Purik
Oleh: Noery Noor
“Mana Joko, Sri?” tanya Ibu heran saat aku menjejakkan kaki di tangga rumah. Matanya melirik pada tas bawaanku. Aku memang ingin menginap selama beberapa hari di rumah Ibu. Purik, itu istilah untuk seorang istri yang pulang ke rumah orang tuanya saat ada masalah dalam rumah tangganya.
Tanpa menjawab, aku cuma melengos, kemudian melenggang masuk ke dalam rumah.
“Kenapa Sri? Tidak sopan to, ditanya Ibu kok tidak njawab,” kata Ibu sambil mencoba mengejar langkahku.
Dengan bibir manyun dan muka ditekuk kuempaskan pantatku di bangku teras rumah. Aihhh! Aku meringis, lupa kalau yang aku duduki bukan sofa empuk tapi dhingklik panjang dari bambu.
“Ada Masalah sama Joko?” tanya Ibu sambil memandang lekat wajahku. Kupalingkan muka, malas bicara. Kemudian menunduk menatap taplak meja berenda putih indah. Meskipun itu berbeda dengan perasaanku saat ini yang sama sekali tidak indah.
“Ada apa dengan Joko? Kalian menikah hampir empat tahun, lho. Selama ini selalu baik-baik saja dan tak pernah ada masalah. Apa karena kalian belum mendapat momongan sehingga akhir-akhir ini sering bertengkar?” tanya Ibu kian penasaran.
Aku tetap diam, enggan menjawab.
Hah? Momongan? Mengapa baru sekarang terpikirkan? Bisa jadi memang itu yang dipermasalahkan Mas Joko. Dia ingin segera mendapat momongan, makanya ia mulai melirik wanita lain, karena hingga saat ini aku masih belum juga memberi momongan Mas Joko.
”Ya … kamu harus sabar, Sri. Nanti kalau memang sudah pada saatnya pasti juga akan diberi oleh Allah. Anak itu amanah yang tidak bisa diminta atau ditolak. Ada orang yang mungkin sangat menginginkannya tapi tak bisa mendapatkan, ada juga yang kadang sudah diberi namun selalu menyia-nyiakannya,” Ibu menasehati.
Butiran bening mengalir di pipi mengejutkan perempuan yang paling menyayangiku.
“Jadi benar kata Ibu? Kalian bertengkar karena anak?”
Aku masih diam. Dada seolah sesak dengan amarah, merayap naik, menyumbat mulutku hingga tak hingga, tak ada kata-kata yang dapat kuucap. Hanya air mata yang bercerita tentang kemelut dalam rumah tanggaku.
Berkali-kali aku menghela napas panjang untuk menenangkan diri.
“Bukan itu, Bu … Mas Joko sepertinya selingkuh … atau mungkin malah sudah menikah lagi,” kataku lirih.
“Apa, Sri? Kau kenal dengan perempuan itu?” Ibu beringsut mendekat. Memegang kedua pundakku dan menatap lekat.
Aku mengangguk pelan. Ada rasa perih dalam dadaku. Sebuah luka yang menganga tak henti meneteskan darah setiap aku ingat apa yang sudah dilakukan Mas Joko padaku.
“Namanya Purwanti, Bu. Ketemu sih belum … tapi aku tahu orangnya. Dia cantik, tinggi semampai, berkulit putih, rambutnya hitam panjang kaya iklan sampo. Hindungnya mbangir, bibirnya mungil merah merekah, matanya bulat berbinar.” Aku menjelaskan perempuan yang telah merebut hati suamiku itu. “Dia perempuan yang sempurna, Bu. Wanita karir yang sukses. Dialah yang selalu menghiasi mimpi-mimpi Mas Joko hingga mengabaikan aku. Dibandingkan dia, aku bukan apa-apa,” ucapku bagai rintihan dari sudut yang sangat jauh, jauh dari dalam hatiku.
“Lha kamu tahu dari mana kalau itu madumu, Sri ?” tanya Ibu tak percaya.
“Dari cerita Mas Joko, Bu,” jawabku diiringi tangis yang tak lagi bisa tertahan. “Bahkan setiap malam ia mengigau memanggil-manggil nama itu. Purwanti, Purwanti dan hanya Purwanti yang ada di pikiran Mas Joko.”
“Kalau kamu dengar langsung dari Mas Jokomu seperti itu, itu namanya bukan selingkuh, Sri. Toh kamu sendiri merestui hubungan mereka,” sergah Ibu malah membela Mas Joko. Aku makin sewot dibuatnya.
“Aku tidak tahu mereka sudah menikah atau belum, Bu. Tapi jaman now banyak laki-laki yang diam-diam menikah siri tanpa sepengetahuan istrinya, Bu!” aku meradang, membela diri. Gemas dengan sikap Ibu yang seolah membela Mas Joko.
“Hentikan,Sri … tak baik memfitnah suami sendiri!” tukas Ibu dengan nada agak tinggi, “nanti kita bicarakan dengan kepala dingin, istirahatlah di kamar! Kau terlihat pucat dan lelah. Itu namanya cemburu buta!” potong Ibu kemudian pergi ke dapur.
Aku masuk kamar dengan hati hancur berkeping-keping. Niat hatiku ingin mengadu pada Ibu, namun ternyata ibuku sendiri memilih untuk membela Mas Joko, bukan aku anaknya sendiri.
Kurebahkan tubuhku di atas ranjang. Sejak ada masalah dengan Mas Joko aku sering merasa mual dan bahkan beberapa kali muntah-muntah karena pusing. Kepala sakit berdenyut, kadang sampai berjam-jam. Makan pun jadi tak enak. Mungkin ini depresi tingkat tinggi yang tak bisa lagi aku kendalikan. Makin mual lagi setiap ingat kelakuan Mas Joko. Setiap pulang kerja selalu hanya menulis dan menulis. Menghabiskan waktunya bersama perempuan itu. Perhatian dan sikapnya terhadapku juga jauh berubah. Mas Joko tak punya waktu dan perhatian lagi buatku. Semua sudah tersita untuk perempuan bernama Purwanti itu.
“Aku ingin menulis serius, Sri … bukan cuma ecek-ecek. Jadi harus berlatih banyak karakter agar cerpen-cerpenku hidup dan bernyawa,” katanya suatu hari. Aku tak paham apa maksudnya. Aku awam tentang sastra, meskipun sering membaca cerpen-cerpen Mas Joko untuk mengisi waktu luang. Aku selalu menemukan diriku pada tokoh perempuan dalam cerpen Mas Joko. Perempuan lugu dan sederhana yang bisa menaklukkan hati pemuda tampan bernama Marjoko.
Tapi tidak lagi akhir-akhir ini.
Akhir-akhir ini wanita Mas Joko sudah berbeda. Selalu perempuan itu. Tinggi semampai, rambut hitam panjang, kulit kuning langsat, mata bulat berbinar, hidung bangir dan bibir tipis merah merekah. Deskripsi seperti itu berlawanan dengan deskripsi fisikku. Aku tidak terlalu tinggi, badanku tidak langsing, tapi semok dan berisi, kulit coklat sawo matang, rambut ikal coklat kemerahan, mataku panjang jeli, hidungku sedikit pesek, mancung yang tertunda bukannya bangir! Bibirku sama sekali tak bisa dibilang tipis, meskipun tidak sampai jontor. Perempuan itu tampak begitu hidup dan mengesankan dalam novel terbaru Mas Joko. Perempuan yang cerdas dan elegan, sukses dalam karier tetapi terpuruk dalam kehidupan rumah tangganya dan bertemu dengan lelaki muda pegawai rendahan. Siapa lagi dia kalau bukan selingkuhannya? Perempuan itu juga yang membuat Mas Joko berjam-jam bermain gawai atau mengetik di depan laptop. Perempuan bernama Purwanti itu telah menawan dan merebut hati Mas Joko dari sisiku!
Awalnya aku biasa saja menyikapi perubahan sikap Mas Joko. Namun akhirnya jadi kesal! Hampir tiap malam Mas Joko selalu mengigaukan permpuan itu. Lalu terbangun, dan akan kembali ke laptop hingga pagi. Aku dibiarkannya tergolek sendirian di ranjang. Bergelut dengan rasa cemburu dan kesepian. Berkutat dengan berjuta penasaran.
Wajar, kan kalau aku semakin geram? Mas Joko bahkan menghabiskan malamnya hanya untuk bergumul dengan bayang-bayang Purwanti, perempuan itu. Lalu setelah lelah akan terbaring dalam keadaan capai tak berdaya, tak lagi peduli padaku. Mas Joko yang kucintai sudah membagi cintanya dengan perempuan itu. Bagaimana aku tak marah karena ulahnya? Sampai kapan perempuan harus diam setelah jelas-jelas dicurangi di depan mata? Rasa sakit hatiku sudah berubah menjadi kemarahan. Hatiku terasa bagaikan sate yang ditusuk dan terluka lalu dipanggang di atas bara api. Cobalah bayangkan betapa sakitnya itu. Mengapa aku tak boleh marah? Mengapa aku harus diam juga?
Kepalaku kembali berdenyut sakit dan perutku kembali terasa mual karena ingat Mas Joko. Dengan tubuh limbung langkah terhuyung aku bangkit menuju kamar mandi melewati dapur. Aku terkejut saat melihat Mas Joko sudah ada di sana bersama Ibu. Mereka sedang berbicara serius. Mungkin membicarakan aku. Ah terserah! Yang jelas aku tidak mau lagi diperlakukan seenaknya oleh Mas Joko. Sesekali mereka tertawa berderai, mungkin mentertawakan aku.
Rasa mual di perutku kian menjadi, dan baru reda setelah beberapa kali muntah di kamar mandi. Tawa mereka terhenti. Mas Joko bersama Ibu menyusulku ke kamar mandi. Mereka sudah berdiri di depan pintu saat aku terhuyung ingin keluar. Mas Joko mencoba memapah tubuhku, namun kutepis tangannya. Tak sudi aku di pegang-pegang Mas Joko.
“Aku tak perlu bantuan kamu lagi, Mas!” kataku sengit. Hal yang selama ini belum pernah kulakukan, terlebih pada Mas Joko.
“Biar Ibu saja, Nak,” kata Ibu pada Mas Joko. Mereka saling pandang penuh arti. Melihat itu aku kembali mual dan muntah. Mas Joko menyingkir. Wajahnya tampak kecewa dan terluka, meskipun tak tampak kemarahan pada sikapnya. Mas Joko bahkan tampak tersenyum-senyum simpul. Jelas saja aku makin geram melihat sikapnya.
Ibu membantuku membersihkan muntahan di kamar mandi lalu membawaku ke kamar. Merebahkan tubuhku lalu memijit-mijit kakiku. Rasa sakit kembali menyergap hatiku. Air mata kembali mengalir pelan.
“Kapan terakhir menstruasi, Sri ?” tanya Ibu pelan. Aku terkejut dengan pertanyaannya. Apa hubungannya? Batinku. Ah ya … bukankah aku sudah telat dua minggu?
Aku makin sedih. Apa jadinya jika anak ini nanti lahir saat bapaknya bersama istri keduanya itu? Mengapa kau harus hadir di saat seperti ini? Betapa kasihan kau, Nak, ratapku dalam hati. Air mataku makin deras mengalir, hingga akhirnya tak bisa lagi menahan isak tangis.
“Sri, dengar ibu … perempuan yang sedang hamil muda, biasanya sangat sensitif. Mudah marah, mudah cemburu … takut kehilangan, manja, tak mau diduakan. Mas Jokomu itu tidak selingkuh. Perempuan itu hanya ada dalam imajinasinya saja, hanya ada dalam angan-angannya saja. Kalau dia tampak begitu hidup dalam novel Joko, itu membuktikan kalau Joko itu penulis yang andal dan mumpuni, Sri,” kata Ibu.
“Iya, Dik Sri … bukankah aku sudah berkali-kali bilang? Mengapa kamu masih saja tak percaya? Apa iya harus selalu dirimu tokoh dalam ratusan kisah yang kubuat? Dalam hidup ini kita hanya menjalani satu lakon saja, Dik. Sedangkan penghuni bumi ini banyak yang harus aku ceritakan. Purwanti itu hanya tokoh dalam khayalanku saja.” Mas Joko menambahkan, “aku ini masih belajar nulis, berlatih keras dengan berbagai karakter. Tidak mungkin kan semua tokohku pendiam seperti dirimu?”
Mas Joko menjelaskan panjang lebar, meskipun tidak semuanya bisa aku pahami.
Aku terhenyak sampai terduduk di sisi pembaringan. Menatap Mas Joko sekilas, kemudian tertunduk, malu. Dalam hati aku tertawa, mentertawakan kebodohanku sendiri. Aku malu pada sikapku yang kekanak-kanakan dan tidak dewasa. Tapi tentu saja aku merasa gengsi kalau harus mengakui. Berkali-kali kuusap pipiku, meskipun tak ada lagi air mata di sana, untuk menyembunyikan rasa malu dalam diriku. Malu karena ternyata aku belum cukup siap menjadi istri seniman seperti Mas Joko. Masih saja memandang negatif sebuah proses kreatif.
Mas Joko mendekatiku, mengulurkan tangannya dan membawaku ke pelukannya. Lalu pecahlah tawa kami bersama. Mas Joko dan ibu menjeb, mencibir. Aku tertawa hingga air mataku keluar.
“Ealahh Sri … Sri …. Mbok ya jadi orang itu jangan mudah berprasangka seperti itu. Jadi malu sendiri to, Nduk?” timpal Ibu menyindirku.“Sebaiknya kalian segera bersiap-siap ke dokter,” Ibu mengingatkan.
Sekali lagi kutatap lekat mata suamiku sambil tersenyum. Dalam hati aku berjanji akan menjadi istri yang lebih baik baginya agar kelak bisa menjadi contoh yang baik bagi anak-anak yang akan aku lahirkan.(*)
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita