Agasri Episode 7
Oleh: NoviePurwanti
Aku terseok menuju ruang penentuan, mataku setengah terpejam, tubuh ini terhuyung hampir jatuh. Mas Agas mencekal lengan, menahannya supaya tidak ambruk.
Ah, dia mengganggu tidur lelapku. Padahal baru saja bermimpi bertemu Sani. Bocah besar itu menepuk pipi membuyarkan kebahagiaan sesaat.
“Semangat, Sri. Sebentar lagi sampai. Bertahanlah!”
Aku menguap lebar, mengembuskan bau naga, “Mas tahu sekarang jam berapa?” kantuk perlahan menyingkir. Tapi aku masih ingin manja dan unjuk rasa.
“Jam tiga, Sri. Sekalian wudu dan salat tahajud. Ayo, aku tunggu di sini. Kamu lakukan saja sendiri.”
Mas Agas membukakan pintu toilet, mendorongku masuk. Ini benar-benar pemaksaan. Demi melihat hasil test pack, suami rela membuatku menderita.
Aku membuka bungkusan itu, mengeluarkan alat tes dan wadah plastik bening mungil tempat urine. Segera kupompa kandung kemih sambil berjongkok. Sebelum tidur tadi Mas Agas memaksaku menghabiskan dua gelas air. ‘Supaya pipisnya banyak’ katanya cengengesan.
Jooss! Suara urine terdengar mantap. Jebol tak terbendung. Luber kemana-mana.
Test pack kucelupkan sesuai aturan. Aroma khas menguar. Apalagi kemarin aku makan lalapan pete. Lezat tak terkira.
Tak perlu menunggu lama, hasilnya sudah di depan mata.
“Bagaimana, Sayang?” Mas Agas meringsek masuk ke dalam kamar mandi. Membuka pintu yang tak terkunci.
“Jangan masuk, Mas!” Aku terkejut, dengan posisi masih berjongkok mesra dan belum sempat menyiram air pipis.
Terlambat! Kaki panjang Mas Agas sudah menginjak lantai toilet yang dipenuhi urineku.
“Pesing amat, Sri.” Mas Agas menutup hidung bangirnya. “Jorok!” Dia mengambil gayung dan disiramkan ke badanku.
Huwa … aku mencak-mencak dan merebut gayung dari tangannya. Gantian aku ambil air, menyiramkan ke mukanya. Biar kapok! Rasakan, rasakaan!
Tiba-tiba Mas Agas menangkap jemariku, membuang gayung pada tempatnya. Mata kami bertemu, berkedip-kedip lucu. Baju tipis basah melekat erat, mencetak kulit dan bentuk tubuh.
Mendadak lagu India Tum Hiho mengalun merdu. Aku nyalakan shower, mendorong Mas Agas ke bawahnya. Lelakiku itu mengibaskan rambutnya ke kanan dan ke kiri, ke atas dan ke bawah membuat titik-titik air berhamburan. Oh, seksi dan macho sekali.
Lalu sesuatu pun terjadi. Mas Agas menutup pintu kamar mandi perlahan.
Mohon jangan kepo, ya. Dan jangan membayangkan adegan mesra di dalam kamar mandi. Karena kami hanya mencuci baju. Hahay!
***
Setelah badan wangi, aku salat bersama Mas Agas. Bersyukur karena diberi anugerah terindah. Akan ada kehidupan di dalam perutku. Hasil tesnya positif, dua guratan merah muda tercetak dengan manis. Walaupun harus berakhir di tempat sampah. Mas Agas jijik karena itu isinya air pipis.
“Semoga anak kita kelak jadi anak yang saleh, dermawan, berilmu dan ganteng seperti bapaknya.” Mas Agas memaksaku rebahan di atas sajadah sesudah salat dan berdoa. Dia menyodorkan pahanya untuk bantal.
“Nggak mau ah, aku maunya yang saleha dan cantik seperti ibunya.” Aku tak mau kalah. Kuletakkan kepala ini, mencari tempat yang nyaman di kakinya yang selonjoran.
Mas Agas membelai ujung kepalaku yang masih berbalut mukena, “Pokoknya harus anak laki-laki untuk mewarisi perusahaanku, Sri.”
“Perempuan saja, Mas. Anak lelaki bikin pusing.”
“Cowok.”
“Wedok, Mas!”
“Laki-laki, Sri.”
“Gril, Mas.”
“Apa itu tadi? Gril apaan?”
“Bahasa Inggris anak cewek, Mas. Gril. Wekekekek.”
Mas Agas ngakak berat, suara tawanya mengagetkan nyamuk yang akan mendarat di ujung telinganya. Kasihan binatang itu langsung pingsan mendadak.
“Oalah, Sri, Sri. Mimpi apa aku sampai punya istri ajaib sepertimu. Terserah Allah kasih laki-laki atau perempuan. Semua itu amanah dan harus dijaga baik-baik. Mulai sekarang kamu nggak boleh kerja berat-berat. Jaga anak kita baik-baik, mengerti, Sri?”
“Inggih, Kanjeng Mas Agas.”
“Mulai hari ini Kodrat dan Gimbal akan bekerja membantu Ayu, nanti tolong beritahu semua yang harus mereka lakukan. O iya, di dalam tas kerjaku ada dua baju dan celana untuk mereka. Suruh memakai itu bila bekerja.”
“Sendiko dawuh, Sang Maharaja Kakang Mas Agas.”
Lelakiku tersenyum lembut, memencet hidung pesek ini. Lalu dia meraih Alquran terjemahan dan membacanya dengan suara jernih. Aku memejamkan mata, menikmati kedamaian ini sambil menunggu waktu subuh tiba.
***
Seperti biasa, Ayu sudah berlarian ke sana ke sini menyiapkan barang dagangan. Semakin hari dia nampak semakin berisi dan bersih. Tubuh kurusnya kini agak berlemak. Pipi cekungnya sudah mulai gembil. Ayu terlihat semakin manis.
Aku membantunya memotong terong, tahu dan tempe serta mengupas bawang. Ayu yang merebus ayam dan menggoreng lele setengah matang. Dia sudah bisa mengelola warung sendiri. Namun aku masih menentukan banyaknya bumbu supaya rasanya selalu stabil.
“Yu, nanti kita akan kedatangan pekerja baru.”
“Kedua laki-laki sangar itu, ya, Mbak?”
Aku mengangguk, “Kamu yang sabar ya, menghadapi mereka. Sangar-sangar begitu titipan Pak Bos.”
Ayu terkikik, “Mbak Sri beruntung sekali punya suami yang baik. Aku iri ….”
“Aku juga nggak menyangka, Yu. Kudoakan semoga kamu juga bisa dapat lelaki saleh yang bisa mendampingi sampai tua besok.”
“Aamiin, yang seperti Mas Agas, ya, Mbak. Asyik kali ya, kalau bisa punya suami sepertinya.”
Deg!
Sebagai seorang istri, aku merasa agak tersinggung dengan ucapan Ayu, meskipun hanya sekedar bercanda. Namun itu menyelipkan seberkas kecurigaan. Tanduk sedikit keluar. Aku meletakkan pisau, menatap manik hitam yang sedang memblender bumbu. Suara nyaring mesin penghalus membuat suasana beraura abu-abu.
“Ayu, jaga batasanmu. Aku tidak suka Mas Agas jadi topik pembicaraan kita.”
Gadis itu seketika menunduk. Dia menggigit bibir bawahnya.
Apakah aku terlalu keras kepadanya? Rasa apa ini, sesak dan … kasihan.
“Maaf, Mbak Sri. Aku hanya bercanda.” Tetesan bening membasahi meja. Dia mematikan mesin dan memasukkan sambel ke dalam wadah plastik. Wajahnya masih ditekuk.
Ayu menangis! Oh, Ya Allah, aku menyebabkan wanita malang ini bersedih. Aduh, mulutku tak bisa diatur. Ih, ih, ingin kutampar rasanya.
“Ayu, apa kata-kataku membuatmu sedih? Aku juga minta maaf, Yu.” Aku berdiri menepuk punggungnya yang sedikit berguncang.
Ayu menghentikan pekerjaannya, meletakkan blender dan berbalik menghadapku. Wajahnya dipenuhi air mata. Hidungnya memerah, ada sedikit ingus yang mengintip dari lubangnya. Sebentar lagi cairan kental itu akan terjun bebas. Ayu menyedot kuat-kuat.
Sroot!
Entah kenapa jika berhadapan dengannya aku selalu teringat Sani.
“Ayu ….”
Tiba-tiba Ayu menghambur kepelukanku. Secara refleks aku membelai rambutnya yang berbau wangi sampo anti ketombe warna hijau.
Ketukan di pintu menyadarkanku. Itu pasti tamu yang diundang Mas Agas tadi sebelum berangkat kerja. Aku melepaskan pelukan Ayu dan bersemangat membuka pintu. Penasaran dengan penampilan terbaru dua mantan preman itu.
“Assalamualaikum, Mbak Bos,” Kodrat cengar-cengir membelai rambutnya yang baru. Potongan ala bapak-bapak dibelah pinggir, cambang dan kumisnya sudah dibabat habis.
Kelihatan lumayanlah, sudah mirip dengan preman tobat.
Aku menahan kentut ketika melihat orang yang pernah meninjuku tempo hari. Ia meringis, memperlihatkan gigi yang dulunya kuning langsat, sekarang putih bersinar. Kira-kira diamplas apa ya, itu gigi. Kepo ih.
“Waalaikumussalam. Rupanya anak buah sudah datang. Ayo, silakan masuk. Pekerjaan sudah menanti,” kataku sekuat tenaga mempertahankan kewibawaan.
Mereka melangkah masuk ke dalam warung. Celingukan mencari sesuatu. Ayu melambaikan tangan menyuruh mereka mendekat.
Penampilan Gimbal kagak nahan. Rambut panjangnya sekarang dibabat habis, dipotong ala tentara. Aku sampai pangling melihatnya. Namun keanggunanku terjerembab ketika memandang sosok Gimbal dari belakang. Rupanya kepala lelaki itu tidak simetris. Bagian kepala belakang sebelah kanan melesak sementara sebelah kiri seperti gelungan.
“Bhuahaha … kekekek!” Aku tertawa sampai liurku muncrat-muncrat bak air terjun, membasahi lantai dan mengalir sampai jauh akhirnya ke laut.
Gimbal melirikku sadis. Ia mengambil kain segitiga hitam dalam saku jeans-nya dan mengikat kepalanya. Menutupi bentuk kepala yang sungguh tidak enak dilihat mata.
Perlahan, tanpa sepengetahuan satu makhluk pun di bumi ini, aku juga meraba kepalaku. Bila rambut panjang ini digunduli, niscaya akan terlihat sama seperti Gimbal.
Di situ aku merasa bahagia. Ternyata ada yang serupa. Hidup kepala peyang!
***
Mempunyai tiga karyawan memang sesuatu! Biasanya beberapa jabatan aku rangkap semua, menjadi bos sekaligus kasir, waitress, cleaning service dan serabutan. Lelah diri ini, capek raga ini. Tapi sekarang, bumiku sedang berada di atas. Lihatlah pagawai yang unik udik itu. Tanpa ‘bantal guling’ penglaris pun, warung penyetan ini laris manis.
Saat pertama menerima Kodrat dan Gimbal, eh Peyang—sekarang aku memanggilnya Pey, biar kerenan dikit. Ekekekek—banyak pelanggan yang ragu-ragu beli. Mereka sepertinya agak ragu, ada preman serem nongkrong di warung. Tapi Sri ini segera dapat wangsit. Tata cara penyambutan pelanggan di mini mart terdekat langsung kuplagiat!
“Selamat datang, selamat makan penyetaaan ….”
Kata itu harus dilontarkan ketika ada orang yang masuk warung. Dengan irama riang gembira, tak lupa menirukan gerakan ulek-ulek di tekan ke cobek ketika sampai kata ‘penyetan’.
Alhasil, sampai hari ketiga, banyak orang yang keluar masuk warung tanpa membeli. Mereka hanya ingin melihat Kodrat dan Pey menyapa. Setelah itu terkial-kial memegangi perut.
Ckckckc! kedua mantan preman itu memang penuh aura. Tak salah Mas Agas memungutnya.
“Terima kasih atas kunjungannya, lain kali kembali.”
Tugas kasir yaitu aku sendiri mengucapkan kalimat wasiat. Sangat anggun dan bermartabat, menebar nikmat mendulang manfaat. Perut lengket jadi berat, kantung tipis semakin melekat. Gaplok kepala kuat-kuat.
Ah! Apaan, sih.
Tak lupa menangkupkan tangan di depan dada, seolah menyambut hari raya. Juga senantiasa mengembangkan senyum ibu hamil memesona. Emak bahagia, janin ceria. Sah!
Jangan kira mudah mengarahkan dua mantan preman itu. Sulit! Kamu tak akan bisa, biar aku saja.
Awal-awal bekerja, mereka keliru mengirim pesanan. Pemesan penyet paha diberi ceker. Pelanggan minta tempe dikasi lele. Ayu murka, dia langsung menyuruh keduanya membersihkan telinga. Biar kotoran yang menyumbat keluar semua. Jurus Ayu manjur, setelah itu nyaris tidak ada masalah. Yang paling susah itu menyuruh mereka salat. Seperti saat ini. Azan asar baru saja selesai berkumandang. Warung juga tinggal beberapa pelanggan. Aku mulai meminta mereka melakukan kewajiban.
“Kodrat, Pey, itu sudah dipanggil. Sana gantian salat dulu,” kataku sambil menepuk tangan minta perhatian.
“Saya lupa bacaannya, Bos,” Kodrat beralasan.
“Kalau saya belum mandi besar,” jelas saja Pay ngawur.
“Mandi besar bagaimana, Pey?” Ayu ikut berkomentar.
“Tadi pagi saya cuma mandi kecil. Cuci muka sama basuh ketek saja, wakil bos.”
Ayu melengos. Aku terjotos. Setiap kali disuruh, ada saja alasannya. Biar nanti kuceritakan pada Mas Agas, kalau sama dia, mereka biasanya menurut.
“Kalau begitu, aku akan pulang dulu. Ayu, jangan lupa nanti setoran, ya. Gaji Kodrat dan Pey hari ini tolong kasihkan.”
“lya, Mbak Sri.”
Mas Agas menyuruh supaya upah kedua temannya itu diberikan setiap hari. Untuk menyambung hidup, katanya. Padahal mereka minum, makan dua kali, tentu saja lauk tahu, tempe, terong. Paling banter ikan lele, itu pun dibagi dua. Kalau diijinkan makan lauk ayam bisa bangkrut Mak Sri ini.
Gaji itu kemungkinan besar habis buat beli rokok. Selama bekerja, mereka tak diperbolehkan merokok di dalam warung. Biasanya kalau warung sedang sepi, Kodrat dan Gimbal menghirup asap di depan.
Mereka menyedot dalam tempo sesingkat-singkatnya. Ada dua pasang mata tajam mengawasi dari dalam. Mataku dan matanya Ayu. Mengirimkan energi mematikan.
Bersambung ….
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita