Dongeng dari Hutan
Karya: Lily Rosella
“Berikan aku ramuan itu!”
“Percuma saja.”
“Berikan saja padaku!”
“Ada harga yang harus kau bayar untuk ini.”
“Aku akan melakukannya. Akan kulakukan apa pun itu!”
***
“Kau sudah bangun?” tanya Haneul.
Pemuda berambut pirang yang sejak tadi terbaring di atas dedaunan kering terbangun. Matanya terasa agak berat dan perlahan mulai terbuka, menatap sekitar. Bingung.
“Di mana aku?” tanyanya setelah berusaha duduk.
Haneul menunjuk ke arah mobil sedan berwarna merah. “Beruntung kau masih hidup. Aku menemukanmu berada di dalam sana dalam keadaan sekarat.”
Pemuda tersebut meraba wajahnya, mengeram kesakitan saat menyentuh bekas luka yang ada di pelipis. “Aw….”
“Apa itu sakit?”
“Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja.”
“Ikutlah denganku. Aku tinggal di sana,” ucapnya, menunjuk ke kanan.
Hwan, pemuda berambut pirang itu menatap mobilnya yang terjungkir. Wajahnya yang memiliki beberapa bekas luka perlahan tertunduk, menatap dedaunan kering yang ada di bawah kakinya. Berpikir sejenak tentang tawaran Hanuel.
“Bagaimana?”
“Baiklah,” jawabnya.
Sembari membawa keranjang yang berisi blueberry, Hanuel membantu pemuda bertubuh tinggi yang diselamatkannya setengah jam lalu untuk pergi ke rumahnya. Gadis berambut ikal itu sesekali menjilati salah satu jarinya, lantas mengangkat tangan tinggi-tinggi, merasakan ke mana arah angin berembus.
“Baiklah, kita ke sana!”
Hwan menatap bingung. “Apa kau benar-benar tinggal di sini?”
Gadis berlesung pipi itu tersenyum lebar, lantas mengangguk. “Ayo!”
***
“Kau yakin akan melakukannya?”
“Tentu saja!”
Seorang wanita tua yang mengenakan jubah berwarna merah darah berjalan menuju perapian, memeriksa kuali besar berisi cairan pekat berwarna hijau tua yang meletup-letup. Menakarkan beberapa tetes ke dalam botol kristal berbentuk hati.
“Ini!”
***
Setibanya di rumah Phi, Rum, Tak, dan Sar menatap Hwan lamat-lamat. Tangan Phi sesekali memegang telinga Hwan yang berbentuk sama seperti telinga Hanuel. Berbeda dengan mereka. Keempat kurcaci ini memiliki telinga yang lebih panjang dan mengerucut. Hidung mereka pun panjangnya delapan senti.
“Apa dia manusia?” tanya Rum.
Hanuel mengangguk. “Aku menemukannya di tengah hutan.”
Phi mendengus kasar, wajahnya memerah sambil menatap tajam Hanuel. Ia langsung keluar begitu saja. Membanting pintu.
“Dia hanya cemburu.” Rum mengakat kedua bahunya. Menjelaskan pada Hwan saat pemuda tersebut kebingungan.
“Cemburu?”
Tanpa banyak bicara Rum hanya mengangguk. Menunjukkan pada Hwan kasur yang bisa ditempatinya, meninggalkan Haneul yang sedang sibuk memasak bersama Sar. “Aku akan membantu mengobati lukamu.”
“Baiklah.”
***
“Apa yang harus kulakukan?”
“Berikan persembahan pada Dewa!”
“Persembahan?”
Wanita tua itu berjalan ke arah cermin besar yang terletak di salah satu sudut ruangan. Mulutnya bergerak-gerak, merapalkan mantra. Membuat seseorang yang bersamanya hanya bisa menelan ludah. Terbelalak.
***
“Kamu benar-benar sudah lebih baik sekarang?”
Hwan mengangguk. Berjalan pelan sambil sesekali memerhatikan pohon-pohon besar yang ada di hutan ini. Cahaya matahari pagi yang menerobos dari celah rimbun pepohonan sesekali menyinari keduanya. Membuat cuaca awal musim dingin ini terasa hangat.
Ini sudah dua minggu sejak pertemuan mereka. Tepat di tempat yang sama seperti pertama kali ia bertemu Hwan, di dekat mobil sedan berwarna merah, Hanuel mendongak. Menatap pohon-pohon yang sudah tidak berdaun.
“Apa kau akan pergi dari sini?”
Lengang. Tak ada jawaban. Hwan memilih diam dan memandangi mobilnya yang sudah rusak. Kemarin ia sempat ke sini bersama Hanuel dan mengecek mobil tersebut. Tapi sepertinya banyak mesin-mesin yang harus diperbaiki. Sementara itu dari balik semak-semak seseorang tengah memperhatikan keduanya dengan tatapan tajam.
“Ayo kita pulang,” ajak Hwan.
Hanuel hanya bisa menatap pemuda bermata biru di hadapannya. Entah bagaimana ia harus menggambarkan perasaannya saat ini. Hanya saja jantungnya berdetak tak keruan.
“Jangan pergi!” ucapnya lantang, “Jangan pergi! Kumohon.”
Hwan membalikkan badannya, berdiri berhadap-hadapan dengan Haneul. Menggenggam tangan gadis berambut ikal tersebut. Namun dengan cepat Haneul melepaskan genggaman itu. Pipinya memerah seketika.
“Kenapa?”
Haneul menggeleng. “Tidak!”
“Maafkan aku.”
Sekali lagi, gadis berlesung pipi itu menggeleng. “Bukan begitu! Hanya saja….”
“Kenapa?”
“Jantungku berdebar,” jawabnya lugu.
Hwan hanya tersenyum sambil menundukkan wajahnya. Menutup mulut dengan salah satu tangan. Mereka tak sadar kalau sejak tadi ada seseorang yang memerhatikan keduanya.
***
Dari dalam cermin muncul sosok wanita cantik. Tersenyum miring. Memandangi seseorang yang tengah berdiri di hadapannya.
“Bukalah!” titahnya.
Tanpa bertanya apa pun, seseorang itu membuka penutup jubahnya yang berwarna hijau. Telinganya yang agak mengerucut mencagul dari helaian rambut yang menutupinya.
“Apa yang kau inginkan?”
“Menjadi manusia!”
***
Tangan lembut nan putih itu menengadah, mata bulatnya menatap awan-awan mendung yang berarak. “Sepertinya akan turun hujan,” ucapnya.
Hwan tersenyum. Memerhatikan Hanuel dari kepala sampai ujung kaki. Raut wajahnya nampak berseri-seri.
“Kenapa kau memandangiku seperti itu?”
“Hah? Tidak,” jawab Hwan sambil menahan senyumnya. Telunjuknya menyentik meja kayu, pandangannya dilempar ke sembarang arah. Berpura-pura menatap kelinci yang sedang sibuk memakan wortel.
“Mana yang lebih kau sukai?”
“Apa?”
“Mana yang lebih kau suka? Hujan atau salju?”
Hwan berpikir sejenak. Dulu … dia suka salah satunya. Tapi sepertinya saat ini ia lebih menyukai hal lain.
Bingung harus menjawab apa pemuda itu mengangkat kedua bahu dan tersenyum pada Hanuel.
“Mana yang lebih kau sukai?” desak Hanuel.
“Aku lebih suka tinggal di sini,” jawabnya.
Hanuel, gadis bergaun kuning itu hanya bisa menatap Hwan tak berkedip. Mata bulatnya sibuk melirik ke arah Hwan dan lantai. Jari-jemarinya yang lentik dipautkan satu sama lain. Hening. Dan….
Prang!
“Bagaimana kau bisa begitu ceroboh?” suara Sar terdengar jelas sampai ke teras, membuat Hanuel beralasan untuk menengok keadaan di dalam. Menghela napas setelah melewati pintu kayu bercat cokelat tua.
“Ada apa?” tanyanya.
Phi mendengus. Menatap tajam Haneul yang baru tiba. Melepaskan celemeknya dan pergi meninggalkan dapur yang berantakan dibuatnya.
“Hei!”
“Sudahlah, mungkin dia ingin mencari kayu untuk perapian,” cegah Hanuel sambil tersenyum serba tanggung.
***
“Kau tahu apa yang harus kau lakukan?” tanya wanita yang ada di dalam cermin.
Seseorang yang berdiri di depan cermin itu menggeleng. Yang ia tahu kalau dirinya harus meminum ramuan di dalam botol kristal, lantas menjadi manusia sepenuhnya.
“Tidak. Ini tidak sesederhana itu. Harus ada harga pantas yang kau korbankan untuk setiap keinginan.”
“Apa itu?”
“Manusia!”
“Manusia?”
***
Sama seperti malam sebelumnya, angin berembus kencang malam ini. Tapi kayu di perapian sudah hampir habis sementara Rum dan Tak masih belum kembali dari mencari kayu bakar. Di ruang tengah Hanuel terus menatap pintu, berharap kedua temannya lekas kembali. Cuaca malam ini mendung. Entah akan turun salju atau hujan.
“Sepertinya aku harus mencari mereka,” ucapnya.
Sar menggeleng. Bagaimana mungkin Hanuel keluar dalam cuaca seperti ini.
“Tapi bagaimana jika terjadi sesuatu pada mereka berdua?”
“Biar aku saja.”
“Tidak! Kau belum mengenal hutan ini,” cegahnya, “kau akan tersesat.”
Phi melirik keduanya. Alis kanannya terangkat sedikit. “Aku yang akan mencarinya.”
Tapi belum juga Phi bangkit, Hanuel telah mengenakan jubahnya dan pergi.
“Biar aku menyusulnya.”
***
“Untuk menjadi manusia kau harus mempersembahkan manusia sebagai bayarannya.”
Glek!
“Kapan waktu persembahan itu?”
“Saat salju pertama turun.”
***
“Hanuel!”
Hanuel langsung melihat ke belakang. Membelalakkan mata. “Kenapa kau menyusulku?”
Sar memukul tangan Hanuel begitu berdiri bersampingan. Tersenyum kecut. “Bagaimana kau bisa mencari mereka sendirian? Mari kita cari mereka bersama-sama.”
Gadis berponi itu mengangguk. Menggandeng tangan Sar yang agak berisi, membalas senyum teman baiknya. Tapi baru beberapa langkah kakinya terhenti. Ia mendongak menatap langit. Salju turun malam ini.
“Salju pertama,” ucapnya.
***
“Saat salju pertama turun maka berikan persembahan kepada Dewa. Teteskan darah seorang manusia di atas salju.”
“Bagaimana jika aku tidak melakukannya?”
“Maka kau harus mengorbankan nyawamu sebagai gantinya.”
***
“Apa kita juga harus menyusul mereka?” tanya Hwan.
Baru saja Hanuel dan Sar pergi meninggalkan rumah semenit yang lalu, tapi pemuda berambut pirang itu terus saja berdiri di dekat pintu. Menatap langit yang bertambah gelap.
“Tidak perlu, mereka akan kembali sebentar lagi.”
Sementara Phi sibuk menjaga nyala api agar tidak segera padam, di luar salju turun satu demi satu, membuat Hwan beranjak ke teras, menengadahkan tangannya.
“Apa salju sudah tiba?”
“Iya. Salju pertama,” jawab Hwan sambil tersenyum hangat memandangi setiap bongkahan putih yang jatuh dari langit. Dan bersamanya api langsung padam tertiup embusan angin kencang.
***
Gadis bermata bulat itu melepaskan genggamannya segera, matanya terbelalak menatap Sar. “Aku harus segera pergi.”
Lonceng telah berbunyi dari altar yang terletak di tengah hutan. Itu adalah pertanda sesuatu yang buruk akan terjadi sebentar lagi. Hanuel mendongak. Salju turun semakin banyak sejak pertama mereka turun. Menutupi setiap rumput dan tanah.
“Ke mana?”
“Apa kau tidak mendengar suara lonceng itu?”
Sar melepas jubah penutup kepalanya, membuat rambut panjangnya menjuntai, lantas ia sedikit mendongak untuk menatap wajah cantik Hanuel. “Itulah sebabnya kita berada di sini, mencari Tak dan Rum.”
Haneul menggeleng, mundur selangkah demi selangkah. “Aku harus pulang sekarang,” ucapnya dengan suara yang bergetar. Dan tanpa meminta persetujuan Sar, Hanuel langsung berlari di antara rimbun pepohonan, menuju rumah. Kepalanya sesekali menoleh ke belakang, menatap Sar yang mulai berjalan menyusulnya.
***
“Bagaimana rasanya jadi manusia?”
Angin berembus lebih kencang dari sebelumnya. Pun di altar lonceng terus saja berdentang, disusul dengan suara burung gagak. Mata mereka yang terkesan bersinar menatap tajam dan terus menyapu sekitar, mengintai setiap pergerakan yang tengah berlangsung.
“A—apa yang sedang kau lakukan?”
Tak ada jawaban. Suara tawa itu memecah keheningan. Berbaur bersama suara burung-burung gagak yang tengah terbang di atas pepohonan.
Dan saat salju pertama turun, maka kau harus mempersembahkan seorang manusia kepada Dewa.
Hwan membelalakkan matanya, tubuhnya yang terduduk di atas tumpukan salju mundur sedikit demi sedikit. Ia menatap bambu runcing yang tengah terangkat tinggi-tinggi seolah sedang bersiap dihunuskan ke arahnya.
“A—apa yang kau inginkan?”
Hwan berusaha berdiri, tangannya yang terus menapak di atas tumpukan salju kini merauk salju-salju tersebut, melemparnya tepat mengenai wajah kurcaci yang ada di hadapannya. Kemudian berdiri dan berlari cepat ke sembarang arah, mencari Hanuel.
Maka tusuklah dia tepat di jantung dengan menggunakan sebilah bambu kuning. Kemudian teteskan darah itu tepat di atas salju.
Langkah kecil itu terus berjalan lurus, mengikuti Hwan yang sudah agak jauh di depan. Tersenyum kecut. Dan hanya butuh beberapa menit kini ia sudah berada tepat di hadapan Hwan, membuat pria berambut pirang tersebut terkejut. Kaki Hwan langsung lemas seketika.
“Aku? Tentu saja aku harus membunuhmu untuk bisa menjadi manusia.”
“Ma—manusia?”
Dan tanpa banyak basa-basi, bersama dentang lonceng yang terus berbunyi kencang dan suara riuh burung-burung gagak, bambu runcing itu telah terhunus tepat di jantung Hwan hanya dalam waktu seperkian detik. Menancap sempurna sampai menembus ke belakang.
“Ka—kau.”
“Maafkan aku,” bisiknya.
Dan setelah kau meneteskan darahnya, maka minumlah sebanyak yang kau bisa. Maka darah itu akan meresap ke dalam tubuhmu dan membuatmu bisa menjadi manusia seutuhnya.
Bruk!
Kayu-kayu bakar jatuh tepat beberapa meter dari tempat Hwan tumbang. Mata sipit itu mendelik menyaksikan pria berambut pirang yang beberapa menit lalu masih bersamanya. Ia menatap nanar saat darah yang keluar dari jantung Hwan disedot begitu kuat.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Phi. (*)
Lily Rosella, seorang gadis pencinta hujan yang lahir di Jakarta pada bulan Desember ini penyuka dongeng dan cerita-cerita bergenre fantasi juga mistis. Menyukai warna-warna pastel.
FB: Aila Calestyn / Lily Rosella
Email: Lyaakina@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita