Cermin Pengantar Pesan
Oleh: Triandira
“Dia ada di kamar, Nona.” Lucy menganggukan kepala, lantas berjalan cepat setelah perempuan berusia lima puluh tahunan itu mempersilakannya masuk ke dalam rumah. Beberapa menit yang lalu, mereka terlibat perbincangan melalui telepon. Membicarakan seseorang yang kini tengah termenung sendirian di salah satu ruangan.
“Terima kasih, Bi,” ucapnya. “Kau bisa melanjutkan kembali pekerjaanmu.”
Mereka berpisah. Sementara perempuan tadi membuatkan minuman untuk tamunya, perlahan Lucy memasuki kamar yang gelap itu. Beberapa benda tampak berserakan di lantai, seperti bantal, selimut dan peralatan make up yang sebelumnya tertata rapi di atas meja.
Gadis berambut keriting itu terkesiap. Tak menyangka dengan apa yang terjadi di hadapannya, “Bella, kau baik-baik saja?”
Tak ada sahutan. Bella masih tetap terdiam seperti tadi saat sahabatnya belum datang. Ia meringkuk di atas ranjang dengan tangan mendekap erat lutut. Kepalaya menunduk dan bahunya berguncang karena tangis, membuat Lucy merasa sedih.
“Tenanglah, sekarang aku di sini bersamamu.” Direngkuhnya tubuh Bella hingga gadis itu menoleh ke samping, dan baru menyadari bahwa kini ia tidak sendirian lagi.
“Katakan padaku. Apa dia mengganggumu lagi?” tanya Lucy.
Bella melonggarkan pelukan. Jari tangannya yang masih gemetaran mengusap pelan cairan bening di pelupuk matanya. Lepas itu menunjuk sudut ruangan dekat jendela. Di sana ada sebuah kursi goyang yang selalu membuat bulu kuduknya berdiri. Setiap hari saat tengah malam tiba, ada sesosok bayangan yang menggerakkan benda itu. Dan hal tersebut terjadi semenjak Bella dengan sengaja memindahkan sebuah benda antik peninggalan sang pemilik rumah ke dalam gudang. Menjadikannya seperti barang usang yang tak layak lagi untuk dipajang.
“Di—di sana,” tergagap Bella mengucapkannya.
“Tapi … aku tidak melihat siapa pun di kursi itu.”
Gadis berwajah pucat tersebut menggelengkan kepala, “Jadi kau tidak percaya padaku? Tidakkah kau lihat dia sedang—”
“Tidak ada seorang pun di sana,” potong Lucy. “Lihatlah. Iya, kan?”
Bella terhenyak. Ternyata apa yang sahabatnya katakan memang benar. Sosok misterius yang ia maksud tidak ada. Kursi itu pun juga tidak bergoyang seperti yang ia ceritakan barusan.
“Sepertinya kau terlalu lelah. Lebih baik kau beristirahat saja sekarang, oke?”
Meskipun rasa takut masih datang menyergap, tapi Bella menuruti juga keinginan Lucy. Ia membaringkan tubuh sambil sesenggukan menahan tangis. Sesekali menghela napas, menormalkan kembali jantung yang berdegup kencang.
“Tunggu!” cegah Bella, “jangan tinggalkan aku sendirian di sini.”
Lucy menepuk pelan tangan Bella yang kini memegang erat lengannya. “Percayalah, aku tidak akan ke mana-mana.”
Gadis malang itu mengangguk. Tak lama kemudian ia memejamkan mata, lalu terlelap dengan selimut yang menutupi tubuhnya.
***
“Kau yakin akan meletakkannya di sini, Nona?”
Karen, pembantu yang sudah lama tinggal bersama Bella membuka pintu gudang. Mereka berdua akan menata ulang sebagian ruangan di dalam rumah. Mengganti beberapa barang yang sudah terlihat usang dengan yang baru, juga mengecat kembali dinding dengan warna cerah.
Bella ingin suasana baru. Ia sudah bosan dengan nuansa klasik yang baginya malah terkesan menyeramkan. Apalagi saat malam tiba, bangunan megah itu seolah memancarkan aura kegelapan yang membuat Bella merinding dan sedikit ketakutan tanpa alasan yang jelas.
“Ya, letakkan saja di dekat lukisan itu.” Bella mengarahkan pandangan ke dinding yang penuh dengan gantungan. Ada jam, lukisan, dan benda tak terpakai lainnya.
Sebenarnya Bella ingin membakar atau membuang saja barang-barang itu, namun urung ia lakukan karena hampir setiap hari ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Terkadang saat libur bekerja pun, ia masih mengorbankan waktu untuk menyelesaikan urusan penting lainnya. Barulah sekarang ada kesempatan untuk merenovasi kamar, dapur, dan ruang tamu. Tiga tempat yang menurut Bella paling terkesan gelap.
“Ada lagi yang bisa kubantu?” Karen menghampiri majikannya yang tengah sibuk memilah barang di dalam kardus.
“Tidak, terima kasih.”
“Baiklah. Jika butuh sesuatu kau bisa memanggilku.”
Bella mengangguk sambil menyunggingkan senyum. Sejurus kemudian, Karen sudah menghilang dari hadapannya. Tinggallah ia di dalam gudang seorang diri.
Dua buah kardus sudah terisi penuh. Salah satunya berisi dokumen-dokumen yang sudah rusak dan tak dibutuhkan lagi. Ketika Bella hendak membawanya keluar, ada sesuatu yang menarik perhatiannya.
Apa itu?
Jemarinya yang lentik memungut selembar kertas yang terjatuh di atas lantai. Tepat di bawah cermin antik yang Karen gantung tadi. Setelah dicermati, ternyata itu sebuah foto hitam putih dengan sosok seorang gadis di dalamnya.
Kondisinya cukup parah. Selain buram, sebagian sisinya sudah terkelupas. Hanya wajah si gadis saja yang terlihat namun tidak begitu jelas. Karena itulah Bella akhirnya memasukkan foto tersebut ke dalam kardus yang ia pegang, lantas membawanya keluar.
Sesampainya di halaman belakang rumah, Bella membakar semua dokumen itu. Seketika kobaran api menghanguskannya hingga menjadi abu, kecuali selembar kertas yang membuatnya penasaran.
“Apa foto ini terjatuh dari balik cermin tadi, ya?” Majikan muda itu memerhatikan benda di tangannya. “Ah, mana mungkin. Aneh juga kalau sampai begitu,” gumamnya dalam hati sambil menatap lekat-lekat wajah si gadis di dalamnya. Tak ada yang berbeda sampai beberapa detik kemudian Bella tiba-tiba merinding.
Sosok di foto tersebut menunjukkan raut muka yang mengerikan. Matanya menyorot tajam seolah saling berpandangan secara langsung. Bibirnya sedikit tertarik ke atas hingga terkesan seperti orang yang sedang tersenyum sinis, memperlihatkan gigi gingsulnya.
Deg!
Jantung Bella berdetak cepat. Seketika hawa dingin memenuhi sekujur tubuhnya. Dan tanpa berpikir panjang, lembar foto itu ia buang. Terbakar bersama kertas lain yang sudah mengabu.
***
Jam menunjukkan pukul dua belas malam. Untuk kesekian kalinya Bella terbangun dengan wajah pucat, juga keringat dingin yang membasahi pelipisnya.
“Kau memimpikan hal itu lagi?” suara Karen dari balik pintu.
“Astaga, Bibi! Kau mengagetkanku.”
Perempuan paruh baya itu mendekat, lantas menuangkan segelas air putih dan menyodorkannya pada Bella. Meski sudah meneguknya sampai habis, namun ketakutan yang ia rasakan belum berkurang. Tubuhnya pun masih gemetaran.
Karen menghela napas. Di detik berikutnya ia memeluk Bella dan mengelus pelan punggungnya. Kasihan gadis itu, tapi Karen pun tak bisa berbuat banyak. Mereka berdua sama-sama tak mengerti dengan penyebab dari hal buruk yang sering terjadi.
Sudah sebulan ini suasana rumah terasa tidak nyaman. Setiap hari ada saja yang membuat keduanya merasa cemas bahkan ketakutan. Terkadang mereka mendengar suara-suara aneh, sekelebat bayangan yang muncul dan menghilang secara tiba-tiba, juga mimpi buruk yang mewarnai tidur mereka, terutama Bella.
“Aku takut, Bi. Bagaimana jika …,” ujarnya dengan raut muka menegang.
“Tidak, Nona, jangan berpikiran macam-macam. Ehm … lebih baik kau tidur lagi sekarang. Aku akan mengantarmu, oke?”
“Tapi—”
“Nona,” sela Karen. Ia hanya mencoba menenangkan gadis itu walaupun ia sendiri juga merasakan kegelisahan yang sama.
“Seharusnya kita tidak menempati rumah ini.”
“Nona, apa kau mulai memercayainya?”
“Entahlah. Mungkin saja apa yang Pak Albert wasiatkan itu benar.”
Bella menatap sendu wajah Karen dan mengusap lembut punggung tangannya, hendak mengatakan sesuatu. Namun baru saja membuka mulut, perempuan yang biasa dipanggil Bibi telah lebih dulu berucap. “Ayo, kuantar ke kamar.”
“Tidak usah, Bi. Lebih baik kau kembali ke kamarmu.”
“Apa kau yakin?”
“Ya.”
Setelah mengingatkan agar tak lupa mematikan lampu dapur, Karen bergegas pergi ke kamarnya. Namun tidak dengan Bella, bukannya kembali tidur, ia malah berjalan menuju gudang.
Kriet!
Derit pintu membuat Bella memicingkan mata. Sembari melangkah pelan, ia menyorotkan lampu senter ke seluruh penjuru ruangan. Tempatnya berada saat ini benar-benar pengap. Debu tebal di sekitarnya membuat gadis itu terbatuk. Karena tak ingin membuang waktu, ia bergegas menyalakan lampu lalu mendekat ke dinding—tempat di mana benda yang ia cari masih tergantung seperti dulu.
Sekarang ia berdiri di depan bayangannya. Sebuah cermin antik khas Eropa tahun 1930-an dengan ukiran logam yang membingkai kacanya.
“Apa mungkin ….”
Belum selesai ia menggumamkan kalimat dalam hati, lampu ruangan mendadak berkedap-kedip. Bella terkesiap, jantungnya mulai berdebar lebih cepat.
Tidak, ini pasti hanya perasaanku saja.
Bella kembali menatap cermin itu, dan ketika tangannya hendak menyentuh bingkai berukiran bunga, sekelebat bayangan muncul dari balik jendela.
“Si—siapa di sana?” teriaknya. Tak ada sahutan. Justru hawa dingin tiba-tiba menyusup seiring pintu gudang yang tertutup dengan sendirinya.
Brak!
Suara yang keras membuatnya menoleh ke belakang.
“Bibi, kaukah itu?”
Tak ada jawaban. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah embusan napasnya sendiri. Bella mengerjap, mencoba menenangkan diri. Namun di luar dugaan, saat ia memutuskan untuk keluar, sesosok bayangan muncul di cermin itu. Tepat di belakang dirinya.
“Aaaa …!!!”
***
“Nona, tenanglah!” teriak Karen. Keesokan harinya, di jam yang sama, Bella kembali menjerit histeris. Keadaannya bahkan lebih buruk, begitu juga dengan kamarnya. Semua berserakan di atas lantai.
“Usir dia, Bi! Usir dia!” jeritnya sambil menunjuk ke salah satu sudut kamar. Tempat di mana sebuah kursi goyang berada, dengan sosok menakutkan yang muncul di mimpinya tengah duduk di sana.
Tak kuasa menyaksikan penderitaan Bella, Karen bergegas menghubungi Lucy—sahabat majikannya itu. Tiga puluh menit setelahnya, tamu yang diharapkannya pun datang. Memeriksa sekaligus menemani Bella di kamarnya.
Ketika gadis itu sudah terlelap kembali dalam tidurnya, Lucy menemui Karen di ruang tamu. Mereka berbincang, dan dari sanalah Lucy mulai memahami apa yang terjadi. Sebenarnya ia tidak begitu percaya dengan apa yang Karen ceritakan tentang Pak Albert.
Berdasarkan yang ia dengar, lelaki tua itu—pemilik rumah yang terdahulu, pernah berpesan bahwa apa pun yang terjadi cermin antik yang ada di kamar Bella tak boleh dipindahkan. Jika hal tersebut dilanggar, maka malapetaka akan menimpa semua penghuni rumah.
“Boleh aku melihatnya?” usul Lucy, meminta Karen untuk mengantarnya ke gudang.
“Tentu.”
Tak lama kemudian mereka sampai di tempat tujuan. Sama seperti sahabatnya, Lucy terkesima dengan kecantikan cermin itu saat pertama kali melihatnya. Tapi mereka tak berlama-lama di sana karena mengkhawatirkan keadaan Bella.
Baru saja Lucy melangkahkan kaki hendak keluar menyusul Karen, ia tiba-tiba ingin menatap cermin itu untuk kedua kali. Gadis itu menoleh ke belakang, hanya beberapa detik saja. Kemudian berjalan keluar tepat ketika sesosok bayangan muncul di dalam cermin. Dan di depan sosok tersebut ada bayangan sahabatnya. Bella.(*)
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita
Triandira, penyuka fiksi yang belum bisa move on dari mi ayam dan durian. Jika ingin menghubunginya bisa melalui akun FB dengan nama Triandira Email: triwahyuu01@gmail.com