Cookies Tetangga
Oleh: Leenahanwoo
Pemuda itu memandang gadis di hadapannya dengan tatapan heran. Bila dalam keadaan normal, mungkin dia dapat melihat betapa cantik gadis ini walau usianya terbilang masih belia. Rambut merah menyala tampak kontras dengan kulit putih pucat yang melapisi tubuh ramping dan tinggi, sepasang iris berwarna amber yang indah, dan pakaian kasual berupa tank top dan celana pendek berwarna hitam; tetapi semua itu luput dari pemikiran karena sepiring chocolate cookies yang uapnya masih mengepul dan menguarkan bau harum hingga membuat air liur menetes.
“Maaf?” Setidaknya dia harus memberikan respons, bukan?
“Ucapan selamat datang untuk tetangga baru,” jelasnya singkat.
Si pemuda baru saja pindah ke unit apartemen itu tiga hari yang lalu. Ayah angkatnya merasa bahwa biaya hidup selama tinggal di kota besar terlalu tinggi, tidak akan mencukupi bagi mereka untuk bertahan hidup dari penghasilan kedai kopi yang dikelola sendiri. Mereka memutuskan pindah ke kota lain yang berbiaya hidup lebih rendah, sembari berharap kedai kopi mereka akan lebih diminati karena bisnis semacam itu belum menjamur di kota tersebut. Namun, … haruskah tetangga baru disambut begitu hangat? Apakah ini tradisi di kota tersebut? Pemuda itu jadi berpikir-pikir.
“… Oke? Maaf, jadi merepotkanmu.” Masih canggung; dia memang tidak mudah akrab dengan orang baru.
“Jangan sungkan.” Gadis itu menyerahkan piring berisi cookies kepada si pemuda, yang diterima dengan setengah segan. “Namaku Kiky. Aku dan kakakku tinggal di unit sebelah.”
Namanya Kiky, pikirnya.
“Aku Tora.” Pemuda itu—Tora—memandang cookies itu dengan mata berbinar. Dia bukan pecinta makanan manis, tetapi ada aroma kopi yang ikut menguar dari piring itu; kopi adalah belahan jiwanya. Terlebih, sang ayah angkat sangat menyukai cookies, dan mereka pasti akan melahap isi piring tersebut hingga tandas. “Dan, urm … terima kasih.”
Senyuman menjadi balasan atas ucapan terima kasih yang terlisan dari bibir Tora. Gadis itu berlalu, kembali ke unit apartemennya, terletak persis bersebelahan dengan unit mereka. Pemuda itu menutup pintu dan masuk ke dalam unit setelahnya. Di sana, sang ayah angkat terduduk di atas sofa; tampak kelelahan. Mereka memang baru saja selesai membereskan kamar tidur saat bel pintu berbunyi.
“Siapa?” tanya ayahnya. Iris merah kecokelatan miliknya sontak terbuka saat mencium aroma cookies memenuhi ruangan.
“Tetangga sebelah.” Tora berjalan mendekat, lalu meletakkan piring berisi cookies ke atas meja. “Dia memberikan ini sebagai ucapan selamat datang.”
“Ah, baik sekali.” Dia mengambil satu buah cookies, lalu meniup-niupnya karena uap panas yang masih menguar. “Chocolate cookies?”
“Kukira chocolate espresso,” tebak pemuda itu. “Ada wangi aroma kopi.”
“Kau benar,” tanggapnya seraya menggigit dan mengunyah cookies di tangannya. “Wah, enak sekali. Apa tetangga kita seorang perempuan?”
“Iya.” Tora mengernyit bingung. “Mengapa? Kau tidak berniat menikah dengannya, ‘kan? Usianya masih belasan. Kau bisa dipenjara atas tuduhan pedofilia.”
Mendengar hal itu, Ronald—sang ayah angkat—tertawa keras-keras. “Astaga, bukan seperti itu, Tora. Maksudku, usiamu sudah dua puluh tahun, sudah saatnya mencari pacar. Yang bisa memasak, tentu saja. Kita berdua tidak bersahabat dengan dapur, kecuali untuk mencuci piring bekas sarapan.”
Tora memutar bola mata yang beriris keperakan. “Aku belum pernah duduk di bangku kuliah, jadi biarkan aku menabung untuk masuk universitas, lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan terlebih dahulu.”
Ronald terkikik-kikik geli. “Baiklah. Semoga saja kedai kopi kita yang baru akan lebih ramai, supaya kita bisa menabung dan kau bisa berkuliah di universitas yang bagus.”
Tora tersenyum kecil. Seraya menyantap cookies yang diberikan oleh si tetangga berrambut merah, dia mulai membuat rencana-rencana kecil untuk strategi pemasaran kedai kopi baru milik sang ayah.
***
Tora mengernyit ketika melihat Kiky mengetuk pintu unit apartemen mereka pada suatu sore, membawakan sepiring almond and chocolate cookies.
“Kebetulan Kak Kira baru membelikan sekantong kacang almond, dan aku membuat cookies dengan kacang-kacang itu.” Gadis itu tertawa tanpa malu-malu. “Dan, ya … kau tahu alasan lainnya.”
Sudah empat bulan berlalu sejak pertama kali Kiky memberikan cookies buatannya. Sejak saat itu pula, dia rutin membagi cookies berbagai varian kepada Tora dan ayahnya, paling sedikit satu kali dalam sebulan. Tora awalnya berpikir bahwa gadis itu terlalu baik, terus memberikan cookies. Saat dia menanyakan alasannya, Kiky menjawab bahwa memanggang kue adalah cara terbaik untuk menghilangkan rasa stres yang melanda. Yang terakhir ini sudah kali ketiga dalam bulan itu.
“Kalau ada masalah, kau bisa cerita padaku. Atau kita bisa pergi ke taman bermain, seperti bulan lalu,” ucap Tora seraya mengambil alih piring berisi cookies dari tangan Kiky. Sedikit banyak, Tora merasa khawatir dengan keadaan si gadis.
Empat bulan mereka saling mengenal, dan mulai mengetahui pribadi masing-masing. Tora biasanya bersikap canggung terhadap orang yang baru dikenal, tetapi dia terpesona dengan sikap Kiky yang hangat dan ceria. Gadis itu juga mudah tertawa jika mendengar lelucon yang Tora lontarkan secara tak sengaja. Mungkin hal itulah yang membuatnya lebih mudah mengakrabkan diri. Kiky tidak memiliki siapa-siapa kecuali kakaknya yang bernama Kira, seorang mahasiswa di jurusan tata boga—dan pantas saja Kiky sangat pandai memasak, sama seperti sang kakak yang berbakat. Gadis itu masih duduk di bangku sekolah menengah tahun kedua, dan Tora kagum dengan kepiawaiannya membuat cookies yang lezat. Mereka sesekali menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan pada akhir pekan, jika Kiky sedang tidak menjadi sukarelawan di organisasi nonprofit lokal untuk penyelamatan hewan. Sejak mengenal Kiky, hari-hari Tora yang awalnya hanya berkutat pada kedai kopi sang ayah, perlahan-lahan berubah menjadi lebih berwarna. Jika memang gadis itu memiliki masalah, tentu Tora tidak akan segan-segan membantunya.
Mata beriris amber itu membulat, kemudian menyipit karena senyum terkembang di bibirnya. “Aku tidak ingin merepotkanmu.”
Pemuda itu menggeleng. “Ayo kita pergi ke taman bermain akhir pekan ini. Atau ke pantai di ujung selatan? Apa kau sudah pernah pergi ke sana? Kudengar hanya butuh waktu dua jam dengan menaiki bus. Kita bisa piknik seharian, jika kau mau.”
Jawaban “baiklah” terlisan dari bibir Kiky, sebelum gadis itu berlalu dan kembali ke unit apartemennya. Tora tersenyum, meskipun masih ada perasaan yang mengganjal di dalam hati. Walau pemuda itu telah berusaha untuk menghiburnya, sekali pun Kiky tidak pernah menceritakan apa yang membebani pikirannya. Apakah ada masalah di sekolah? Kiky dan Kira memang susah payah bersekolah dengan memperoleh beasiswa dari berbagai instansi, dan kakaknya bekerja paruh waktu di salah satu kafe di pusat kota. Kalau begitu … apakah masalah biaya? Masalah teman-teman? Atau apa? Pertanyaan itu terus menggantung tanpa dapat terjawab.
***
Ronald meletakkan sebuah toples berisi cookies di atas meja ketika Tora sedang membaca koran di ruang tamu. Pemuda itu menghela napas setelah melihat toples tersebut.
“Kurasa sebaiknya kalian bicara secara pribadi,” ujar sang ayah angkat seraya duduk di sampingnya. “Jika memang gadis itu memanggang kue karena stres, seharusnya ini sudah sampai tahap yang sangat mengkhawatirkan.”
“Dia tidak mau bicara, oke? Aku tidak sampai hati untuk memaksanya bercerita.”
Pemuda itu mengacak rambutnya yang berwarna hitam kelam. Bukannya dia tak ingin menanyakan apa yang membuat Kiky makin stres, tetapi gadis itu terus saja bungkam setiap kali Tora bertanya. Sejak minggu lalu, piring yang tadinya digunakan untuk menyajikan cookies telah berganti menjadi toples-toples plastik cantik, berikut jenis cookies yang berbeda-beda pula. Kiky bahkan mengirimkan satu toples setiap hari.
“Aku rasa sebaiknya kau menemuinya sekali lagi, dan lihat apa yang bisa kau lakukan untuk membantunya.” Ronald mengambil satu buah cookies dari toples baru itu, lalu mengunyahnya pelan-pelan. “Hmm, dia bahkan membuat Dulce le Leche cookie sandwich yang meleleh saat menyentuh lidah. Benar-benar gadis pujaan. Harusnya kalian menikah setelah dia lulus sekolah, dan membuka toko kue sendiri.”
Apa-apaan? Tora mengumpat dalam hati. Seraya menutup koran di tangan dan meletakkannya di atas meja, pemuda itu bangkit dari sofa lalu berjalan ke arah pintu depan. “Aku akan menemui Kiky.”
“Sampaikan salamku. Katakan bahwa cookies buatannya enak sekali, dan aku menunggunya menjadi menantuku secara resmi.”
Tora memutar bola mata, bosan dengan keabsurdan ayah angkatnya. Ronald terus-menerus memuji Kiky—betapa sempurnanya gadis itu, betapa Kiky adalah gadis yang cantik walau masih remaja, betapa pandainya dia membuat kue, betapa baiknya jika Tora dapat berpacaran dengan Kiky, mungkin juga sampai ke jenjang pernikahan. Tora akui bahwa semua yang diucapkan Ronald tidak ada yang salah; gadis itu memang perempuan idaman. Setelah hampir enam bulan mengenal pribadi Kiky, dia bisa merasakan bahwa benih-benih kasih itu telah tersemai di dalam hati. Namun dia tidak ingin memaksakan keadaan. Gadis itu masih duduk di bangku sekolah, dan waktu untuk mencapai tahap yang diinginkan ayah angkatnya masih sangat panjang.
Pemuda itu segera menekan tombol bel setelah tiba di depan pintu unit apartemen yang dihuni Kiky. Jam di tangan telah menunjukkan pukul delapan malam, dan biasanya Kira belum pulang dari kerja paruh waktu. Dia memang berharap dapat bicara empat mata dengan gadis itu.
“Ya?” sahut si gadis ketika pintu terbuka. “Oh, Tora? Ada apa?”
Kekhawatiran pemuda itu meningkat saat melihat gurat-gurat lelah tercetak jelas di wajah Kiky. Tora merasa bahwa dia harus menanyakan apa yang membebani gadis itu serta memperoleh jawaban yang pasti. Dipaksa jika perlu.
“Aku paham kalau kau selalu membuat kue jika merasa stres. Aku sama sekali tidak keberatan, tidak juga melarangmu membagi sepiring cookies itu padaku dan Papa. Kau tahu bahwa kami sangat menyukai cookies buatanmu. Hanya saja, akhir-akhir ini kau membuat cookies setiap hari, bahkan memberi kami satu toples penuh. Sesungguhnya aku tidak ingin protes, tapi … apa kau baik-baik saja?”
Kiky tampak terkejut setelah mendengar ucapan Tora yang tanpa basa-basi itu. Mungkin dia tidak menyangka bahwa kedatangan pemuda itu akan disertai sebuah protes—yang tentunya bukan berbentuk protes—secara spontan. Namun kikik kecil menjadi awal jawaban dari pertanyaan yang Tora lisankan.
“Ah, apa kau mengkhawatirku?” Kiky menguntai pertanyaan baru, dan Tora jadi mengernyit, antara kebingungan dan keingintahuan.
“Kiky, siapa yang datang?” Sahutan lain terdengar dari dalam unit apartemen.
Suara Kira? pikir Tora. Dia tidak bekerja?
“Tora, Kak. Sebentar, aku akan segera kembali ke dalam dan mengurus Mink,” respons Kiky. “Dengar, Tora …,” Kiky kembali menoleh dan menatap pemuda di hadapannya, “… terima kasih telah mengkhawatirkanku. Aku memang mengatakan bahwa aku biasanya membuat cookies jika aku sedang dilanda stres, tetapi untuk kali ini, aku yakinkan bahwa aku tidak sedang merasa stres sama sekali. Sedikit sedih, iya. Namun, bukan itu alasanku mengirimkan toples-toples cookies ke apartemenmu.”
“Jadi apa alasannya?” Tora makin tak mengerti.
Baru saja Kiky ingin menjawab, sebuah sahutan lain kembali mengalun, “Kiky, Mink menangis dan tidak mau meminum susunya.” Gadis itu menghela napas, dan akhirnya berucap,
“Apa kau mau masuk? Di dalam sangat berantakan, kuperingatkan. Namun jika kau melihat sendiri, kau akan mendapatkan jawabannya.”
Tora mengangguk menyetujui. Setelah berucap salam, dia masuk ke dalam unit dan melepas sandal. Ini bukan kali pertama pemuda itu mampir ke sana, tetapi keadaannya jauh lebih berantakan dari terakhir kali dia berkunjung, dan penyakit OCD-nya mendadak kambuh. Meski begitu, dia mengabaikannya dan terus melangkah, jika ingin memperoleh jawaban atas semua gundah di hatinya.
Di ruang tamu, Kira duduk bersila di atas lantai berkarpet, membelakangi Tora dan Kiky. Sofa-sofa diletakkan menempel pada dinding, begitu pula dengan meja yang sekarang menjadi tempat untuk meletakkan satu buah mesin berbentuk tabung yang belum pernah Tora lihat seumur hidup. Di atas meja itu pula terdapat beberapa gulung tisu, kotak obat, wadah-wadah plastik bertuliskan “dry food”, serta tongkat-tongkat berhiaskan bulu. Di sudut ruangan, berjejer beberapa pet bed dan tumpukan selimut. Pemuda itu juga baru menyadari bahwa area tersebut dibatasi oleh pagar mainan pendek, dan suara berisik menggema di seluruh penjuru.
“Mink tidak mau minum, Kak?” Kiky mendekati Kira dengan melangkahi pagar tersebut, dan pemuda itu menoleh dengan cepat hingga rambut pirangnya bergerak-gerak.
“Mungkin dia ingin disuapi ibunya.” Kira mengikik geli seraya menyerahkan sebuah selimut dan botol jarum suntik berwarna putih susu.
“Kakak memang tidak pintar mengurus bayi.” Gadis itu pun duduk di lantai setelah meraih selimut dan botol jarum dari tangan Kira.
Barulah Tora menyadari bahwa di atas selimut tersebut terdapat makhluk kecil yang membuat suara berisik seperti menangis. Setelah Kiky memasukkan botol jarum suntik ke dalam mulutnya, barulah suara itu terhenti, berganti dengan bunyi kecapan kelaparan. Tora dapat melihat gadis itu tersenyum lega.
“Hai, Tora. Apa kau mampir untuk bertemu malaikat-malaikat kecil kami?” tanya Kira saat menoleh ke arah pemuda itu.
Masih di tengah kebingungan, Tora tersenyum kaku. Tak lama berselang, beberapa ekor makhluk lain keluar dari bawah meja, berlarian seperti anak-anak TK yang sedang bermain di lapangan sekolah dengan suara yang jauh lebih berisik. Sebetulnya perumpamaan itu tidak salah, sebab yang berlarian itu memang masih kanak-kanak—bayi-bayi kucing berumur dua hingga tiga bulan dengan berbagai warna dan pola, berjumlah lebih dari sepuluh ekor. Sementara itu, yang berada di tangan Kiky mungkin baru berumur beberapa hari, menilik ukurannya yang begitu mungil.
“Maaf, di sini sangat berantakan. Kami harus mengurus para malaikat kecil ini jika tidak ingin mereka berakhir dengan suntik mati.” Kira berkata seraya bangkit dan keluar dari ‘area bermain’ itu.
“Suntik … mati?”
“Ini hanya sebagian kecil dari jumlah anak kucing dan anjing yang hendak disuntik mati di penampungan hewan milik pemerintah, karena mereka tidak memiliki cukup tempat untuk menampung semuanya,” jelas Kiky tanpa mengalihkan pandang dari si mungil. “Organisasi tempatku menjadi sukarelawan bergerak cepat untuk menyelamatkan mereka, dan mencarikan rumah-rumah yang siap merawat sebelum mereka dapat diadopsi secara resmi.”
Hati Tora mendadak kelu saat mendengar cerita tersebut. Betapa kejamnya jika makhluk-makhluk kecil yang berlarian di dalam pagar mainan itu harus mati hanya karena tidak memiliki tempat tinggal.
“Yang di tangan Kiky namanya Mink, yang terkecil. Ditemukan di semak-semak saat berusia dua hari.” Kira ikut menjelaskan. “Karena masih terlalu kecil, organisasi itu meminjamkan inkubator karena Mink belum dapat mengatur suhu tubuhnya sendiri.”
Jadi tabung di atas meja itu adalah inkubator? pikir Tora.
“Cookies yang kukirimkan padamu adalah cookies yang kujual secara online, Tora. Uang yang Kakak dapat dari kerja paruh waktu tidak mencukupi, jadi kami mencari penghasilan tambahan agar dapat merawat mereka semua. Kakak tidak bekerja hari ini, jadi dia ikut membantu memanggang cookies.” Kiky memandang Tora setelah selesai meminumkan susu pada Mink. “Sungguh, aku tidak sedang stres. Aku memberikan satu toples agar kalian bisa mencicipi.”
“Maksudnya, Kiky terlalu segan untuk meminta kalian ikut memasarkan cookies yang dia jual.” Kira kembali mengikik sebelum dia berjalan ke arah dapur. Bau cookies yang sedang dipanggang menguar ke udara; mungkin dia ke sana untuk memeriksa.
Tora memandang Kiky yang wajahnya memerah malu. Dia telah membersihkan tubuh Mink dan meletakkan kembali ke dalam inkubator, dan tak lupa mencium anak-anak kucing yang berlarian di sekitar kakinya satu per satu. Ternyata itulah alasan di balik toples-toples cookies yang diberikan Kiky. Dialah yang telah salah sangka. Dan tentu saja, hatinya tergerak untuk membantu; bukan hanya demi Kiky yang telah bersusah payah menguras tenaga demi makhluk-makhluk mungil itu, tetapi dia juga berharap bantuannya dapat menginspirasi orang-orang lain untuk melakukan penyelamatan yang sama.
“Aku akan ikut memasarkannya,” ujar Tora saat gadis itu mendekatinya. Dia dapat melihat bagaimana bola mata beriris amber itu membulat; terlalu terkejut, atau senang. “Kirimkan saja beberapa toples cookies setiap hari ke apartemen kami. Aku akan memajangnya di konter kedai kopi milik Papa. Atau perlukah kami membelinya terlebih dahulu?”
Kiky menggeleng. Air itu tergenang di pelupuk matanya, hendak tumpah jika tidak ditahan. “Apa benar? Kalian akan membantu memasarkan cookies buatanku?”
Tora mengangguk pasti. Apa pun akan dia lakukan demi gadis yang disukainya itu, dan demi makhluk-makhluk mungil yang saling menjerit meminta perhatian dari ‘ibu asuh’ mereka. Membantu memasarkan cookies tidak sebanding dengan beberapa belas nyawa yang dapat diselamatkan oleh Kiky dan kakaknya.
Cookies buatan si gadis berambut merah, cookies tetangga yang menginspirasi.(*)
*In memorial of Mink, a premature kitten rescued by Hannah Shaw (check ‘kittenxlady’ account on Instagram), but passed away two days after being rescued. She was such an angel who had inspired more people in USA to apply as foster home for rescued cats or simply to rescue cats in Mink’s honor. May God bless her with joy, and rest in peace!
*Keterangan:
Cookies: kue kering kecil berbentuk datar, dipanggang hingga garing.
Dry food: makanan kering untuk hewan peliharaan sebagai tambahan asupan nutrisi atau untuk treat.
Pet bed: tempat tidur untuk hewan peliharaan.
Leenahanwoo, nama pena dari Octarina, yang telah dipakai sejak mulai menulis dan memublikasi karyanya secara online pada tahun 2012. Tinggal dan dibesarkan di Palembang, lulusan Diploma III jurusan Bahasa Inggris Pariwisata dari Politeknik Negeri Sriwijaya Palembang. Awalnya penulis lebih banyak melahirkan karya berupa fanfiction, baik berbahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Namun sejak Desember 2017, penulis mulai merambah dunia kepenulisan cerpen dan puisi.
Media sosial (FB/Instagram/Twitter/Tumblr): leenahanwoo
Akun penulis (Wattpad, fanfiction.net, archiveofourown.org): leenahanwoo
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita