Rumah dan Telaga
Oleh: Sunita Kasih
Rumah itu di tepi telaga ujung desa, enam tahun yang lalu masih berdinding geribik dan beratap rumbia, di sebelahnya terdapat pohon rambutan yang jika berbuah kulitnya berwarna kuning. Tak perlu berjalan terlalu jauh, terdapat telaga yang airnya bening serta ditumbuhi bunga padma berada di depan rumah itu. Di telaga itu juga terdapat dermaga kecil yang sudah ditumbuhi lumut dengan perahu kayu yang diikatkan di tepiannya.
Ya, seandainya kalian pernah membaca sajak Sapardi tentang sebuah telaga, mungkin akan terasa seperti itu.
*
Foto itu datang kepadaku entah dari mana, tadinya itu dilapisi amplop merah muda dengan tanda senyum di ujung kanan atas amplop itu. Tak ada alamat pun nama pengirim yang tercatat. Aku memandangi setiap wajah yang ada dalam foto itu, sepertinya akan datang setelah ini beberapa ingaan bersamaan dengan bulan yang telah ditutupi awan kelabu.
Malam ini aku memutuskan untuk tidak melanjutkan pekerjaanku, ya meski batas waktu telah menjelma tangan yang kerap terasa mencekik leherku. Kurasa tak apa sesekali.
Kembali lagi, aku menimbang-nimbang apa saja yang bisa kuingat tentang setiap wajah yang ada di foto itu. Ah, Ayu dan Dimas, dua orang ini rasanya begitu akrab denganku ketika aku masih menduduki bangku SMA tetapi kenapa malah wajah mereka tak ada di foto ini?
Di luar awan sepertinya tak membiarkan bulan menampakkan diri lagi malam ini, seketika awan itu melebur, menjadi butir-butir yang berebutan sampai duluan menyentuh tanah. Sedangkan padaku, ingat dan kenangan masuk, berdesak-desakan di dalam kepalaku. O iya aku ingat foto ini.
*
Adalah enam tahun yang lalu dengan berbagai hiruk pikuk, sebab anak SMA hendak berpindah bangku, memulai perjalanan dengan mengenyam tahap pendidikan selanjutnya; masa perkuliahan. Cinta anak SMA, hafal betul pasti kalian tentang bagaimana indahnya masa SMA, kata orang SMA adalah tenggang waktu kenikmatan yang diberi Tuhan, karena di SMA kita tidak perlu susah-susah memikirkan berapa harga telur bebek atau cabai di pasar, atau bawang, atau ikan nila, atau ayam putih dan beras. Lain lagi dengan kehidupan setelah SMA.
“Setelah ini kau mau ke mana?” Dimas teman karibku itu bertanya kepadaku.
“Ah, kemana saja Mas! Mengikuti alur perjalanan hidup juga passion-ku”
“Kau mau teruskan menulis?”
“Mungkin saja.”
Waktu seperti kereta yang melesat tepat pada alur dan tujuannya, yang tak menghiraukan apa pun selain pada keharusannya. Seperti pada realita, kita bisa menunda pekerjaan tetapi tidak dengan waktu.
Teman-teman, sahabat, juga musuh ternyata berpengaruh terlalu banyak dalam kehidupan. Adalah perpisahan kala itu, waktu seolah berhenti sejenak, mempersilakan kami menyumbangkan air mata untuk di kemudian hari dapat menjadi simpanan air yang menyirami kekeringan akan ingatan tentang hari itu. Aku pun memeluk teman-temanku, merelakan tangis sebagai pelepas sesak yang memenuhi dada juga mempersilakan segala kenangan untuk mengambil sisa tempat di kepala.
Aku menengok ke jendela, butiran air itu sudah berubah menjadi jarum-jarum bening yang menyerang tanaman, trotoar juga jalanan. Tak terkecuali aku yang sedang meliriknya dari dalam sini, sepertinya ribuan jarum itu hendak menusukku bersamaan dengan berbagai kisah yang datang dari masa lampau.
Sepertinya aku mengingat sesuatu tentang foto itu, wajah-wajah di dalam sana seperti sangat terpaksa senyum saat difoto kecuali satu-satunya wajah laki-laki di sana. Ah iya, Diaz! Aku ingat perempuan ini, agak sedikit aneh memang, ketika perempuan lain berebut diberi nama Intan atau Suci dia malah lain sendiri dengan nama Diaz.
Diaz yang sering mewanti-wantiku untuk melanjutkan kuliah dengan semestinya, maksudku dia yang memberi saran untuk masuk kuliah PGSD saja biar setelah lulus bisa mengajar di Sekolah Dasar dan jadi PNS. Tak perlulah aku payah-payah nanti mencari pekerjaan, belum lagi dia memberi gambaran bagaimana nanti ketika aku sedang ke sana-kemari mencari pekerjaan, teriknya matahari juga keringat sebesar biji jangung membasahi kerudung dan kera bajuku, kaki yang lecet sebab memakai flatshoes hitam sempit juga map merah yang sedikit terasa basah sebab terkena keringat dari telapak tanganku.
Iya, dia Diaz. Yang sengaja enggan mengembalikan buku catatan kimia milikku agar aku tak bisa belajar untuk ulangan besoknya. Dia juga yang diam-diam menghasut guru matematika, katanya aku melihat contekan ketika mengerjakan soal matematika, yang jelas aku tahu dia melakukan itu karena nilainya lebih kecil dariku. Ah, macam tak ada perangai baik yang kuingat dari Diaz. Tapi, aku tetap rindu dia.
Di dalam foto itu, di sebelah Diaz terdapat perempuan yang sedang nyengir kuda, matanya disipit-sipitkan persis orang China, mungkin sebab itulah senyumnya bisa begitu kembang. Ah, dia Naya! Kurasa dia bukan temanku, kenapa dia ada dalam foto ini? Sebetulnya aku tak terlalu membenci Naya sebelum dia bilang bahwa dia pernah pergi naik kereta bersama kekasihku waktu SMA dulu, tak hanya itu Naya bilang sebetulnya aku hanya menjadi pelampiasan saja. Aku muntab, kenapa tidak, dahulu disebutnya bahwa kekasihku itu mengejar-ngejar Naya, dia mau Naya menjadi kekasihnya. Karena tak dapat Naya, jadilah aku yang dijadikannya kekasih. Tak tahu malu!
Kupandangi satu-satu wajah itu, tak ada wajahku di sana. Lalu kenapa ini dikirimkan padaku?
O iya, satu ini. Lelaki yang semasa SMA menjadi kekasihku, kakinya jenjang, kedua bola matanya berwarna coklat kehitaman, dagunya lekuk manga, hidungnya mancung, rambutnya ikal jika dipanjangkan, dia suka bermain basket, seperti dahulu ketika menungguku pulang. Wajahnya selalu penuh keringat ketika bertemu denganku dan saat mengantarku pulang, juga dia tidak pandai berpuisi.
Kini aku ingat di mana foto itu, ternyata ini bukan perkara ada wajahku atau tidak di dalam lembar foto itu. Bagian terpentingnya adalah di mana foto itu diambil. Di telaga!
“Kau suka tempat itu?”
“Iya, aku selalu memimpikannya, aku duduk di sana bersamamu dengan segelas teh melati, paginya kita bermain di telaga, menaiki perahu dan menyentuh bunga padma yang bermekaran. Sore harinya kita melihat sunset yang tetap tampak jelas meski kita telah berada di teras rumah—dengan teh kita masing-masing,” senyumku rekah ketika aku menjelaskan keinginanku, kulihat dia sepertinya menangkap binar di wajahku.
“Tapi aku suka susu coklat.”
“Ya sudah kau susu coklat dan aku teh melati.” Dia tersenyum
“Malamnya kita menangkap kunang-kunang.”
“Kenapa?” tanyaku.
“Sepertinya seru.” Aku mengernyitkan dahi.
“Malamnya kita duduk di teras, memandang kunang-kunang yang sedang melombakan terangnya dengan bintang.”
“Masih dengan teh melati dan susu coklat?” dia bertanya.
“Tentu saja, tapi mungkin ditambah dengan camilan, kau suka apa?”
“Aku suka kamu.” Aku mencubit lengannya.
Foto itu masih kuperhatikan, ingatanku berlayar pada lautan kenangan. Aku benci ini, dalam lautan kadang menyimpan rahasia yang belum kita tebak, aku hanya takut baru menebak rahasia itu ketika aku sudah tak bisa berbuat apa-apa.
Sepertinya, latar belakang foto itu bukan rumah asli. Jelas sekali! Ini lukisan, apa-apaan foto ini. Latar belakangnya dibagi jadi empat paruh waktu, yang pertama pagi, kedua siang, ketiga senja dan keempat malam! Kunang-kunang itu? Pohon rambutan? Dermaga dan telaga? Bagaimana bisa?
Ah iya! Barangkali teknologi foto zaman sekarang sudah begitu melesat kemajuannya.
“Kau mau jadi apa?”
“Aku terserahlah mau jadi apa, asal aku bisa bahagia.”
“Maksudnya?” dia heran
“Maksudku, mau aku punya uang satu telaga penuh pun kalau aku tak bahagia buat apa?” Dia tertawa pun aku.
“Nanti biar kau duduk di rumah saja, mengasuh anak sambil sesekali menulis cerita.” Aku keheranan.
“Hah?”
“Iya, biar aku yang jadi akpol, kau cukup jaga anak-anak kita kelak.”
“Ha ha ha”
Aku ingat persis bagaimana percakapan tentang rumah dan telaga begitu mampu membuatku melambung seperti balon yang kemudian bebas melayang. Seperti, itu adalah hari-hari yang disinari matahari yang terik, cerah namun tetap terasa sejuk, seperti daun-daun yang berguguran sekadarnya saja untuk memberi tahu pada angin bahwa dia cukup membuat keadaan menjadi romantis. Itu yang kuingat, jalanan di taman yang bunganya masih mekar, tertawa dan bergandengan tangan seolah mendung dan hujan adalah sebuah mitos.
Bukan kehidupan namanya jika bahagia terhenti sebatas bahagia saja, benarlah kata orang dulu, kehidupan lebih banyak rasanya, tak hanya ada rasa manis gula saja, tetapi ada garam yang asin, obat yang pahit, jeruk nipis yang asam, salak liar yang sepat. Dan aku sepertinya sedang mencoba rasa lain—selain gula.
“Kenapa?” tanyaku dengan degup yang masih terasa seperti seseorang yang habis maraton dua belas kilometer jauhnya.
“Tak apa, kita fokus pada pendidikan kita dulu. Kau harus sukses pun aku. Aku harus menjadi seseorang yang pantas untuk mengambilmu dari ayahmu.” Aku terdiam.
Hari yang cerah dengan matahari dan langit biru itu telah berubah menjadi gemuruh dengan awan yang kelabu. Terlebih setelah lima bulan lewat aku menyadari bahwa dia telah bersama wanita lain. Awan kelabu melebur menjadi jarum-jarum bening yang kala itu benar-benar tepat sasaran, menyerang dan memelukku yang sedang luar biasa kedinginan, tak ada tangan seseorang yang menggenggam dan menarik dari pelukan itu. Hanya aku dan kelabu kala itu, juga sendu yang begitu biru.
Tak lama, aku menyadari satu hal. Telaga, bunga padma, perahu dan kunang-kunang itu tetaplah milikku, meski yang duduk di sampingku nanti bukanlah orang yang sama.
Jam menunjuk jarum pendek ke angka dua, seperti sudah terlalu dini untuk kembali dari ingat dan kenangan ini. Aku melihat foto itu lagi, mengambil amplop merah muda itu dan mencoba memasukkannya kembali. Ada yang mengintip di sela amplop dan foto yang hendak kumasukan tadi, selembar kertas dengan tulisan.
Terima kasih telah menjadi rumah dan telaga yang menjaga perahuku, sekarang bolehkah aku pulang?
Aku bergeming, kenapa tulisan itu terasa seperti ribuan anak panah yang menusukku? Atau anak panah itu nantinya akan menjadi kembang yang rekah dan mewarnai dinding-dinding yang luka itu dengan bunga merah jambu?
Rumah itu di tepi telaga, kini telah berdinding beton dan diwarnai dengan warna biru muda, atapnya pun sudah tak lagi dari rumbia, pohon rambutannya juga telah berbuah dengan manis meski kulit rambutan itu berwarna kuning, di depannya telah tumbuh bunga mawar, melati juga kembang sepatu, di samping rumah dipenuhi tanaman jahe, kumis kucing, kencur, dan tanaman obat lainnya. Tak jauh dari rumah telaga masih bening airnya, bunga padma yang sempat terserak sebab perahu pergi melintasinya kemarin telah kembali menjadi padma yang mekar, mungkin di seberang telaga tampak pepohonan yang lebih hijau namun rumah dengan pelita juga teh melati dan secangkir susu coklat hanya berada di sini. Dermaga itu tetap sama—menunggu kembalinya perahu.
Aku mengusap sesuatu yang terasa basah di pipiku. Ah, di luar hujan belum reda. Tak ada semangkuk mi kuah dengan telur rebus setengah matang atau setidak-tidaknya teh melati malam ini. Sepertinya, foto ini adalah aku.(*)
Sunita Kasih, Menetap di kota Lubuklinggau, penyuka bulan April dengan secangkir teh melati juga seporsi pengalaman renyah yang dituliskan dengan hangat. Fb : sunita kasih ig: sunitakasih
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita