Pencuri
Oleh: Noery Noor
Jam sembilan malam, kami dikejutkan oleh sebuah ketukan di pintu. Baru saja acara kenduri di rumah Pak RT selesai. Dua orang petugas ronda tergopoh-gopoh masuk.
“Ada apa, Pak Sarijo?” tanya Pak RT begitu membuka pintu. Udara dingin menyergap bersama butiran air hujan yang tertiup angin.
“Anu … SDN V … tadi kami melihat ada maling di sana ….” kata Pak Sarijo terputus-putus.
Grajasss!!!
Hatiku berdegup kencang. Aku terkejut. SDN V? Itu sekolah tempatku mengajar. Karena hujan deras siang tadi beberapa peralatan elektronik sengaja aku tinggal di kantor. Aku lupa kalau akhir-akhir ini seringkali terjadi pencurian di sekolah. Para pencuri biasanya mengambil barang-barang elektronik atau benda berharga lain.
“Bapak yakin?” Aku segera bangkit menemui kedua petugas ronda.
“Iya, Pak, kami yakin. Sepertinya ada beberapa orang. Lampu di ruang kantor dan perpustakaan tampak menyala. Karena pencurinya banyak, kami tidak berani menghadapi mereka,” Pak Narjo menjelaskan lebih lanjut.
“Kami ke sini untuk minta bantuan warga,” Pak Sarijo menambahkan.
“Maaf, karena Pak Amin guru di sana, sebaiknya Pak Amin mengatur kita semua, apa yang sebaiknya kita lakukan untuk membantu Bapak,” usul Pak RT.
Sejenak aku diam. Berpikir dan mengatur strategi agar bisa menangkap basah para pencuri yang sedang beraksi.
“Baik, kita akan ke sana bersama-sama, tapi nanti biar saya melihat dulu kondisinya,” kataku sambil melangkah menuju SD. Tak lupa aku menghubungi Taryo, penjaga SD dan memintanya agar segera datang ke sekolah.
Beberapa warga menyiapkan senjata seadanya. Pak Sarijo dan Pak Narjo menghubungi Polisi Desa. Terdengar suara bergumam bapak-bapak di sekelilingku.
“Kalau sampai tertangkap kita hajar habis-habisan pencuri-pencuri itu!” kata Pak Suyono geram, “ini sudah yang ke sekian kalinya!”
“Sabar, bapak-bapak semua. Kalau masih bisa dirembuk nanti dirembuk dulu,” Pak RT melerai, ”dan satu lagi, bapak-bapak harap tenang! Agar penggerebekan ini bisa berhasil.”
Kami berjalan menerobos hujan. Yah, tampaknya pencuri memanfaatkan suasana hujan berkabut ini untuk melancarkan aksinya.
Benar, ada lampu yang menyala di ruang kantor. Biasanya hanya lampu yang di luar yang dinyalakan. Selain itu lampu ruang perpustakaan dan ruang dapur yang berdekatan dengan kantor juga menyala.
Dengan mengendap-endap, kami mendekati ruang kantor. Taryo sudah ada di sana, namun tidak berani masuk.
“Pencurinya banyak, Pak,” katanya berbisik.
“Tapi di dalam sunyi,” bisikku pula pada Pak Taryo dan kedua petugas ronda, juga pada Pak Narjo dan Pak Sarijo. Kami saling pandang bergantian. Berkali-kali kutatap jajaran beberapa pasang sandal orang dewasa yang ada di dekat jendela kantor. Rupanya mereka masuk lewat jendela. Ya, setidaknya ada lima atau enam orang, atau entahlah … ada beberapa warna sandal yang berbeda-beda, sehingga sulit untuk mengidentifikasi jumlah mereka.
Dua orang polisi desa juga sudah hadir di tengah kami. Pak Taryo sudah menyiapkan tangga agar aku kami bisa naik dan mengintip gerakan pencuri yang di dalam.
“Pak Amin saja yang naik dulu, nanti beri keterangan pada kami apa yang harus kami lakukan,” saran Mas Sigit, salah satu polisi desa itu.
Aku setuju. Dengan dada berdebar, aku naiki tangga satu per satu. Empat orang memegang tangga agar tidak jatuh. Aku menjulurkan kepalaku ke sekitar ruangan. Melihat dengan cermat setiap sudut ruangan yang ada.
Sepi … tak ada apa-apa dan tak ada siapa-siapa. Hanya terlihat beberapa buku berserakan di meja, beberapa gelas bekas minum kopi, dan satu kaleng biskuit. Di mana pencuri-pencuri itu? Aku berpikir keras. Sekali lagi kuedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan, kucoba pula untuk melihat ruangan-ruangan lain namun tetap tak terlihat tanda-tanda yang mencurigakan.
Aku turun kembali dengan kepala penuh tanda tanya.
“Gimana, Pak ? Ada berapa orang di dalam?” tanya mereka bersamaan. Kami terus berbicara dengan berbisik-bisik.
Aku menggeleng,” tak ada siapa-siapa, ”jawabku menggantung. Ragu. Antara percaya dan tidak percaya.
“Tidak ada siapa-siapa? Apa jangan-jangan mereka sudah keluar dan gantian mau menggerebek kita?” kata Pak Narjo. Mas Sigit menggeleng.
“Bisa juga seperti itu,” kami saling berbisik.
“Begini saja, kita masuk bersama-sama. Biarkan saya dan Pak Amin di depan,” kata Mas Sigit, polisi desa kami setelah cukup lama berpikir.
Kami setuju. Pak Taryo membuka pintu perlahan lahan. Dengan dada berdebar-debar, aku masuk ke ruangan kantor. Tak ada siapa-siapa. Laptop masih tampak menyala di meja kerja. Printer terpasang di tempatnya. Sepertinya tak ada barang yang hilang.
Taplak meja tidak terpasang seperti biasanya, mungkin sedang dicuci Taryo. Gelas-gelas berjajar di beberapa meja. Kusentuh satu, masih hangat. Bisa jadi karena hujan deras yang terus mengguyur mereka malah sempat ngopi. Bahh pencuri macam apa ini? Amatiran!!! Tidak profesional!!! Desisku dalam hati.
“Terus ke ruangan lain, Pak!” Mas sigit mengingatkan aku. Senjata siap di tangan, wajahnya tampak sangat serius. Ada rasa takut menggerayangi diriku. Mungkin benar kata Pak Narjo tadi, bisa jadi semua ini jebakan yang memang sudah direncanakan para pencuri itu. Bisa jadi mereka pun bersenjata, dan siap menyergap kami.
Di ruang dapur kami tidak menemukan apa-apa. Hanya sebuah cerek yang terisi air panas. Jantungku berdegup kian kencang. Tak ada barang yang hilang. Apa sebenarnya maksud para pencuri ini?
Tinggal ruang perpustakaan yang belum kami periksa. Dengan langkah kaki berat, rasa takut yang kian memuncak aku masuk ke ruang perpustakaan, dan ….
“Astaghfirullaahh!” aku terkejut.
Begitu pun Mas Sigit.
Ia segera menurunkan senjatanya. Beberapa anak tertidur pulas beralas tikar dan berselimut taplak meja. Sebagian wajahnya bahkan tertutup buku pelajaran.
Tak ada sedikit pun rasa marah dalam diriku. Yang ada rasa trenyuh, mereka hanya anak-anak yang sedang berjuang untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Apa yang kutemukan malam ini membuatku berpikir untuk memberi ruang pada mereka agar punya kesempatan lebih banyak untuk membaca.(*)
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita