Kenangan Hujan

Kenangan Hujan

Kenangan Hujan

Oleh: Respati

Hujan, awal April.

Mengapa setiap tetes hujan yang menghunjam bumi membuat hasrat kita menjadi sendu. Mendadak dirundung kesedihan. Ada apa dengan air yang jatuhnya deras itu, yang juga mengundang air produksi mata ikut mengalir keluar? Juga mengapa seluruh pikiran kita yang sibuk mengais cerita usang yang bernama “kenangan”?

Sepertinya kita (mungkin juga Anda) mencoba menghadirkan kembali cerita yang sebenarnya Anda tidak rela menghapusnya atau sayang untuk membuangnya. Tak ingin melupakan atau berusaha menyimpannya dengan rapi. Dan ketika waktunya tepat, cerita basi itu muncul atau dimunculkan. Terutama saat rinai itu menghias langit seperti siang ini.

Aku masing mematung di depan jendela kamar. Memperhatikan air yang jatuh bebas menerpa rumput taman samping rumah. Rumput menjadi basah kuyup. Tempias air hujan sampai jendela kamarku. Jaraknya terlalu dekat dengan talang cucuran atap di sudut taman. Dan itu pun tak luput dari pandanganku. Aku mengamati turunnya tetesan hujan dengan pandangan kosong.

Menelusuri kisah apa yang tertinggal saat hujan datang. Ketika percikannya menyentuh jendela sehingga butirannya menghasilkan aliran bak jalur air mata. Aku terus memandang hujan dan terus mengorek ingatanku tentang hujan.

Semua tentang hujan. Tapi semakin dalam aku mencoba mengingat, aku semakin tak menemukan apa-apa. Datar dan kosong. Tak ada secuil pun kenangan yang singgah di benakku. Semua sama, tak ada yang istimewa, atau spesial.

Aku ingin seperti mereka, yang punya “kenangan” setiap hujan turun. Merasakan getaran yang pernah terjadi—dan mungkin masih ada—saat rinainya menimpa bumi. Basah kuyup karena lupa membawa payung saat bersamanya. Jaketnya dipakai sebagai payung, menaungi tubuh mereka berdua. Persis drama korea yang tayang setiap sore kegemaran Nanit. Dan Nanit akan bertahan di depan layar kaca setiap drama korea tayang. Lupa makan dan mandi.

Kalau dilihat saksama, hasil tempias air hujan mengalir seperti air mata. Aku jadi ingat Nanit yang menyimpan air mata setiap menonton drama korea. Matanya merah selepas menangis. Terisak setiap tokoh utama tersakiti. Sampai di sini aku menganggap Nanit berlebihan. Ya, terlalu lebai.

“Nung! Sampai kapan kamu seperti ini?”

“Seperti ini gimana?” tanyaku. Aku kembali bertanya.

“Kamu seperti es batu. Cuek.”

“Aku?“

“Ya!”

Aku meneliti diriku sendiri. Mencari yang aneh dalam diriku.

*

Hujan di akhir Agustus.

Hujan kembali turun. Kali ini derasnya menggenangi jalanan di kompleks. Selokan dipenuhi air yang lancar mengalir. Ini karena warga di kompleks rutin gotong royong setiap minggunya. Komplek hunian yang nyaman dan bersih. Itu juga barangkali alasan Nanit memilih perumahan ini dan betah tinggal di sini. Tak terasa sudah lima tahun Nanit dan aku tinggal bersama di perumahan ini.

Perumahan nyaman nan asri itu dihuni Nanit dan keluarganya sejak Nanit SMP. Setelah lulus kuliah Nanit dan aku tinggal di rumah itu. Makanya tak heran jika aku hanya berhasil mengingat setiap jengkal kenanganku. Ya kenangan antara aku dan Nanit. Bukan yang lain.

Cuma itu yang membekas kuat dalam lembaran memoriku. Mengusung sebuah judul manis, kenangan bersama sahabat. Namun, kalau diulur lagi, aku hanya menemukan Nanit dan kekuarganya saja. Tidak ada tokoh lain dalam kenanganku.

Aku masih mencoba untuk mengais ingatanku kembali di antara puing-puing kenangan bersama Nanit. Aku kembali tak menemukan hasil. Nihil. Yang ada hanya Nanit. Apakah memang seluruh memoriku hanya terisi satu nama saja yaitu Nanit?

*

Nanit wanita dewasa yang cerdas yang aku kenal sejak SMP. Di sekolah dia adalah siswa berprestasi. Terutama akademiknya. Lulusan terbaik selalu di sandangnya hingga SMA.

Prestasi tertinggi Nanit menurutku adalah ketika ia berhasil menjadi penulis. Lulus SMA Nanit membuktikan dirinya menjadi salah satu penulis remaja yang patut diperhitungkan.
Itulah Nanit, dengan kecantikan fisik juga prestasinya sangatlah mudah baginya memilih kekasih.

“Nung, temani aku ke toko buku,” ajaknya di suatu Minggu pagi.

“Biasanya pergi sendiri,” jawabku datar sambil memegang remote televisi. Terbaring di hamparan karpet menikmati siaran televisi sepertinya lebih menyenangkan ketimbang menemaninya ke toko buku.

“Kali ini aku ingin kamu temani. Jangan menolak,” katanya tegas.

Aku hanya menghela napasku dan diam tak boleh menolak. Mengikutinya ke toko buku, adalah kegiatan paling tak kusuka. Tapi menolaknya adalah sia-sia.

Toko buku masih dua ratus meter lagi di depan. Aku mengarahkan mobil berbelok ke kiri ke area parkir toko buku. Area parkirnya lumayan luas, tapi sore ini cukup banyak mobil terparkir. Dan aku menemukan lokasi parkir yang kosong di antara dua buah mobil. Aku membelokkan mobil ke kanan.

Dan aku terlambat menyadari ada yang tiba-tiba muncul dari arah kanan. Dan…

Brruukkk! Astaga! Aku menabrak seseorang. Aku buru-buru keluar. Nanit pun mengikuti. Kulihat seorang wanita muda, wajahnya meringis kesakitan sambil memegangi siku kanannya.

“Ma-Maaf, Bu. Maaf saya tidak sengaja. A-Apa yang luka? Saya antar ke rumah sakit ya,” kataku tak berjeda.

Wanita itu hanya memandangku tanpa berkedip. Mulutnya terbuka seperti hendak berkata. Aku masih panik dengan keteledoranku dan penyesalanku menabrak wanita itu.

Wanita itu bangkit dan berkata lirih, “Terima kasih, saya tidak apa-apa.” Wanita itu hendak pergi, tapi sebelumnya ia memungut tasnya yang terjatuh.

Aku menunduk membantu mengambil tas itu. Dan mataku menatap gelang warna hijau berbahan batu marmer melingkar indah di tangan kirinya. Sejenak aku tertegun melihatnya. Aku terkesima dengan gelang itu. Sepertinya aku pernah melihatnya. Tapi di mana …? Tiba-tiba tangan lembut Nanit menyentuhku.

Wanita itu memandangku sekali lagi sebelum akhirnya benar-benar berlalu dari hadapanku dan Nanit. Aku memandangi punggungnya hingga hilang seperti ada sesuatu yang hilang. Gelang itu? Ah, barangkali banyak gelang yang sama. Berusaha menepis rasa penasaranku.

Aku pun melanjutkan langkahku menyusul Nanit yang lebih dulu. Beragam ingatan mencoba mengisi puzzle yang belum penuh tersusun.

*

Hujan di awal Januari.

Aku kembali mematung di sudut kamarku. Pemandangan yang sama beberapa bulan lalu di setiap hujan membasahi bumi. Hujan yang mampu membangkitkan berjuta kenangan bagi siapa saja. Menyulut rindu bagi yang kasmaran dan menepis luka untuk yang kecewa dengan masa lalu.

Dan aku memiliki ketiganya. Aku ingin kenangan itu bangkit. Karena aku ingin sosoknya hadir lagi dalam lembaran memoriku yang hilang. Juga karena penggalan rindu yang lenyap tak berbekas dan aku ingin menemukannya kembali. Ada yang belum tuntas di suatu masa. Tapi jika kenangan itu buruk dan menyiksa batinku, aku ingin melenyapkannya.

Namun, semakin kuat kumenggalinya berangsur nestapaku hadir. Ada kenangan bersamamu yang luput dari ingatanku. Yang hilang dan tak mampu lagi aku untuk menemukannya.

Dan pada hujan, yang derainya menghunjam bumi, aku—juga Anda—memiliki kenangan di setiap tetesannya hadir. Akhirnya aku punya kisah dalam rintikannya.(*)

Dalam dinginnya hijan, April 2018

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita