiri seluruh ruangan dengan saksama. Mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Mata bulatnya berhenti di satu titik.

“Astagfirullah, Dek. Kamu kenapa, Sayang?” Air mata Arin tak terasa jatuh begitu saja, lalu ia memanggil siapa saja yang bisa disebut di tengah kepanikan, “Mama, Mang Ujang, tolongin Nesa!!”

Reni, sang mama yang sedang menggendong Nia, si Adik bungsu, langsung berlari ke arah kamar. Disusul Mang Ujang dengan langkah seribunya berjalan menuju arah jeritan Arin.

Mang Ujang yang merupakan Adik sang Mama, berusaha keras mendobrak pintu. Berkali-kali tubuh cungkring itu beradu dengan papan berwarna cokelat di hadapannya. Sejurus kemudian pintu berhasil terbuka. Keluarga itu menangis histeris. Nia si bocah satu tahun pun ikut rewel.

“Nak, kenapa kamu begini, Sayang?” Reni panik. Segera ia menyuruh Ujang untuk membawanya ke rumah sakit.

“Semua ini gara-gara Papa. Kalau saja Papa gak nikah lagi dan gak nyakitin kita semua. Ini gak akan pernah terjadi, Ma. Haruskah adikku yang lain menjadi korban?” Arin histeris.

Suara Arin masih terdengar sayup di telinga Nesa. Lalu setelah itu matanya tertutup rapat. Tubuh mungil itu sudah tak berdaya. Tak ada lagi yang bisa didengar. Bahkan tangisan rewel si bungsu Nia pun tak mampu menyadarkan. Nesa kehilangan banyak darah dan ia tengah memulai mimpi panjang.

***

Sesaat sebelum semua itu terjadi, Nesa tuliskan semua kekecewaannya pada sebuah diary. Catatan harian itu ditemukan Arin di atas meja belajar adiknya ketika merapikan kamar.

Nesa masih berada di rumah sakit. Siang ini Arin berencana untuk menunggui adiknya, bergantian dengan Reni yang sejak kemarin sore berada di sana.

Arin dan Reni membaca diary Nesa bergantian setelah keduanya bertemu di Rumah Sakit. Tak henti isak tangis mereka saat membuka lembaran demi lembaran curhatan kekecewaan Nesa.

Diary, Nesa kecewa sama Papa. Nesa ga pernah ngerti sama jalan pikirannya. Apa gak cukup selama ini Papa nyakitin Mama dan anak-anaknya? 

Nesa kasihan sama Mama. Selama ini Mama rela jadi TKW ke Arab hanya untuk melunasi utang-utang yang Papa buat dan untuk memperbaiki keadaan ekonomi keluarga. Tapi apa yang Papa lakukan selama Mama menjadi TKW? Papa masih aja senang judi, mabuk, nipu orang, juga main perempuan.

Mama selalu sabar ngadepin sikap dan sifat Papa. Walaupun saat pulang dari Arab, Mama tahu Papa menikah lagi tapi beliau dengan setianya masih ingin mempertahankan rumah tangga.

 

Papa gak pernah mikir, apa gak cukup dulu Kak Dio bunuh diri? Gara-gara malu melihat kelakuan Papa yang gak pernah mau berubah. Kak Dio jelas terguncang, tapi gak ada satu orang pun yang menyadari kalau jiwa Kak Dio terluka. Semua orang malah sibuk menyalahkan jin yang katanya sejak lama sudah menempati rumah yang baru kami tinggali beberapa minggu. Nesa sangat kecewa.

Diary, kadang Nesa bertanya-tanya, apa Papa bisa berubah jadi lebih baik? Apa kesempatan itu masih ada? Entahlah! Tapi Nesa berharap itu bisa terjadi walau kenyataannya begitu sulit.

Teruntuk Papa,

Pa, tolong berubah!! Nesa gak mau Papa jadi orang jahat. Nesa sayang Mama, Kakak dan Adik. Apa Papa udah gak sayang kami?

Teruntuk Mama,

Ma, kalau memang Papa udah bener-bener gak bisa berubah, bisakah kalian berpisah saja? Nesa udah gak mau lihat orang yang Nesa sayangi menangis terus setiap hari. Ini yang Nesa inginkan, seperti halnya Kak Dio menginginkan hal yang sama seperti Nesa.

Maafin Nesa, ya. Nesa sayang kalian semua.

Setelah membaca curhatan hati anak gadisnya, Reni sangat terpukul dan merasa bersalah. Ternyata apa yang telah ia pertahankan selama ini justru melukai hati anak-anaknya.

Sudah saatnya ia berlaku tegas pada sang suami. Pernikahan yang selama ini masih ia pertahankan atas nama cinta, walaupun dengan harga diri yang terinjak-injak, harus ia akhiri.

Reni mendekap Arin dan Nia penuh kasih. Sambil terisak, ia bertanya pada anak sulungnya, “Apa ini yang sebenarnya kalian inginkan dari dulu?”

Arin mengangguk pelan.

“Maafin Mama, Sayang.”

Pelukan itu semakin erat.(*)

DandelionRindu, FB DandelionRinduEmail : sukmawatietins@gmail.com.

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita